Salah satu “napas” dalam ibadah umat Kristen saat ini adalah musik dan nyanyian. Peran dari kedua hal tersebut sangat signifikan dalam menolong umat untuk menjumpai Allah dalam ibadah yang diselenggarakan di banyak gereja.
Ada beberapa hal yang menurut saya dapat dijadikan alasan mengapa saat ini pembicaraan tentang musik ibadah begitu penting untuk digali lebih dalam lagi peran dan fungsinya.
- Pertama, gereja-gereja sudah mulai menyadari dampak signifikan ketika musik ibadah ditempatkan dalam porsi yang semestinya.
- Kedua, gereja-gereja mulai terlibat dalam pendidikan musik dengan pendirian beberapa kursus musik yang dikelola oleh lembaga gereja bagi warga jemaat.
- Ketiga, gereja melihat potensi generasi muda yang dapat diberdayakan untuk membuat musik ibadah lebih berkembang.
Dengan adanya gagasan, semangat dan keterbukaan dari gereja-gereja dan para pemimpin mereka, maka mulailah timbul upaya untuk membuat porsi musik ibadah makin diperhatikan, baik fungsi, peran dan pendekatan dari berbagai faktor, seperti budaya, sejarah gereja dan sejarah musik itu sendiri.
Di sisi lain, kontroversi seputar masalah musik ibadah itu sendiri terus bergulir, seperti penggunaan alat-alat musik yang “boleh” dan “tidak”, genre musik yang digunakan, dan tentunya daftar lagu “halal” dan “haram”. Sikap gereja kita (baca:Gereja Kristen Indonesia) masih berada di area tengah antara mempertahankan “tradisi lama” dan mengikuti perkembangan musik yang ada.
Untuk melihat lebih jauh bagaimana musik gereja itu berpengaruh dalam ibadah di gereja serta bagaimana cara gereja (GKI) bersikap terhadap musik gereja, saya membagi musik gereja dalam berbagai sudut pandang.
Musik Gereja dari Sudut Pandang Alkitab
Musik merupakan salah satu ”bahasa” untuk berkomunikasi. Dalam kitab Ulangan 31:19, Tuhan mengatakan kepada Musa untuk menuliskan nyanyian dan mengajarkannya kepada bangsa Israel. Nyanyian yang diajarkan adalah kesaksian bagi Tuhan terhadap bangsa Israel, karena mereka akan melupakan Tuhan dan pergi mencari allah lain. Dalam konteks ini musik merupakan ”message and mission”, di mana musik menjadi bagian dari pernyataan/wahyu Tuhan kepada manusia.
Dalam Efesus 5:19 dan Kolose 3:16 diajarkan prinsip-prinsip kekristenan melalui musik. Musik gereja menjadi suatu alat yang memperlengkapi setiap orang yang dipilih Tuhan menjadi penginjil, pengajar, pemusik, pemimpin paduan suara untuk melayani pekerjaan-Nya. Musik dapat dipakai Tuhan untuk menyatakan kebenaran, dan sebagai sarana umat untuk menyampaikan ucapan syukur melalui nyanyian dan puji-pujian.
Salah satu kitab yang paling banyak menyinggung tentang musik adalah Mazmur. Kitab ini ditulis oleh orang yang memiliki keterampilan bermusik dan kerohanian yang luar biasa. Daud menulis Mazmur 33:3, “ Nyanyikanlah bagi-Nya nyanyian baru; petiklah kecapi baik-baik (skillfully) dengan sorak-sorai!” Daud dipilih Tuhan karena ia seorang “yang pandai main kecapi”. Ia bukan hanya sekadar tahu saja tentang musik, namun ia mahir memainkannya. Versi King James dalam 1 Tawarikh 15:22 juga menyatakan bahwa Kenanya, seorang pemimpin Lewi, dipilih Tuhan karena “he instructed about the song, because he was skillful”. Jadi kedua hal yang paling penting dalam musik gereja adalah kerohanian dan keterampilan yang harus dikembangkan secara bersama dan terus-menerus.
