… dan mereka akan melihat wajah-Nya, dan nama-Nya akan tertulis di dahi mereka. (Why. 22:4)
Pianis Emil von Sauer, salah seorang murid Franz Liszt, datang ke Budapest dan meminta seorang remaja 16 tahun memainkan piano baginya. Setelah remaja itu selesai memainkan karya Bach, Beethoven, dan Schumann, von Sauer perlahan berdiri, merengkuh kepala remaja itu, dan mencium dahinya. “Anakku,” katanya, “Saat aku seusiamu aku menjadi murid Liszt. Setelah pelajaran pertamaku, ia menciumku di dahi dan berkata, ‘Jagalah baik-baik ciuman ini — itu datang dari Beethoven yang memberikannya kepadaku setelah mendengarkan aku main.’ Aku telah menunggu lama untuk meneruskan warisan suci ini, dan sekarang aku merasa kamu layak mendapatkannya.” Remaja bernama Andor Földes itu kemudian menjadi pianis Hungaria yang ternama. Ciuman di dahi itu tentunya adalah sebuah simbol: simbol pujian.
Dalam menggambarkan hubungan Allah dengan umat- Nya pun, penulis Kitab Wahyu memakai simbol-simbol. Salah satunya adalah simbol nama Allah yang tertera pada dahi umat. Simbol itu menunjukkan kepemilikan dan kehadiran Allah. Kehadiran Allah kini bisa dirasakan sepenuhnya oleh umat.
Tidak ada seorang pun dapat tetap hidup bila melihat Allah. Antara manusia dengan Allah ada jarak yang tidak terlampaui. Namun kini, bukan hanya jarak itu dilampaui, melainkan juga Allah mengizinkan umat untuk memerintah bersama-Nya selamanya. Saat kita menjadi milik Allah, kita pun akan merasakan kehadiran-Nya di dalam diri kita. [Ibu Yessy Sutama]
REFLEKSI:
Kala Tuhan menjadikan kita milik-Nya, Ia meniadakan jarak antara kita dan diri-Nya.
Ayat Pendukung: Mzm. 100; Yes. 40:1-11; Why. 22:1-9
Bahan: Wasiat, renungan keluarga.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.