remaja

Remajaku Sahabatku

sebuah upaya memahami dan membimbing remaja di kekiniannya

Belum ada komentar 23 Views

Ketika anak-anak masih kecil dan semua aktivitas masih bergantung sepenuhnya pada orangtua, mudah sekali menciptakan momen yang menghangatkan hubungan melalui aktivitas bersama. Namun ketika mereka menginjak usia remaja, keadaan berubah. Terkadang sulit mengajak mereka dalam kegiatan bersama karena mereka sudah punya agenda, teman, dan waktu tersendiri.

Ada Apa dengan Remaja?

Banyak fenomena tindak dan sikap remaja sehari-hari yang sering tidak mudah dipahami. Ia bertindak ekstrem untuk alasan sepele dan menyerempet-nyerempet bahaya untuk membuktikan sesuatu yang entah apa tujuannya. Dan banyak perilakunya yang membuatnya tampak bodoh, merugikan, bahkan merusak diri sendiri maupun orang lain dan lingkungan.

Jika kita hanya berfokus pada alasan kenapa ia melakukan hal itu, sangat mungkin kita tidak akan pernah menemukan jawabnya. Dan jika pun diperoleh jawabnya, bisa jadi itu bukan akar permasalahannya, karena persoalan remaja sering tidak berdiri sendiri sebagai sebab tunggal yang berasal dari dirinya. Perkembangan jiwa remaja tidak diimbangi oleh kemampuannya memenuhi kebutuhan dasarnya—sandang, pangan, papan—sehingga mengharuskannya tetap melekat pada orangtuanya dan tunduk pada kehendak dan otoritas mereka.

Hasil survei para pelaku kenakalan remaja menunjukkan bahwa sebagian besar punya persoalan serius dalam hubungan dengan orangtua mereka, khususnya dalam komunikasi. Banyak dari mereka merasa diperlakukan seperti anak kecil, tidak dipercaya, tidak didengar, dituduh, disalahkan, dan terlalu dituntut. Orangtua tidak mengarahkan mereka, malah justru ngeyel dengan prinsip-prinsip yang kedaluwarsa. Semua ini membingungkan dan akhirnya membuat mereka frustrasi.

Kendati demikian, kesadaran untuk berekspresi dengan lebih bebas harus dikelola secara seimbang agar menghasilkan pertumbuhan relasi yang harmonis. Untuk itu butuh pemahaman dari kedua belah pihak. Jika hubungan ini baik, maka kemungkinan besar perkembangan jiwa si remaja akan baik. Namun bila sebaliknya, maka fenomena seperti di ataslah yang terjadi.

Memahami Fase Perkembangan Remaja

Perkembangan remaja terbagi atas 3 fase: fase awal (10-13 tahun), fase tengah (14-17), dan fase akhir (18-20). Banyak orangtua beranggapan bahwa masa remaja dimulai pada umur 13 tahun. yang ditandai dengan tinggi-tingginya emosi remaja dan perilaku lain yang sering membuat orangtua cemas. Sebenarnya pada usia 10 tahun sudah mulai terjadi pergeseran dari masa kanak-kanak ke fase awal masa remaja yang memengaruhi cara berpikir dan perkembangan olah pikirnya. Remaja mulai berpikir abstrak dan agak kompleks sehingga mulai mampu menganalisis dan mengelola informasi yang diterimanya. Keterlambatan merespons perubahan ini mengakibatkan salahnya pengamatan fenomena remaja, yang menyimpulkan bahwa gejolak emosi remaja baru terjadi pada usia 13 tahunan. Padahal gejolak itu merupakan kumulasi dari ketidakpuasan terhadap respons yang diterimanya, yang dirasa tidak sesuai dengan keinginannya.

Kesalahan respons ini pada umumnya terjadi lagi manakala ia mulai menginjak umur 17 tahun. Pada saat itu tekanan dalam mengambil keputusan, bertindak, dan bertanggung jawab kembali meningkat. Orangtua sering beranggapan bahwa pada umur 17 tahun, remaja menjadi insan dewasa yang bertanggung jawab sepenuhnya pada segala keputusan dan sikap yang diambilnya. Karena itu, ia akan menerima tuduhan tidak mampu, ceroboh, bahkan tidak bertanggung jawab apabila ia salah mengambil keputusan atau bersikap. Padahal. hingga usia 20 tahun ia masih memerlukan bimbingan, pengarahan, dan alter ego dari orang yang lebih dewasa. Tanpa pemahaman yang benar, hal-hal inilah yang menjadi sumber konflik remaja dengan orangtuanya dan menjauhkannya dari rangkulan mereka, yang mengharapkannya menjadi sahabat.

