Dalam rangkaian nasihat Paulus guna mempersiapkan Timotius yang masih muda itu, ada 2 kata kunci yang relevan dengan penghayatan kita sebagai “keluarga perjanjian”, yaitu bersyukur dan melayani.
Paulus amat menyadari bahwa ia sebenarnya tidaklah layak untuk diampuni. Terutama mengingat apa yang pernah dilakukannya kepada orang-orang percaya di masa lalu, yaitu mengejar-ngejar dan menganiaya mereka. Sebab itu berarti bahwa ia telah melakukannya terhadap Tuhan sendiri. Namun itulah yang justru terjadi. Tuhan yang “dianiayanya” itu berkenan mengampuninya, menginsyafkannya, menguatkannya, bahkan memakainya sebagai pelayan-Nya. Oleh sebab itu ia amatlah bersyukur. Dari rasa syukur yang amat mendalam itu Paulus tiba pada kesadaran dan keyakinan, bahwa dengan itu ia dituntun agar dapat melayani-Nya. Ini adalah kesadaran yang amat krusial.
Rasa syukur bisa berhenti pada diri sendiri secara sempit, dan menolak untuk melihat lebih jauh. Abraham tidak berhenti pada “mendapat berkat”, tetapi menjalani hidup yang “diberkati agar menjadi berkat” (Kej. 12). Paulus pun meyakini hal yang sama. Ia yang tidak layak dibenarkan agar dapat melayani-Nya. Itu berarti Tuhan memercayainya dan berkenan memercayakan pelayanan sebagai rasul-Nya kepadanya.
Semangat dan mentalitas seperti inilah yang mestinya dijadikan paradigma keluarga Kristen yang adalah “keluarga perjanjian”. Allah dalam Kristus telah mengampuni dan menguatkan, serta senantiasa menuntun dan mengaruniakan berkat-Nya dalam segala bentuk. Dan keluarga Kristen mensyukuri semua itu, serta meresponsnya dengan melayani Tuhan dan sesama seoptimal dan sebaik mungkin.
PWS
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.