Menguak Keterasingan, Membangun Relasi

Menguak Keterasingan, Membangun Relasi

Belum ada komentar 407 Views

Kemajuan teknologi berkembang sangat cepat, termasuk perkembangan alat komunikasi, sehingga komunikasi kini mudah, cepat, murah, dan memiliki jangkauan luas. Namun apakah kemajuan itu serta-merta membuat relasi kita menjadi lebih dekat, akrab, hangat dan peduli? Kenyataannya sungguh ironis, karena relasi di antara sesama bukan semakin dekat, tetapi terasa jauh, kering dan dangkal. Berbagi cerita hanya sepanjang menulis teks di SMS atau BBM, begitu singkatnya! Setiap orang justru semakin disibukkan dengan dirinya, persoalan dan pekerjaannya. Cobalah perhatikan sejenak betapa teknologi justru menyita seluruh perhatian dan energi kita dan membuat kita menjadi terasing dengan situasi di sekeliling kita. Kita sekadar menjadi penonton dari penderitaan orang lain. Kita melihat tayangan di TV dan membaca beritanya di koran, tapi hanya sebatas menambah pengetahuan bahwa ada sesuatu yang terjadi, sebatas bahan diskusi untuk diceritakan dan dibahas. Setelah itu kita kembali dengan kesibukan dan urusan kita sendiri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sering kali penderitaan sesama menjadi alat popularitas untuk membangun pencitraan diri. Asalkan pertolongan disiarkan, foto diri dimuat dalam majalah atau koran, cukuplah itu.

Keterasingan menjadi pengalaman dalam kehidupan yang serba sibuk. Relasi dengan sesama menjadi kering. Kita menjalin relasi sebatas kepentingan atau percakapan basa-basi. Tembok kenyamanan terbangun begitu tebal sehingga menghalangi pandangan kita untuk melihat penderitaan di sekeliling kita, dan untuk membangun kedekatan dengan sesama. Pada akhirnya, di tengah keramaian dan kesibukan, kita menemukan begitu banyak jiwa yang kesepian dan terasing, begitu banyak relasi yang mengering dan rapuh. Apa yang bisa kita lakukan?

Keterasingan atau mengasingkan seseorang atau sekelompok orang bukan saja terjadi dalam kehidupan kita saat ini. Setua umur relasi manusia dengan sesamanya, sepanjang itulah persoalan ini terus-menerus terjadi. Pada zaman Yesus, sangatlah mudah bagi seorang Yahudi untuk membangun relasi dengan sesama Yahudi saja. Perumpamaan orang Samaria yang baik hati menjadi sebuah pengajaran yang menghentakkan dan menyadarkan sanubari, sehingga seharusnya setiap orang yang mendengarnya akan mengalami perubahan dalam membangun relasi.

Yang kita perlukan untuk membangun relasi kepedulian:

1. Hati yang digerakkan oleh rasa belas kasihan.

Hati yang dengan mudah dan cepat memiliki rasa empati (bukan sekadar simpati), yang menangis bersama orang-orang yang menangis dan tertawa dengan mereka yang tertawa. Hati orang Samaria dipenuhi kasih (Luk 10:33-37). Ia memandang orang yang terkapar dan hampir mati itu sebagai sesama yang berhak mendapat pertolongan. Ia tidak mengenalnya, ia tidak punya kepentingan apa pun dengannya, tetapi ketika hatinya dipenuhi belas kasihan, ia tidak menimbang soal untung rugi. Ia bergerak untuk menunjukkan kasih.

Belas kasih adalah tindakan kasih yang tidak mempertimbangkan soal keuntungan atau kepentingan pribadi. Situasi sesamanya menjadi alasan satu-satunya dari tindakan kasih itu. Hati yang berbelas kasih tidak akan berlalu melewati penderitaan sesamanya, tidak akan menghindar ketika melihat sesamanya dalam kesedihan dan kesendirian. Ia bergerak untuk bertindak, merangkul dan memulihkan. Itulah hati Yesus, yang tidak akan berlalu begitu saja ketika menjumpai keadaan sesama-Nya. Dia masuk ke rumah Zakheus, pemungut cukai yang merasa terasing karena pekerjaannya (Lukas 19:1-10). Dia menjamah mata orang buta untuk memberikan kesembuhan (Matius 9:27-31). Dia memberikan kelegaan kepada perempuan yang kedapatan melacur dengan menyatakan pengampunan dosa (Yoh 8:1-11). Hati Yesus yang berbelas kasihan selalu menyapa sesama dalam kasih dan memberikan damai sejahtera. Bagaimana dengan hati Anda?

2. Kesediaan untuk terbuka.

Membuka diri dengan menceritakan persoalan, perasaan dan pemikiran kita bukanlah hal yang mudah. Memercayakannya kepada pihak lain membutuhkan keberanian. Berani untuk menjadi rapuh dengan mengungkapkan segala kelemahan dan kegagalan diri. Berani untuk menghadapi segala kemungkinan dari keterbukaan, bahkan ketika kita disalahpahami. Keterbukaan memungkinkan kita untuk menjalin relasi yang melebihi relasi basa-basi. Keterbukaan adalah jalan menuju kedalaman relasi yang sesungguhnya.

