ORANG SAMARIA YANG MURAH HATI.
Entah sejak kapan kisah di dalam Lukas 10:25-37 dikenal dengan judul “Orang Samaria yang Murah Hati”? Tak ada yang keliru tentu dengan pemberian judul ini, kecuali bahwa teks Alkitab sendiri tidak pernah memberi atribut “murah hati” pada orang Samaria yang menolong korban perampokan yang malang, yang tergeletak di jalanan sepi antara Yerusalem dan Yerikho. Yesus mungkin secara khusus memakai sosok orang Samaria ini sebagai lakon protagonis, setelah sesaat sebelumnya Ia dan para murid justru ditolak oleh orang-orang Samaria (Lk. 9:53).
Ketika hampir genap waktunya Yesus diangkat ke sorga, Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem, dan Ia mengirim beberapa utusan mendahului Dia. Mereka itu pergi, lalu masuk ke suatu desa orang Samaria untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi-Nya. Tetapi orang-orang Samaria itu tidak mau menerima Dia, karena perjalanan-Nya menuju Yerusalem. Ketika dua murid-Nya, yaitu Yakobus dan Yohanes, melihat hal itu, mereka berkata: “Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?” Akan tetapi Ia berpaling dan menegor mereka. Lalu mereka pergi ke desa yang lain. (Lk. 9:51-56)
Kata Yunani “menerima” pada ayat 53 adalah dechomai, yang akan kita lihat keterkaitannya nanti.
Agaknya kegeraman para murid terhadap orang-orang Samaria—memang sejak dulu orang Samaria dan orang Yahudi bermusuhan dengan sengit—menjadi contoh stigmatisasi terhadap orang Samaria sebagai orang yang kafir dan jahat. Yesus lantas menjungkirbalikkan stigma tersebut dengan berkisah tentang “orang Samaria yang murah hati” itu.
“PEMILIK PENGINAPAN YANG MURAH HATI”
Namun demikian, cameo dalam kisah tersebut juga bisa ditemukan dalam diri “pemilik penginapan” (ay. 35; Yunani: pandochei), yang tanpa disangka terlibat di dalam drama cintakasih itu. Cameo adalah istilah dalam filmografi yang menunjuk pada seorang aktor terkenal yang hanya tampil sesekali dalam sebuah lakon. Pemilik penginapan, sang cameo itu, hanya menerima uang dua dinar—satu dinar adalah upah minimum dalam satu hari—untuk merawat orang yang terluka itu, yang mungkin membutuhkan waktu jauh lebih lama dari dua hari. Orang Samaria yang membawa orang yang terluka itu berjanji akan datang kembali; dan entah apakah ia sungguh datang kembali atau tidak, kisah kita tidak mencatatnya. Yang jelas, pemilik penginapan itu stuck dengan si korban. Singkatnya, pemlik penginapan itu sungguh bermurah hati!
Ia, si pemilik penginapan itu, bukan pelakon utama kisah kita; ia sekadar seorang cameo, yang sebentar tampil dalam lakon dan kemudian lenyap … melanjutkan tugasnya merawat si korban. Namun, ia menjadi tanda kehadiran Allah yang tak terbicarakan dalam merawat korban. Ia sungguh menjadikan penginapannya bukan sekadar sebuah hotel komersial, namun sebuah tempat yang “menerima semua orang” (Yunani: pandocheus, dari kata pas, “semua,” dan dechomai, “menerima”).
Kita sungguh-sungguh dapat memetik mutiara kehidupan yang sangat berharga dari cameo dan tempat penginapannya ini. Kata Yunani untuk tempat penginapan adalah pandocheion, yang dalam sebuah manuskrip Injil Lukas berbahasa Arab pada abad ke-9 diterjemahkan dengan kata funduq. Olivia Remie Constable, dalam bukunya, Housing the Stranger in the Mediterranean World (2009), membahas migrasi istilah ini dengan sangat menarik. Agaknya kata Arab funduq diterima dari kata Yunani pandocheion, melalui penerjemahan ke dalam bahasa Aram, pundheqa’. Di Indonesia, pengaruh ini meluas hingga kita menerima kata pondok.
Dalam literatur bapa-bapa Gereja, khususnya Yohanes Krisostomus, Origenes, dan Agustinus, kata pandocheion dipergunakan secara teologis untuk menunjuk pada lokasi cintakasih yang harus ditawarkan oleh orang Kristen kepada dunia yang mengembara ini. Krisostomus mengundang keluarga-keluarga Kristen untuk menjadi “pandocheion bagi Kristus,” sedangkan Origenes dan Agustinus mengenakan pandocheion pada gereja di tengah dunia. Agaknya, pengenaan ini menginspirasi kita untuk memahami bahwa tugas kristiani di tengah dunia ini adalah menjadi ruang terbuka bagi para pengembara, yaitu sesama yang sekaligus orang asing bagi kita. Dengan cara itu, kita menjadi cameo yang mungkin tak terekam jejak hospitalitasnya dalam sejarah, namun sungguh telah menjadi “pemilik penginapan yang murah hati.”
