Berawal Dari Impian

Berawal Dari Impian

Belum ada komentar 205 Views

Pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan merupakan misteri yang tidak ada jawabnya. “Bagaimana hidup saya tahun depan? Di mana saya akan berada lima atau sepuluh tahun yang akan datang?”

Benang merah untuk menguak misteri ini, sepertinya perlu melalui “mimpi”. Mungkinkah seseorang hidup tanpa impian? Jika ada, saya tidak dapat membayangkan bagaimana ia dapat mempunyai semangat untuk menggapai sesuatu dalam hidupnya.

Gambarannya mungkin seperti melihat kertas putih kosong yang dibentangkan, dan mata kita akan menjelajah tanpa arah. Namun jika pada kertas itu ditorehkan satu titik saja, ke manapun mata kita melihat, ia akan selalu kembali pada titik yang sama. Kita tidak akan pernah dapat melepaskan pandangan kita darinya. Karena itu, mimpi bisa juga berperan sebagai arahan atau kompas yang akan menunjukkan tujuan yang harus ditempuh. Kita tidak akan mengetahui apakah langkah kita benar dan mengalami kemajuan, jika kita tidak mengetahui arah yang benar itu.

Melalui impian, mulai ada cahaya baru dalam diri kita. Dengan impian, kita mempunyai energi yang lebih besar untuk mulai bergerak dan mengarah pada pencapaian tujuan, sehingga setiap momentum atau peluang, bahkan setiap “quelle” atau sumber yang kita jumpai, dan bahkan setiap bakat alami yang kita miliki, akan menjadi suatu kekuatan sinergis yang akan terus bertumbuh dan berkembang menuju perwujudan impian.

Biasanya kita hanya mampu mempunyai cahaya yang cukup untuk melihat selangkah di depan kita, apa yang harus kita kerjakan sebentar lagi atau besok pagi. Seni hidup adalah menikmati apa yang dapat kita lihat, dan bukan menggerutui hal-hal yang masih gelap. Kalau kita dapat mengambil satu langkah maju dengan keyakinan bahwa kita akan mempunyai cukup cahaya untuk mengambil langkah berikutnya, maka kita dapat meniti jalan hidup ini dengan gembira. Kita sendiri akan heran kalau menyadari jauhnya perjalanan yang dapat kita tempuh. Marilah kita syukuri cahaya kecil yang kita bawa, dan janganlah kita menuntut obor besar yang akan menghapuskan segala bayang-bayang.

Saya teringat pada suatu hari beberapa tahun yang lalu, di ruang kecil lantai dua GKI Pondok Indah, bersama beberapa rekan duduk dan menorehkan mimpi-mimpi kami tentang gereja Tuhan ini. Buah dari permenungan mimpi itu dirumuskan dalam satu kalimat: “Sebuah jemaat yang hidup, terbuka, partisipatif dan peduli.” Dari mimpi ini, seberkas cahaya memimpin kami untuk melihat pentingnya melakukan tindakan “keluar”, untuk mulai mewujudkan perintah Tuhan Yesus untuk “pergi dan berbuah-buah” (Yoh.15:16).

Cahaya kecil inilah yang mengajak kita untuk merenungkan bahwa ternyata ada perbedaan besar antara hidup yang berhasil dan hidup yang berbuah. Keberhasilan sering kali berkaitan dengan kekuatan, penguasaan, dan kehormatan. Orang yang berhasil mempunyai kekuatan untuk menciptakan sesuatu, menguasai perkembangannya, dan memproduksinya dalam jumlah besar. Keberhasilan ini memberikan keuntungan, dan biasanya juga nama besar.

Sebaliknya hidup yang berbuah dilandaskan pada kelemahan, kerentanan. Setiap buah itu istimewa, khusus, tidak massal. Seorang anak misalnya, adalah buah yang dikandung dalam keringkihan; komunitas adalah buah yang lahir dari kelemahan hidup manusia yang berbagi rasa; keakraban adalah buah yang berkembang di antara pribadi yang saling membuka luka-luka hidup mereka. Marilah kita saling mengingatkan, bahwa yang memberikan kegembiraan sejati bukanlah hidup yang berhasil, melainkan hidup yang berbuah.

JEMAAT YANG HIDUP

Impian GKI Pondok Indah, sebagai jemaat yang hidup, tidak lepas dari karakteristik “hidup” itu sendiri yang sangat berharga, tapi bukan karena gemerlap dan mahal seperti mutiara atau berlian, melainkan karena ringkih, banyak kekurangan dan kelemahan, karena itu perlu selalu dirawat, diperhatikan, dituntun dan didukung. Keberadaan GKI Pondok Indah dalam usianya yang ke-30 ini, tampak sangat berharga, diberkati dengan sumber daya dan sumber daya yang kuat, tapi sekaligus juga harus menyadari kebergantungannya kepada kekuatan dan hikmat Tuhan sebagai Sang Pemilik Gereja.

JEMAAT YANG TERBUKA, PARTISIPATIF DAN PEDULI

Di tengah perjalanan 30 tahun GKl Pondok Indah, kita diingatkan kembali pada panggilan kita untuk lebih serius melakukan perjalanan “keluar” ke tengah dunia, untuk membaur menjadi “garam” dan “terang”, dan karena itu perlu terbuka, partisipatif dan peduli untuk memperlihatkan kepedulian sosial yang lebih besar lagi.

