Dan jawabku kepada raja,”Jiko raja menganggap baik dan berkenan kepada hambamu ini, utuslah aku ke Yehuda, ke kota tempat pemakaman nenek moyangku, supaya aku membangunnya kembali.” (Nehemia 2:5)
Seorang pilot maskapai Singapore Airlines bernama Budi Suhardi mengajak keluarganya makan di restoran mewah di Singapura. Ketika sedang menunggu pesanan, ia menyaksikan tayangan tentang keadaan anak-anak di Atambua ketika terjadi kerusuhan di sana. Tayangan itu membuat hatinya tergerak. Lalu ia mengajak keluarganya mengunjungi Atambua untuk menolong anak-anak tersebut. Ia juga terpanggil untuk mengurus anak-anak terlantar itu dengan mendirikan Panti Asuhan Roselin. Istrinya berperan menjadi orang tua bagi anak-anak di panti itu. Setelah pensiun, ia pun tinggal di sana dan merawat anak-anak itu.
Tuhan tidak hanya menggerakkan hati Budi Suhardi, tetapi juga Nehemia. Saat itu Nehemia menjadi juru minum raja, suatu jabatan penting baginya. Tentu saja tinggal di kalangan istana memberikan rasa nyaman kepadanya dibandingkan keadaan Bangsa Israel yang terserak. Namun, hatinya sangat sedih ketika ia mendengar kabar bahwa negerinya telah menjadi reruntuhan dan pintu gerbang Yerusalem habis dimakan api. Kabar itu mengusik kenyamanannya dan mendorongnya untuk meminta izin kepada raja untuk kembali ke negerinya dan membangun kembali reruntuhan itu.
Dalam kehidupan kita yang nyaman dan menyenangkan, apakah hati kita tergerak untuk menolong sesama yang sedang mengalami keadaan yang menyedihkan? Nehemia mendorong kita untuk tidak menutup mata terhadap penderitaan sesama dan bersedia berkorban untuk melakukan suatu kebaikan bagi sesama yang membutuhkan. [Pdt. Melani Ajub Egne]
REFLEKSI:
Kedudukan dan kenyamanan bukanlah segala-galanya, melainkan berbuat sesuatu bagi kebaikan sesama akan mendatangkan kebahagiaan sejati.
Ayat Pendukung: Neh. 2:1-10; Mzm. 19; Rm. 12:1-8
Bahan: Wasiat, renungan keluarga.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.