GEREJA: RUMAH YANG TERBUKA
Gagasan para bapa gereja, agar keluarga Kristen dan gereja menjadi pandocheio atau rumah yang terbuka bagi semua orang, merupakan impian kita bersama. Lebih mudah bagi seorang pemilik rumah penginapan untuk menghadirkan hospitalitas melalui rumah penginapan yang dikelolanya, ketimbang bagi sebuah gereja untuk melakukannya. Ada banyak orang di dalam sebuah jemaat, ada sebanyak itu pulalah kehendak dan kepentingan yang terlibat. Maka, potret gereja mula-mula yang digambarkan di dalam Kisah Para Rasul 2:41-47 merupakan pengecualian yang mengagumkan.
Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Maka ketakutanlah mereka semua, sedang rasul-rasul itu mengadakan banyak mujizat dan tanda. Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.
Sungguh kita membaca sebuah jemaat yang terbuka, penuh dengan cintakasih, dan dengan kerelaan setiap orang saling berbagi. Akan tetapi, saya menyebutnya sebuah “pengecualian” bukan tanpa alasan. Sebab, sepintas kita menyaksikan bahwa jemaat mula-mula yang sungguh ideal ini bertahan terus, terbukti dari potret yang kurang-lebih sama di dalam 4:32-35,
Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama. Dan dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah. Sebab tidak ada seorangpun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya.
Akan tetapi, situasi ideal itu tak bertahan lama. Segera setelah itu, dikisahkan korupsi pertama di tubuh gereja, melalui sepasang suami-isteri bernama Ananias dan Safira (Kis. 5:1-11). Belum lagi muncul konflik yang muncul karena ketidakpuasan para janda yang merasa tak terlayani dengan baik oleh para rasul (Kis. 6:1-6). Anda bisa menambah sendiri kisah-kisah ketidaksempurnaan gereja sesudahnya. Bahkan jemaat-jemaat bentukan Paulus juga memiliki masalah dan ketidaksempurnaannya masing-masing. Singkatnya, Gereja Kisah Para Rasul 2 tak pernah muncul kembali. Gagasan mengenai “gereja yang terbuka” terasa semakin menjadi impian kosong.
Namun, tetap saja orang-orang Kristen zaman ini terus berupaya menyesuaikan jemaat gereja dengan Gereja Kisah Para Rasul 2. Pada bulan Juni 2013, saya mencoba mencari di mesin Google kata-kata kunci berikut: Acts 2 Church … dan hasilnya menakjubkan. Terdapat 93.700.000 halaman yang berbicara mengenai Gereja Kisah Para Rasul 2; belum termasuk tentu halaman dalam bahasa non-Inggris.
Mungkin kita harus bersikap realistis bahwa gereja masa kini tak mungkin kembali ke zaman impian tersebut. Apa yang dapat kita lakukan adalah berusaha menemukan kualitas atau DNA Gereja Kisah Para Rasul 2 dan mengusahakannya berlangsung di gereja kita saat ini. Semampu kita, sebaik mungkin. Realisme ini harus didampingi dengan kesediaan untuk menerima ketidaksempurnaan kita, sembari percaya bahwa Roh Kudus yang telah berkarya di dalam Gereja Kisah Rasul 2 adalah Roh yang sama yang bekerja pada masa kini di dalam jemaat kita masing-masing. Allah di dalam Roh-Nya adalah aktor utama dalam karya misional ini. Kita semua hanyalah cameo kecil tak berarti yang berusaha untuk menyediakan diri menjadi pondok yang terbuka bagi semua orang, sebuah pondok keramahtamahan. Tak lebih dan tak kurang.
Pdt. Joas Adiprasetya
2 Comments
Lian
September 26, 2013 - 11:30 pmdalam, luas, pada dan mendarat
Rusbandi
Oktober 14, 2013 - 9:57 amkotbah ini menginspirasi kami untuk berbuat sesama sesuai dg kapling kapasitas yg kami miliki, mulai orang 2 yang dijumpai bahkan menyapa atau tersenyum dapat berarti bagi orang lain syukur kalau bisa lebih dengan diskusi segar yang menyemangati atau ditambah dengan sesuatu yang menjadikan orang lain berdaya mengadapi kehidupan. tmks