Setiap sekolah, bahkan Sekolah Teologi pun memberikan kriteria bagi calon murid-murid-Nya. Bukan itu saja, setiap perusahaan juga menetapkan standar kriteria bagi calon pegawainya. Termasuk para orangtua juga menetapkan kriteria tersendiri bagi calon menantunya. Mulai dari prestasi akademisnya di sekolah, kemampuan finansial, latar belakang keluarga, sampai kesehatan kejiwaannya. Pertanyaannya, apakah Yesus juga menerapkan penilaian seperti itu juga bagi para murid-Nya?
Dalam bacaan kita, Tuhan Yesus juga memilih murid-murid-Nya. Bagaimana penilaian Yesus? Yang pasti, murid-murid yang dipilih Yesus adalah orang-orang biasa.Tidak ada yang menonjol dari mereka. Bahkan Yesus membuat percampuran yang tidak umum. Misalnya, di antara mereka ada Matius pemungut cukai yang menjadi antek Pemerintahan Romawi, tetapi juga Simon orang Zelot yang sangat nasionalis dan anti terhadap segala sesuatu yang berbau Romawi. Bukankah memanggil Matius dan Simon menjadi 1 tim dapat menimbulkan pertengkaran mewakili 2 golongan yang berbeda?
Rupanya bagi Yesus, bukanlah apa yang sudah dikerjakan calon murid-murid yang patut diperhitungkan. Melainkan, apakah mereka membuka diri dan hati untuk melakukan yang Yesus ajarkan dan kehendaki, setelah memutuskan untuk mengikut Dia. Itu sebabnya setelah Yesus memanggil para murid, Ia langsung mengajak mereka untuk melayani kaum papa dan tidak berdaya. Bukan itu saja, Ia juga mengajarkan nilai-nilai Kerajaan Sorga, yang sangat berbeda dengan nilai yang diajarkan dunia ini.
Kini, Yesus juga bertanya kepada kita. Siapa pun kita, apa pun latar belakang pendidikan atau latar belakang keluarga kita, apakah kita membuka diri dan hati untuk menerapkan nilai-nilai Kerajaan Allah, melanjutkan karya-Nya di dunia ini sebagai murid-Nya. Maukah kita mengikuti standar penilaian Yesus?
Riajos
1 Comment
Jery Henuhili
Juli 15, 2009 - 6:47 pmTentu saja dalam pelayanan, hal ini dapat – dan HARUS – diterapkan, sebab adalah sangat pada tempatnya untuk “tidak memandang” dalam hal memilih pelayan atau memutuskan untuk melayani. Kadang saya juga sebal dengan fakta yang menyakitkan bahwa seseorang menolak tawaran untuk melayani karena “belum mampu” atau “siapalah saya”, dll . . . hey, lihat aja Matius pemungut cukai yang bukan saja “bukan siapa2”, tapi justru seseorang yang patut dibenci karena pekerjaannya. Jadi memang seharusnyalah, bila ada tawaran melayani itu datang, ia bersyukur karena diberi kesempatan untuk melayani oleh Tuhan sendiri.