Seorang lapar memberi makanannya kepada orang lapar yang lain. Julukan yang tepat bagi janda di Sarfat yang sedang mengalami tekanan ekonomi pada masa paceklik dan kekeringan. Mungkin bagi kebanyakan orang inilah masa yang sulit untuk peduli dan berbagi. Diri sendiri saja sulit ditolong apalagi mau menolong orang lain.
Kehadiran Elia meminta roti kepada sang janda sepertinya kurang tepat, mengingat status janda sangat lemah dalam konteks masyarakat Israel. Seharusnya Elia yang memberi bukan menunggu diberi. Tetapi disini kualitas iman seseorang kaya atau miskin diuji. Bukan sekedar berbicara tentang kepedulian tetapi bagaimana aplikasi dalam berbagi. Bukan persoalan berkelebihan tapi bagaimana dapat berbagi meskipun dalam kekurangan. Seperti janda Sarfat berani melepaskan makan sehari dan persediaan terakhir kepada orang asing yang baru dikenal.
Tentu kita bertanya, hal apa yang membuat janda Sarfat begitu bertekad juga nekad ?. Janji Tuhan dalam ayat 14 :”… Tepung dalam tempayan tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli tidak akan berkurang…”.
Lewat kisah ini, kita belajar peduli dan berbagi kepada sesama yang membutuhkan. Karena sikap peduli terhadap orang lain sebenarnya ditujukan kepada diri sendiri. Karena dalam hal memberi kita tak akan kekurangan. Bukankah Tuhan adalah sumber segala hal yang kita perlukan. Seperti janda Sarfat bisa berbagi dalam kekurangannya, bagaimana kita yang berkelebihan ?”
Ls
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.