Tahukah Anda bahwa sebelum ada botol, anggur disimpan di dalam kantong kulit? Kulit hewan dikeringkan kemudian diawetkan sampai kulit itu dapat dibentuk menjadi bejana-bejana untuk menyimpan anggur. Kulit yang baru terasa lembut kala disentuh, dan gampang ditekuk. Sebaliknya kulit yang sudah tua sering kehilangan kelenturannya dan menjadi keras, kaku, dan tidak dapat membesar.
Jika seseorang mengisikan anggur baru ke dalam kantong kulit yang tua, kantong itu akan koyak dan hancur sehingga anggur tersebut tumpah dan terbuang. Anggur yang baru harus disimpan dalam kantong yang baru pula, agar semuanya dapat bermanfaat. (Matius 9:17)
Melalui perkataan ini Tuhan Yesus menawarkan suatu pola baru dalam kehidupan ini, yang berbeda dengan pola pikir lama dan sama sekali tidak dapat dicampuradukkan begitu saja. Pola pikir ini semata-mata diarahkan pada kehendak Tuhan dan bukan pada kehendak sendiri. Inilah yang dipahami oleh rasul Paulus, bahwa dalam kehidupan bersama Tuhan Yesus, para murid harus menanggalkan ‘manusia lama’ serta kelakuannya dan mengenakan ‘manusia baru’ yang terus menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya (Kolose 3:9-10). ‘Manusia baru’ terjadi karena anugerah pengampunan yang diterimanya. Menyadari hal yang sangat istimewa ini, para murid juga wajib hidup kudus dan berkenan di hadapan Allah.
Dengan menjadi ‘manusia baru’, mereka diberi tanggung jawab untuk melanjutkan misi Tuhan di dunia ini, dan karena itu perlu selalu hidup terbuka dalam pimpinan Roh Kudus. Hanya dengan cara inilah mereka akan mengalami hal-hal baru yang belum pernah mereka alami. Tuhan sedang memasukkan para murid ke dalam misi-Nya di dunia ini, karena itu merupakan kewajiban bagi mereka, sebelum mengerjakan apa pun juga, untuk selalu belajar mendengarkan apa yang Tuhan kehendaki untuk mereka lakukan. Sebab mereka telah “dibeli” oleh Tuhan Yesus dan harganya telah lunas dibayar melalui peristiwa di kayu salib.
Setelah mengalami perubahan dalam kehidupan mereka, Tuhan ingin menunjukkan kemurahan-Nya kepada para murid, sehingga mereka dapat menyaksikan dan mengalami sendiri suasana baru setiap hari. Tuhan ingin mengisi kehidupan mereka dengan “anggur baru”, tetapi apakah mereka bersedia membuang jauh-jauh kantong kulit yang lama? Bersediakah mereka dibimbing oleh Roh Kudus dalam seluruh kehidupan mereka dan dibawa ke suasana dan situasi baru yang belum pernah mereka alami sebelumnya?
Kesaksian Alkitab menceritakan, perubahan yang terjadi dalam diri para murid dimulai dari peristiwa kebangkitan Tuhan Yesus. Peristiwa ini telah mengubah sikap mereka dalam menjalani kehidupan ini. Jika pada awalnya mereka hanya berfokus pada diri mereka sendiri, kini mereka berfokus pada Allah. Kebangkitan telah mengubah kehidupan dan cara mereka memandang kehidupan ini. Seperti yang dirumuskan rasul Paulus dengan sangat tajam ketika menghadapi keraguan orang-orang Kristen di Korintus tentang kebangkitan, “Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kami.” (1 Korintus 15:14).
Benarkah Yesus Kristus bangkit dari kematian? Pertanyaan ini terus menerus dibahas dan bahkan sampai saat ini pun masih relevan diperbincangkan, baik di kalangan orang Kristen maupun di kalangan bukan Kristen.
Pada Pertengahan bulan Maret 2013, di Jakarta diselenggarakan seminar tentang “Kebangkitan Yesus”. Pembicara utamanya adalah Michael R.Licona, seorang Professor Perjanjian Baru di Houston Baptist University. Selain sebagai teolog, ia juga sejarawan yang menyelidiki secara mendalam fakta-fakta tentang kebangkitan Yesus.
