Masyarakat nomad adalah sekelompok orang (biasanya merupakan sanak saudara) yang hidup berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Bagi masyarakat nomad, kekuatan dan keamanan mereka adalah kelompoknya. Hidup di luar kelompoknya, jelas memperhadapkan mereka pada bahaya yang sulit untuk diduga.
Jadi bisa dibayangkan pergumulan Abram, ketika panggilan Tuhan datang kepadanya. Sebagai bagian dari sebuah masyarakat nomad, maka panggilan Tuhan untuk keluar dari rumah bapanya itu bukanlah sesuatu yang mudah. Sebuah panggilan yang harus direspon dengan iman serta kesediaan untuk keluar dari ‘zona aman.’
Janji Allah untuk memberkati Abram dan menjadikannya berkat merupakan bagian yang utuh dari panggilan Allah kepada Abram. Karena itu, janji berkat Tuhan dalam rangka menjadikan Abram berkat buat yang lain, tidak bisa dipisahkan dari konteks pergumulan Abram yang harus keluar dari rumah bapanya.
Dengan demikian, ‘menjadi berkat’ pada dasarnya adalah sebuah respon iman atas panggilan Allah dan sekaligus tindakan untuk berani keluar dari ‘zona aman.’ Inilah yang membedakan ‘menjadi berkat’ dengan sekadar naluri kita untuk berbagi dengan yang lain. Meskipun tidak dijelaskan dalam Alkitab, saya yakin bahwa Abram tentu juga sudah berbagi dengan yang lain di masyarakat lamanya. Namun merespon panggilan Allah untuk ‘menjadi berkat’ jelas berbeda dengan tindakannya berbagi dengan yang lain di masyarakat lamanya.
Di sinilah kita perlu kembali merenungkan keberadaan gereja kita GKI PI di usianya yang ke-25. Saya sungguh bersyukur untuk banyaknya kepedulian yang sudah dilakukan oleh GKI PI. Namun di usianya yang ke-25, bisa saja semua tindakan kepedulian itu bergeser dari sebuah respon iman menjadi sebuah kebiasaan atau sekadar naluri manusiawi untuk berbagi. Kita bisa mengukurnya, ketika tindakan ‘menjadi berkat’ itu memperhadapkan kita pada sebuah tantangan untuk keluar dari ‘zona aman.. Siapkah dan bersediakah kita?
Selanjutnya, Firman Tuhan mencatat: ‘Pergilah Abram seperti yang difirmankan Tuhan kepadanya.’ Ada sebuah ketaatan untuk mengikuti apa yang Tuhan mau. Respon iman ‘untuk menjadi berkat’ jelas tidak bisa dipisahkan dari unsur ketaatan ini. Taat untuk pergi! Sebagai jemaat yang dikenal berkecukupan secara finansial, tentu lebih mudah untuk membuka dompet dan memberikan sejumlah dana yang besar sekalipun. Tetapi ‘menjadi berkat’ terkadang menuntut lebih dari itu. Bukan sekadar ‘memberikan sejumlah dana’ lalu cukup! Sekali lagi saya mengatakan bahwa saya percaya Abram pun sudah melakukan hal itu di masyarakat lamanya.
‘Menjadi berkat’ kadang kala adalah ‘taat untuk pergi.’ Bukan sekadar memberikan dana, tetapi memberikan waktu dan tenaga. Terkadang ada orang yang tidak butuh dana kita, tetapi butuh perhatian kita, senyum kita, lawatan kita. Bersediakah kita ‘menjadi berkat’ dalam konteks seperti itu?
Firman Tuhan juga mencatat, bahwa Abram mendirikan mezbah bagi Tuhan. Ada hati yang bersyukur, meskipun negeri yang dijanjikan itu masih berwujud dalam sebuah janji. ‘Menjadi berkat’ jelas tidak bisa dilepaskan dari sikap syukur kita kepada Tuhan, apa pun dan berapa pun berkat yang kita terima. Orang bisa saja ‘memberi’ bahkan ‘taat untuk pergi’. Tetapi pertanyaannya, apakah itu semata-mata sebuah ‘kewajiban’ atau ‘ungkapan syukur’? Sebuah ‘social pressure’ atau ‘ungkapan syukur’?
Kiranya teladan Abram sebagai ‘bapa orang beriman’ boleh menyemangati kita untuk ‘menjadi berkat’ dalam arti yang sesungguhnya. Sebuah tindakan iman yang bermuara pada ketaatan untuk pergi selain memberi, ungkapan syukur dan bukan sekadar kewajiban atau naluri, serta kesediaan untuk berkorban dengan berani keluar dari ‘zona aman.’
Pdt. Rudianto Djajakartika
1 Comment
reksa
September 2, 2009 - 3:19 ampada kehidupan bermasyarakat…, kita diharapkan untuk dapat “terjun” berjumpa dgn masyarakat mempraktekan kekristenan kita.., tidak hanya melulu di lingkungan gereja.., terjun di masyarakat yang heterogen.. mereka memerlukan sapaan kristus melalui kita