Musik gereja dapat menjadi berkat bagi jemaat bila dipakai dan dikembangkan dengan baik dan benar. Pada saat kita akan membangkitkan apresiasi musik kepada anggota jemaat, para musisi gereja harus sadar dan ingat bahwa tidak semua anggota gereja memiliki latar belakang musik. Itu sebabnya jemaat harus diajar dengan sabar dan bertahap untuk menunjukkan bahwa musik juga dapat dipakai untuk mengekspresikan kekristenan.
Musik gereja dibentuk dengan tujuan untuk memenangkan jiwa manusia berdosa melalui firman Tuhan. Musiknya sendiri tidak dapat membuat seseorang menjadi Kristen dan tidak dapat menyebabkan seseorang beribadah kepada Allah. Hanya kuasa Roh Kudus yang bekerja melalui musiklah yang dapat membuat perubahan pada diri seseorang.
Musik Gereja dari Sudut Pandang Seni
Berbicara mengenai musik, tentunya akan bermuara pada satu hal, yaitu seni. Ketika kita melihat musik sebagai bentuk seni, di sana akan terlihat banyak sekali faktor yang menjadi tolok ukur sebuah seni yang dihasilkan. Saya menyimpulkan bahwa seni itu bebas dan bertanggung jawab. Bebas dalam konteks bahwa seni memiliki nilai kreativitas yang tidak terbatas, namun di sisi lain, walaupun kreativitas itu tidak terbatas, namun tentu ada norma atau aturan yang berlaku dalam menghasilkan karya. Nilai seni dari musik tergantung lima faktor penting, yaitu artis, alat musik, kemampuan, ekspresi, dan komunikasi.
- Artis/penampil (Performer). Faktor manusia merupakan unsur penting bagi terciptanya musik sebagai suatu seni. Musik dapat dihasilkan menjadi bentuk seni bila terdapat komunikasi di dalamnya (baca: manusia). Bila tidak ada peran manusia, maka musik hanyalah simbol tanpa makna.
- Alat musik. Walaupun ada pelaku seni (manusia), namun tentu saja dibutuhkan sarana yang menunjang untuk terciptanya seni dalam musik.
- Kemampuan. Faktor ini mendukung kedua faktor yang telah disebutkan di atas (performer, alat musik). Meskipun pemusik diberikan alat musik yang baik, namun tanpa kemampuan yang baik tidak mungkin menghasilkan karya seni.
- Ekspresi. Seorang penampil (performer) harus dapat menangkap maksud “composer” dan kemudian mampu mengekspresikannya secara jelas melalui musik.
- Komunikasi. Adanya respons dari pendengar akan membuat musik sebagai seni memiliki nilai yang berharga. Tanpa adanya komunikasi, rasanya tidak mungkin menjadikan musik sebagai bentuk seni.
Seorang pakar musik gereja Indonesia bernama H.A van Dop dari Belanda mengatakan bahwa musik mempunyai fungsi audiomental. Ketika kita mendengar alunan musik tertentu, pikiran kita dapat tertuju pada sesuatu yang lain. Efek psikologis tercipta melalui pendengaran kita.
Saya mengutip sebuah tulisan van Dop dari sebuah makalah musik sebagai berikut:
“Ada yang mengatakan bahwa yang menentukan bagi musik gereja ialah ”sensus religious”, rasa religiusnya, suasana sakralnya. Saya tidak cukup dapat memahami kualifikasi itu. Apa norma-normanya? Di mana batas-batasnya? Siapa menetapkannya? Saya lebih cenderung memilih suatu istilah lain, yakni istilah “fungsi audiomental”: bagaimana impresi psikologis melalui pendengaran. Musik mempunyai fungsi evokatif, sedemikian seharusnya juga musik gereja. Musik apa pun bisa dipakai dalam gereja, asal fungsi audiomentalnya terjamin sesuai dengan apa yang ingin kita hayati dalam iman. Yang lain adalah show belaka, atau hanya ekshibisi emosi, atau norak, “would-be”, imitasi tanpa makna.”
Jelas sekali di sini bahwa komunikasi dalam musik harus dipahami secara menyeluruh, bukan hanya sekadar menyampaikan pesan kepada pendengar, namun harus juga memiliki dampak psikologis (mental) yang sangat signifikan.