Menurut Licona, berkembangnya ilmu pengetahuan telah mengarahkan manusia untuk mengoptimalkan manfaat rasionya. Tanpa pengecualian, hal berpikir rasional pun merambah ke rumusan iman yang sudah lama mengakar dalam diri orang Kristen, yaitu tentang “kebangkitan Kristus”, yang ternyata tidak cukup hanya perlu diimani tapi juga perlu mendapat pemahaman yang meyakinkan. Sungguhkah Yesus mengalami kebangkitan dari kematian? Apakah kebangkitan itu hanya sekadar halusinasi murid-murid Yesus yang berharap banyak pada kehadiran Sang Mesias di dunia ini, namun ternyata semuanya lenyap dalam peristiwa penyaliban-Nya? Mungkinkah kebangkitan Yesus benar-benar merupakan fakta sejarah? Adakah bukti sejarah yang dapat diuji secara ilmiah? Apakah informasi dalam Perjanjian Baru dapat diperhitungkan dari sudut historiografi? (ilmu yang mempelajari praktik ilmu sejarah dengan analisis yang terfokus pada narasi, interpretasi, pandangan umum, penggunaan bukti-bukti, dan metode presentasi dari sejarawan lainnya.) Pertanyaan-pertanyaan ini ternyata telah menggelitik dan sekaligus menantang Prof. Licona untuk meneliti kebangkitan Yesus dari sudut historiografi.
Pertanyaan tentang kebangkitan yang telah mengubah hidup para murid Yesus, tidak dapat dijawab dengan mudah, sebab biasanya orang hanya memahami kebangkitan sebatas dogma (ajaran) dari suatu agama tertentu. Upaya untuk menjelaskan tema “kebangkitan” sehingga dapat dipahami dan diterima oleh semua kalangan, tampaknya harus berangkat dari menggali sisi historis, atau sejarah asal mula terjadinya kebangkitan. Untuk itu penjelasan tentang kebangkitan, menurut Prof. Licona, perlu melalui pendekatan yang disebut “pendekatan fakta minimalis” (minimal facts approach), sehingga orang yang tidak percaya Alkitab sekalipun, dapat diyakinkan untuk percaya pada fakta historis tentang kebangkitan Kristus. Licona meneropong fakta demi fakta seputar kebangkitan Yesus berikut dengan bantahan-bantahan yang menggugat kesejarahannya.
KUBUR KOSONG
Fakta tentang kubur Yesus yang ditemukan dalam keadaan kosong, membuat kepanikan di dalam komunitas imam Yahudi. Mereka langsung menyebarkan opini bahwa tubuh Yesus telah dicuri orang, sebab mereka khawatir bahwa dampak kubur kosong dapat menyadarkan banyak orang tentang nubuat Yesus yang akan bangkit pada hari yang ketiga. Sebenarnya merupakan hal yang mustahil bila jasad Yesus dicuri. Bagian depan makam Yesus ditutup oleh batu seberat 2000 kilogram. Di depan batu ada meterai yang menandakan bahwa pemerintah Romawi berkuasa penuh atas makam itu. Kalau tubuh-Nya dicuri, otomatis si pencuri harus menggulingkan batu yang ada di depan makam. Mustahil bisa menggerakkannya tanpa diketahui oleh para prajurit Romawi yang menjaga makam. Prajurit-prajurit Romawi adalah pasukan terhebat sedunia ketika itu. Mereka disumpah setahun dua kali untuk setia dan taat. Kalau melanggar peraturan, mereka akan disalib terbalik atau dibakar, dimulai dengan pakaian yang mereka kenakan. Penjaga makam Tuhan Yesus berjumlah 16 orang. Empat berdiri tepat di depan pintu makam. Dua belas lainnya tidur di atas tanah dalam posisi setengah lingkaran dengan kepala menghadap makam. Tiap 4 jam mereka bergantian jaga. Mustahil menggeser batu tanpa melewati mereka.