Dalam kehidupan jemaat mula-mula di Perjanjian Baru, perwujudan pelayanan diakonia digambarkan dalam suatu bentuk komunalisme, bagaimana masing-masing tidak merasa miliknya itu sebagai miliknya sendiri, tetapi sebagai milik bersama (Kis. 4:32). Di sinilah solidaritas sejati dan kepedulian sosial yang mendalam diperlihatkan. Hal kepemilikan bersama itu dilakukan bukan karena perasaan belas kasihan dari orang­-orang kaya kepada mereka yang berkekurangan, tetapi karena dorongan kebangkitan. Kebangkitan adalah bukti bahwa Allah membenarkan kesetiakawanan Yesus dengan manusia yang berdosa seperti dinyatakan-Nya secara sangat intens dalam kesengsaraan dan kematian-Nya. Para rasul menyaksikan kebangkitan itu dengan kuasa besar (ayat 33), yang pada gilirannya menggerakkan orang-orang juga untuk solider dengan sesama mereka.

Dari satu bagian Alkitab ini saja, jelas bahwa kesetiakawanan sosial, yang merupakan pengungkapan konkret kepedulian sosial, mempunyai akarnya yang kuat di dalam perbuatan solidaritas Allah dengan dunia ini. Karena itu kepedulian sosial GKI Pondok Indah tidak pernah boleh berubah menjadi suatu “pameran belas kasihan”, sebab akibatnya akan sangat fatal seperti yang dialami oleh pasangan Ananias dan Safira (Kis. 5). Mereka ingin memperlihatkan kesetiakawanan, tetapi ternyata mereka hanya memperalat kepedulian sosial itu demi kepentingan dan kehormatan mereka sendiri.

Pemahaman pelayanan diakonia sebagai upaya menolong mereka yang berada dalam keadaan darurat memang tidak salah, namun pengertian seperti ini sangat sempit. Sebab dalam kata diakonia sebenarnya terkandung suatu dimensi yang dalam, yaitu pembelaan (advocacy), yang mengimplikasikan suatu pelayanan yang sungguh­-sungguh, di mana seluruh keberadaan seseorang dipertaruhkan. Pembelaan yang dilakukan terhadap seseorang tidak hanya berupa kata-kata saja, melainkan dengan tindakan-tindakan nyata, bahkan sampai mempertaruhkan nyawa si pembela. Hal ini nyata dilakukan oleh Tuhan Yesus yang melayani dengan “memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk. 10:45). Dengan demikian, jelas bahwa kata “melayani” memperoleh maknanya yang sangat mendalam melalui perbuatan pengorbanan diri.

1mpian untuk menjadi jemaat yang terbuka, berpartisipasi dan peduli, karena itu tentu tidak boleh dipahami sebagai sekadar suatu perbuatan suplemen atau tambahan saja di luar berbagai kesibukan yang sudah ada.

Dari perbuatan-perbuatan Yesus, ternyata kepedulian sosial adalah panggilan untuk secara aktif berada di tengah lingkungan-Nya dan bukan hanya sekadar slogan-slogan kosong, yang enak didengar dan tanpa ada sentuhan dan sengatan apa pun.

Memang tetap merupakan pertanyaan, apakah kesadaran ini benar-benar secara konkret telah dilaksanakan oleh GKI Pondok Indah, misalnya dengan mengimplementasikannya dalam program-programnya. Selanjutnya apakah bentuk-bentuk kepedulian sosial itu cukup terdengar “keluar”, artinya bergaung bagi masyarakat di sekitarnya?

Tidak terlalu mudah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Tentu kita tidak menyangkali kenyataan, bahwa bagaimanapun sederhananya, toh diakonia yang telah dilaksanakan oleh GKI Pondok Indah harus dihargai sebagai bentuk kepedulian sosial. Namun tentu diharapkan hal yang lebih daripada itu, yang paling tidak memperlihatkan perubahan-perubahan mendasar dalam suatu masyarakat, dan untuk itulah diperlukan “Community Center” yang diharapkan dapat menjadi wadah perwujudan kepedulian sosial yang lebih besar lagi dari jemaat yang terbuka, partisipatif dan peduli.

Kepedulian sejati adalah sesuatu yang tanpa pamrih, yaitu suatu kegiatan yang tidak mengarah untuk memperoleh keuntungan apa pun, entah keuntungan uang atau kehormatan. Kepedulian sosial seperti yang diteladankan Yesus adalah suatu penyerahan diri mutlak kepada pelayanan terhadap sesama manusia, tanpa mempertanyakan asal usulnya.

lmpian kita, GKI Pondok Indah pada ulang tahun yang ke-30 ini makin lama makin memiliki hikmat dari Roh Kudus, sehingga mampu memperlihatkan kehadirannya yang tidak introver, tetapi sebaliknya mengarah ke “luar” sehingga dapat berperan aktif atau berpartisipasi aktif dalam pembangunan karakter bangsa yang saat ini sedang terus­menerus digaungkan, khususnya dalam dunia pendidikan yang sedang mempersiapkan generasi mendatang.
Tuhan memberkati pelayanan kita bersama.

PDT. Tumpal Tobing

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Renungan
  • Allah hadir bagi kita
    Biarkanlah, biarkanlah itu datang, ya Tuhan. Kami berdoa pada-Mu, biarkanlah hujan berkat turun. Kami menanti, kami menanti. Oh hidupkanlah...
  • MENCINTA DENGAN SEDERHANA
    Aku Ingin Aku ingin mencintaimu ciengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu...
  • SULUNG DALAM PALUNGAN
    Persekutuan Perempuan Jumat, 9 Desember yang lalu, temanya adalah “Cinta dalam Kesederhanaan”. Saya jadi ingat puisi Sapardi Djoko Damono,...
  • MELAYANI ITU INDAH
    Ketika kita berbicara tentang “melayani” maka hal ini sangat dekat dengan kehidupan Kristiani. Melayani (Yunani: diakoneo artinya to be...