Konflik Orang Tua vs Remaja

Sumber utama konflik orangtua dan remaja sering kali hanya berputar-putar pada hal-hal berikut:

  • Pola pikir yang berbeda. Banyak orangtua tidak menyadari adanya pergeseran pola pikir anak ketika masuk fase remaja. Di sisi lain, remaja menganggap bahwa pola pikir orangtuanya out of date. Relasi yang tidak harmonis akan makin menciptakan jarak dan jurang lebar di antara keduanya karena tidak ada upaya menjembatani perbedaan tersebut. Alternatif terbaik yang sering dipilih adalah menghindar.
  • Remaja merasa paling tahu. Ia cenderung merasa paling tahu dan up to date apalagi kalau mendengar pendapat teman atau orang yang diidolakannya. Kesadaran akan keukeuh-nya orangtua pada pola pikir lamanya menjadikan remaja enggan berdialog atau berdiskusi dengan mereka.
  • Orangtua lupa bahwa remaja sudah besar, sehingga cenderung memperlakukannya seperti anak kecil dengan terus menerus memberikan perintah, padahal pada fase ini pola komunikasi yang seharusnya terjadi adalah diskusi dan dialog.
  • Tuntutan orangtua terhadap remaja tinggi, karena menganggapnya sudah besar (seperti penampilan tubuhnya) sehingga harus punya sikap dan tanggung jawab yang mandiri, tanpa pernah memahami fase perkembangannya.
  • Orang tua takut anaknya gagal, sehingga cenderung membantu, bahkan mengambil alih tugas dan tanggung jawabnya demi memperoleh hasil yang sempurna. Akibatnya, daya juang anaknya menjadi rendah.

Konflik ini diperuncing oleh perubahan signifikan perasaan remaja yang cenderung emosional.

Mengapa Remaja Cenderung Emosional?

Kecenderungan emosional remaja tidak pernah bisa dilepaskan dari proses perkembangan dua bagian otaknya yang berbeda.

Limbic system sebagai pusat pengatur dan pengontrol emosi, berkembang dengan sangat pesat, sehingga reaksi emosi remaja mudah terpicu manakala ia belajar peran baru, relasi baru, ekspektasi baru, tanggung jawab baru yang sesuai tahap perkembangannya.

Sedangkan frontal cortex sebagai pusat perkembangan kognitif, berkembang lebih lambat, sehingga kemampuannya dalam perencanaan, pengambilan keputusan, kontrol atas kehendak spontan dan olah bahasanya kurang bisa mengimbangi pesatnya reaksi-reaksi emosionalnya.

Karena itu, banyak tindakan spontan terjadi tanpa didasari pemikiran yang mendalam. Banyak keputusan spontan dilakukan tanpa analisis dan konsekuensi sebab-akibat yang baik. Dan juga banyak ungkapan yang tidak seharusnya terucap keluar secara spontan tanpa pengendalian yang memadai.

Tugas dan Peran Orangtua

Orangtua tidak cukup hanya memenuhi kebutuhan dasar remaja dan memfasilitasi tumbuh kembangnya agar menciptakan relasi yang harmonis dengannya. Namun lebih penting lagi, mereka mampu memenuhi kebutuhan emosionalnya dengan curahan kasih, perhatian, dan pengertian untuk menolongnya keluar dari kebingungannya. Perhatikan pesan Amsal 22:6 dan Amsal 29:17.

Langkah awal untuk melakukannya adalah memahami perkembangan fisik dan emosional remaja, serta kebutuhan-kebutuhan yang menyertainya dalam proses itu. Berusaha untuk memberikan respons yang tepat, sehingga membuatnya merasa nyaman dan aman berelasi dengan orangtuanya, dan pada akhirnya dengan orang lain.

Ini semua ditujukan untuk menguatkan ikatan antara orangtua dan remaja agar timbul saling kepercayaan yang melenyapkan sekat-sekat penghalang kebebasan remaja untuk berekspresi. Dengan demikian, relasi dan komunikasi yang efektif dengan orangtuanya pun terpelihara.

Model komunikasi yang diciptakan haruslah dialog bukan telling. Orangtua sebaiknya menggunakan pendekatan yang penuh empati agar remaja tidak merasa digurui dan dicekoki dengan prinsip-prinsip kuno yang tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhannya. Sebaiknya orangtua mendudukkan remaja pada posisi yang setara dalam pemikiran, pendapat, dan ide, sehingga melengkapi dan meningkatkan harkatnya dalam menuju kedewasaan.

Tahap selanjutnya, orangtua memberikan opsi dan gambaran konsekuensi atas pilihan tersebut, sehingga remaja dapat belajar membuat keputusan-keputusan sederhana. Dengan demikian ia makin bijak dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya.

Pada akhirnya tugas dan peran utama orangtua adalah menumbuhkan kepercayaan dan kemampuan remaja untuk berfungsi secara mandiri ketika menjadi dewasa dan meninggalkan ‘sarang kenyamanan’-nya.

» SUJARWO & LINDA

(Dituliskan kembali dari materi Pembinaan Youth Parenting di GKI Camar – Bekasi dengan judul yang sama, Sabtu, 9 Juni 2018)

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Remaja