Tubuh Yesus sebelum dikubur dibalut dengan rempah-rempah dan dililit kain. Nah, saat Maria Magdalena masuk ke ruang kuburan, ia melihat kain yang membungkus Tuhan Yesus tergeletak dengan posisi yang sangat rapi. Kain tersebut tidak dilipat seperti kita melipat selimut atau baju, tapi berbentuk persis seperti kepompong. Butuh waktu lama untuk melipat kain seperti itu, karena rempah-rempah yang membalut tubuh Yesus sifatnya lengket dan sangat banyak, beratnya minimal sekitar 25 kilogram. Kain linen yang diberi rempah-rempah untuk membungkus tubuh Yesus, mirip sebuah persegi panjang. Kalau mayat Yesus dicuri, kain akan berantakan, namun tak mungkin berbentuk seperti kotak pembungkus tubuh jenazah.
BUKTI KEBANGKITANNYA
Setelah kematian-Nya, berkali-kali Yesus menampakkan diri dan ada banyak orang yang melihat-Nya berjalan dengan tubuh sempurna. Apakah ini hanya halusinasi? Halunasi tak bisa dialami oleh banyak orang sekaligus. Dunia medis menunjukkan bahwa halusinasi terjadi karena rasa lapar, haus atau mengantuk. Bisa juga orang mengalami halusinasi sebagai efek samping minum obat. Saksi-saksi mata yang berjumlah sekitar 500 orang ini, terdiri atas laki-laki, perempuan, anak-anak, orang miskin, orang kaya, sahabat Yesus, bahkan juga orang-orang yang amat membenci-Nya. Halusinasi tidak bisa terjadi secara massal karena sifatnya sangat pribadi. Lagi pula, orang-orang biasanya berhalusinasi tentang hal-hal yang ingin mereka lihat atau yang sedang mereka nanti-nantikan. Tak ada orang di zaman Yesus yang menanti-nantikan Yesus, yang sudah begitu babak-belur, untuk hidup kembali dan dengan tubuh yang sempurna berjalan-jalan di tempat umum.
APAKAH PARA MURID BERBOHONG?
Gary Habermas, profesor lulusan Michigan State University, memberikan gambaran yang menarik bahwa rasul Paulus pertama kali berkhotbah tentang “kebangkitan Yesus” pada tahun 51 SM atau sekitar 18 tahun setelah Yesus bangkit. Selang waktunya tidak terlalu lama dan pasti masih banyak orang yang dapat memberikan kesaksian tentang peristiwa yang menghebohkan itu. Misalnya peristiwa kerusuhan yang terjadi pada tahun 1998 di Jakarta, sampai saat ini pun (2016) masih ada banyak orang yang dapat menjadi saksi mata sehingga kita dapat mewawancarai mereka, dengan demikian kita dapat menyimpulkan apakah berita itu bohong atau benar. Bahkan 60 tahun setelah Yesus bangkit, ketika Injil mulai tersebar ke mana-mana, masih ada saja orang yang menjadi saksi mata tentang kehadiran Yesus di dunia dan juga tentang peristiwa kebangkitan itu sendiri.
Ketika peristiwa kebangkitan itu sungguh terjadi, hal ini sangat mempermalukan pemerintah Romawi yang telah menyalibkan Yesus, sebab mereka pun tidak dapat membuktikan bahwa tubuh Yesus masih ada di makam. Jika demikian, maka mereka akan dengan keras berteriak, “Semua murid Yesus pembohong, lihat ini, makamnya masih ada isinya!”, dan setelah itu mereka tinggal menunjukkan makam Yesus yang masih tertutup, membukanya dan memperlihatkan mayat Yesus.
Hal lain lagi yang menguatkan bahwa para murid Yesus tidak mungkin berbohong tentang berita kubur yang kosong, karena biasanya kabar yang menghebohkan seperti ini dengan cepat akan tersebar di antara penduduk setempat. Dan mereka pun dapat menjadi saksi-saksi mata tentang kubur yang telah kosong itu.
BUKTI KEBANGKITAN YESUS MELALUI PERUBAHAN DALAM KEHIDUPAN MURID-MURID-NYA
Perubahan drastis yang terjadi dalam kehidupan para murid Yesus, tentu akan menjadi perhatian utama bagi orang-orang yang hidup di sekitar mereka. Pertanyaan yang akan muncul dalam benak mereka, hal apa sebenarnya yang telah mendorong murid-murid itu melakukan perubahan-perubahan tersebut?