Musik pada Era Modern (Abad ke-21)
Musik pada zaman ini sangat dipengaruhi oleh berbagai macam unsur, baik teknologi maupun bermacam-macam aliran musik (baca:genre). Komposer pada zaman ini sangat mudah membuat hasil karyanya dengan bantuan teknologi seperti handphone, laptop, maupun tablet. Demikian juga para musisi makin banyak mengenal jenis-jenis musik baru yang muncul, bahkan terkadang sulit teridentifikasi. Hal ini sebagai bentuk evolusi musik yang makin lama makin terlihat bebas tak terkendali, karena setiap orang dapat menciptakan jenis-jenis musik baru selama konsumen (pendengarnya) masih ada, tanpa melihat lagi kualitas musikalnya.
Bagaimana Gereja Bersikap?
Bagaimana dengan gereja? Dengan gempuran genre dan teknologi musik yang makin berkembang ini masihkah gereja bertahan dengan “tradisi lama” atau mengikuti arus zaman yang tentunya menimbulkan konsekuensi tertentu?
Saya berpendapat bahwa tidak ada yang salah bila mengikuti “tradisi lama” atau mengikuti perkembangan zaman yang terjadi. Yang menjadi masalah adalah bila masing-masing orang atau kelompok bertahan pada suatu keputusan tertentu tanpa memiliki keterbukaan terhadap yang lain. Hal ini memicu timbulnya “generation gap” dalam gereja. Munculnya generasi muda yang sangat apresiatif terhadap musik gereja kita (baca: Gereja Kristen Indonesia) tentunya menjadi angin segar bagi kehidupan jemaat dan tentunya dalam atmosfer musik ibadah.
Sikap gereja saat ini menurut saya adalah merangkul generasi muda gereja yang memiliki semangat, kepedulian dan talenta bermusik dengan memberi kesempatan kepada mereka (baca:generasi muda) untuk mengapresiasi musik gereja seluas-luasnya dengan bekal bahwa fungsi audiomental harus tetap terjaga. Begitu pula generasi muda saat ini harus secara sadar mengerti bahwa musik ibadah berbeda dengan musik pada umumnya, sehingga baik fungsi maupun cara bermain musik harus sangat diperhatikan. Harus berhati-hati dalam memilih jenis musik yang akan dipakai dalam ibadah dan tentunya penggunaan alat musik juga harus dipertimbangkan baik buruknya. Bila para musisi tidak dapat memainkan alat musik dengan baik dan benar, maka sebaiknya perlu dipertimbangkan apakah perlu menyediakan alat tersebut sesuai dengan keinginan pemusik atau meng-gunakan peralatan yang sudah ada.
Pada akhirnya masing-masing kita (gereja) perlu memberikan alternatif pada generasi muda dalam mengapresiasi musik gereja tanpa menghilangkan identitas diri bahwa kita adalah Gereja Kristen Indonesia yang memiliki ciri khas seperti gereja-gereja lain pada umumnya.
Dalam bukunya The Ministry of Music, Kenneth W.Osbeck berkatan bahwa untuk mencapai program musik yang efektif dan utuh dalam gereja, biasanya dibutuhkan usaha dan kesabaran. Ada banyak kendala seperti: rasa puas diri, minimnya latar belakang pendidikan musik bagi jemaat, tradisi, prasangka.
Satu hal yang perlu diingat, bahwa musik yang baik dan program musik yang hebat bukanlah tujuan utama dalam kehidupan berjemaat. Oleh karena itu titik berat dari musik gereja adalah menarik individu-individu kepada karya keselamatan Kristus melalui musik. •
» Steven Ananta Nugraha, S.MG
Kepustakaan
1. Duckworth, William and Brown,Edward, Theoritical Foundations of Music”, California: Wadsworth Publishing Company,Inc, 1978.
2. Makalah, Pengantar Musik Gereja, oleh Pdt.Tri Priyo Sanyoto, M.Div
3. Boschman, LaMar, The Rebirth of Music, USA: Destiny Image Publishers, Shippensburg
4. Makalah, Menjembatani Jurang Perbedaan Musik Ibadah, oleh Pdt.Ferdy Suleeman
5. Grimonia, Eya, Dunia Musik, Bandung: Nuansa Cendekia, 2014
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.