Kecurigaan, manipulasi, penipuan, merupakan pengalaman menyakitkan yang mungkin membuat kita trauma untuk terbuka dengan orang lain. Kita dapat menjadikan pengalaman itu sebagai alasan untuk menghindari keterbukaan. Tetapi jika kita tidak pernah berani untuk menjadi rapuh, maka relasi kita dengan siapa pun tidak akan menjadi dalam dan peduli.

Yesus memanggil kita sebagai sahabat-Nya (Yoh 15:14-15). Dengan segala keterbukaan, Dia menyatakan ketakutan dan kegentaran hati-Nya ketika akan menghadapi kelamnya kematian (Mat 28: 36-46). Sayang, para murid tidak segera merespons tetapi justru tertidur. Sekalipun demikian, mereka tetap sahabat-sahabat yang dikasihi-Nya. Sejauh mana Anda berani terbuka dalam perasaan dan pikiran Anda dengan orang-orang di sekitar Anda?

3. Kesediaan untuk berkorban.

Setiap perubahan membutuhkan kesediaan untuk berkorban. Jangan bermimpi untuk merasakan kedekatan yang intim, jika tidak mau berkorban waktu untuk membangun relasi. Jangan merasa peduli terhadap penderitaan sesama, jika tidak mau berkorban tenaga, materi atau keahlian yang kita miliki. Perubahan hanya akan menjadi sebuah impian jika tidak diiringi dengan tindakan, dan setiap tindakan membutuhkan pengorbanan. Dalam perumpamaan orang Samaria yang baik hati, kita melihat totalitas pengorbanannya dalam menolong penderitaan sesamanya. Ia berkorban waktu (ia sendiri dalam perjalanan untuk kepentingan dirinya). Ia berkorban tenaga—ia harus merawat luka dan membawa si korban ke tempat penginapan terdekat. Ia berkorban materi, karena ia mengeluarkan uang untuk membayar penginapan. Pengorbanannya itulah yang memulihkan kehidupan sesamanya.

Jika kita ingin relasi kita dipulihkan, maka lakukanlah itu dengan pengorbanan. Berikan yang terbaik yang bisa kita lakukan. Lakukanlah dengan ketulusan, maka setiap pengorbanan kita akan menjadi berkat dalam relasi yang kita miliki. Pengorbanan apa yang sudah kita lakukan untuk membangun relasi?

4. Ketekunan untuk terus melakukannya.

Membangun relasi kepedulian bukanlah suatu kegiatan yang kita lakukan sekali, dan kemudian selesai. Ketika kita melakukannya pada Bulan Peduli, hal ini bukanlah kegiatan sebulan yang kemudian menghilang, dan kita kembali kepada sikap tidak peduli. Usaha untuk membangun relasi yang saling memedulikan adalah upaya seumur hidup. Ada begitu banyak kisah yang bukan saja telah kita jumpai, namun akan terus kita temui dalam hidup ini. Tidak ada seorang pun yang begitu ahli melakukan kepedulian, karena itu harus ada kemauan untuk terus-menerus belajar, terus-menerus peduli, terus-menerus membangun relasi.

Dalam lajunya kesibukan yang selalu membuat kita berlari-lari untuk menyelesaikannya; dalam setiap tuntutan kebutuhan dan keinginan hidup yang selalu mendorong kita untuk terus mencari pemenuhannya; dalam setiap beban persoalan yang semakin berat untuk dipikul, berhentilah sejenak. Berhentilah berlari, berhentilah tergesa-gesa. Lihatlah wajah-wajah sesama di sekelilingmu, wajah-wajah yang menyambutmu dengan senyum ketulusan dan kesediaan menggandeng tanganmu untuk sekadar berjalan, hanya berjalan sambil menikmati setiap tarikan napas dengan penuh syukur. Berhentilah sejenak untuk menyadari bahwa masih banyak sahabat jiwa yang mengiringi perjalanan hidup ini. Berhentilah sejenak untuk menyentuh dan menjamah luka-luka sesamamu, mengoleskan obat dan membalutnya. Berhentilah sejenak untuk berbagi cerita dalam tawa dan tangis agar semakin kuat tangan yang saling menggenggam. Maka doa syukur akan terangkat untuk menyatakan betapa indah hidup ini, ketika kita lalui dalam kepedulian dan kebersamaan.

Marilah terus-menerus membangun kepedulian dalam setiap relasi, agar tidak ada seorang pun di antara kita yang terasing, melainkan tercipta persahabatan dalam cinta kasih Kristus.

 

Pdt. Dahlia Vera Aruan

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Renungan
  • Allah hadir bagi kita
    Biarkanlah, biarkanlah itu datang, ya Tuhan. Kami berdoa pada-Mu, biarkanlah hujan berkat turun. Kami menanti, kami menanti. Oh hidupkanlah...
  • MENCINTA DENGAN SEDERHANA
    Aku Ingin Aku ingin mencintaimu ciengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu...
  • SULUNG DALAM PALUNGAN
    Persekutuan Perempuan Jumat, 9 Desember yang lalu, temanya adalah “Cinta dalam Kesederhanaan”. Saya jadi ingat puisi Sapardi Djoko Damono,...
  • MELAYANI ITU INDAH
    Ketika kita berbicara tentang “melayani” maka hal ini sangat dekat dengan kehidupan Kristiani. Melayani (Yunani: diakoneo artinya to be...