Setelah Yesus disalibkan, tidak ada satu pun murid Yesus yang berkeliaran di jalanan. Mereka menyembunyikan diri karena merasa takut dikejar-kejar orang-orang Yahudi dan pemerintah Romawi. Namun setelah perjumpaan dengan Tuhan Yesus melalui penampakan berkali-kali setelah kematian-Nya, mereka menyadari bahwa Yesus telah dibangkitkan dari antara orang mati, dan ini menjadi tanda bahwa maut telah dikalahkan. Tentu saja peristiwa kebangkitan ini telah mengubah keberadaan mereka, menjadi orang-orang yang berani dan tidak ragu-ragu lagi mengabarkan berita Injil ke seluruh bumi. Mereka adalah saksi-saksi mata pertama yang melihat bagaimana Yesus dikecam, dicambuk, dipukuli dan dihajar hingga seluruh tubuh-Nya hancur, namun tiga hari setelah kematian-Nya, Yesus muncul di hadapan mereka dengan tubuh yang baru, tubuh yang sehat dan tak bercacat.
Kematian mengerikan dialami para murid seperti Matius, yang dibunuh dengan pedang setelah disiksa terlebih dulu, Yakobus anak Zebedeus yang meninggal karena dipenggal di Yerusalem, dan Petrus yang meninggal dengan cara disalibkan terbalik. Yohanes meninggal karena lanjut usia, namun sempat direndam dalam minyak mendidih karena imannya kepada Yesus. Banyak lagi kisah menakjubkan dari para murid Yesus dalam mengabarkan Injil Tuhan, agar makin banyak orang yang menerima kabar kesukaan dan diselamatkan.
Gaius Plinius Caecilius Secundus, seorang penullis yang sangat berpengaruh dalam sejarah Romawi berkisah dalam suratnya kepada Trajan, kaisar Roma tahun 112 M, tentang para pengikut Kristus yang mempunyai keberanian dan iman yang luar biasa teguh untuk terus menyaksikan Kristus di mana pun mereka berkumpul, maka mereka akan bernyanyi dan di mana pun mereka berada, mereka selalu melakukan perbuatan baik sehingga menjadi buah bibir orang-orang di sekitarnya.
Hampir-hampir ada suatu konsensus di antara para pakar yang meneliti kebangkitan Yesus, bahwa setelah kematian Yesus di salib, para murid-Nya benar-benar percaya bahwa Dia menampakkan diri kepada mereka sebagai Yang Bangkit dari antara orang mati. Kesimpulan ini dicapai dengan data yang mengisyaratkan: (1) para murid sendiri mengklaim bahwa Yesus yang bangkit menampakkan diri kepada mereka, dan (2) setelah kematian Yesus di salib, murid-murid-Nya berubah secara radikal. Orang-orang yang penakut dan pengecut, yang menyangkal dan meninggalkan Dia pada saat penangkapan dan eksekusi-Nya, berubah menjadi orang-orang yang berani memberitakan Injil tentang Tuhan yang bangkit. Mereka tetap teguh menghadapi pemenjaraan, penyiksaan, dan kematian sebagai martir. Sangatlah jelas bahwa mereka sungguh-sungguh percaya bahwa Yesus bangkit dari antara orang mati.
Setelah peristiwa kebangkitan Kristus, para murid terus menerus mengalami kehadiran Yesus. Secara fisik memang Yesus tidak bersama mereka, tetapi mereka merasa adanya kuasa yang mengubah mereka. Perubahan drastis terjadi dalam kehidupan mereka. Petrus pada awalnya besar mulut. Ia pernah berkata kepada Yesus bahwa ia akan menyertai-Nya ke manapun Yesus pergi, namun Yesus berkata bahwa ia akan menyangkal-Nya. Setelah kebangkitan-Nya, kepribadian Petrus berubah menjadi pemberani. Ketika ia dihadapkan pada mahkamah agama, ia sama sekali tidak takut, bahkan ia rela mati disalibkan seperti Tuhannya, demikian juga murid-murid lainnya. Murid-murid Kristus selalu digambarkan sebagai orang-orang yang lemah, tapi kalau kita baca riwayat mereka secara utuh, mereka mengalami perubahan besar. Secara fisik memang mereka makin tua, tapi secara psikologis, spiritual dan karakter, mereka berkembang, demikian pula sikap sosial mereka. Jadi bagi murid-murid Yesus, pengalaman ini membawa perubahan besar dalam relasi mereka dengan Allah. Transformasi kepribadian mereka membawa pembaharuan dalam sikap terhadap budaya dan situasi politik.
Keselamatan yang dianugerahkan Tuhan dalam diri seseorang, akan memberikan dampak pembaharuan radikal dalam hidupnya. Ia diselamatkan bukan sekadar agar nanti kalau mati mendapat rumah yang sama dengan di Pondok Indah, bahkan kalau bisa lebih mewah lagi. Bukan! Diselamatkan adalah mengalami pembaharuan yang radikal, di mana relasi dengan Allah berubah, bukan sebagai orang yang harus dihukum, melainkan yang menjalin relasi yang akrab dan merdeka.
Pengalaman yang dialami oleh para murid, dari terhukum—saya berdosa maka saya patut dihukum—menjadi anak Allah—hubungan saya dengan-Nya adalah hubungan anak dengan orangtua—membuat Allah bukan sosok yang mengerikan lagi, melainkan sosok yang menyenangkan, yang dirindukan. Perubahan menjadi manusia baru akan tampak juga dalam kepribadian yang berubah dari orang yang rendah diri menjadi percaya diri, dari orang yang picik menjadi terbuka dan peduli kepada orang-orang lain, sehingga membuat mereka menyebarkan Injil ke seluruh dunia agar orang-orang lain juga beroleh keselamatan. Dari orang-orang statis, seperti para nelayan, menjadi penjala-penjala orang yang dinamis; dari mental penumpang—numpang masuk surga—berubah menjadi pemberita yang memberitakan tentang suka cita bersama Yesus.
Kepribadian mereka pun berubah, juga sikap sosial mereka. Dari mentalitas korban yang tidak berdaya karena kekerasan, kejahatan, dan ketidakadilan yang mereka alami, mereka berubah menjadi pejuang pembaru (transformator) yang tidak mengandalkan kekerasan fisik, politis maupun kekerasan budaya (seperti yang dilakukan oleh orang Farisi, Saduki dan pemimpin agama mereka).
SIAP MENJADI BARU!
Para murid Yesus, setelah yakin benar akan kebangkitan Kristus dan adanya kehidupan setelah kematian, menetapkan hati untuk mulai hidup baru. Langkah pertama yang mereka perlukan adalah komitmen. Mereka mengarahkan, mengerahkan dan memusatkan seluruh diri atau seluruh kemauan mereka ke hidup baru bersama Kristus untuk melanjutkan misi Tuhan di dunia ini.
Mereka memahami bahwa hidup baru berarti berubah. Mereka bukan lagi nelayan atau orang-orang biasa seperti dulu. Mereka juga berhenti dari kebiasaan-kebiasaan lama, dari tradisi yang menjauhkan diri mereka dari Tuhan. Setelah mereka memutuskan untuk hidup baru bersama Kristus, mereka maju terus dan sama sekali tidak memberi jalan keluar untuk mengundurkan diri.
Bagaimana dengan kita, siapkah kita menjadi baru di dalam Tuhan? Jika ya, mari kita melangkahkan kaki dengan mulai berkomitmen untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya.
Penting untuk diperhatikan, bukti apa pun yang diperoleh dan menjadi dasar bahwa peristiwa kebangkitan itu nyata, tetap membutuhkan iman. Seperti ilustrasi di dalam kisah ini: Ada seorang ahli yang berjalan di atas tali melintas air terjun Niagara. Semua orang takjub melihatnya berjalan di atas tali dengan menggunakan gerobak beroda yang dimuati 75 kilo kentang. Ia bertanya, “Berapa di antara kamu yang percaya bahwa saya dapat mengangkut manusia di gerobak ini dan membawanya berjalan dengan aman sampai ke seberang?” Semua orang berteriak, “Kami percaya!” Lalu ia berkata, “Siapa yang bersedia untuk diangkut dengan gerobak ini ?” Iman adalah bertindak sesuai dengan fakta, bukan sekadar percaya. •
» Pdt. Tumpal Tobing
(Sumber: dari hasil seminar “Sola Scriptura” – Maret 2013 dan buku “The Case for the Resurrection of Jesus”, oleh Gary R. Habermas & Michael R.Licona)
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.