Saudara, ada banyak peristiwa yang terjadi belakangan ini. Berbagai bencana alam yang baru-baru saja terjadi seolah menambah rangkaian permasalahan yang tak kunjung usai di negeri ini. Setahun lebih kita berjuang melawan Covid-19, berbagai sektor kesehatan, finansial, sosial terdampak olehnya dan kita masih berjuang untuk melindungi diri dan keluarga kita. Tidak ada tempat yang sepenuhnya aman. Di luar rumah tidak, di rumah pun tak menjanjikan kita aman dari paparan virus ini. Rasa jenuh hingga takut, terus menghantui kita. Di tengah situasi tak menyenangkan ini, apa yang paling kita butuhkan?
Bacaan kita hari ini menunjukkan situasi para murid yang juga sedang tidak menyenangkan. Mereka khawatir akan keselamatan nyawa mereka dari tangan orang-orang yang membenci Yesus, mereka berjuang dengan iman mereka yang mencoba untuk tetap percaya bahwa Sang Guru yang selama ini mereka ikuti adalah sepenuh-penuhnya manusia dan sepenuh-penuhnya Allah. Tentu ini bukan hal yang mudah bagi mereka ketika di satu sisi mereka melihat Yesus melakukan berbagai tindakan mukjizat yang menunjukkan bahwa kuasa Allah bekerja di dalam dan melalui-Nya, namun di sisi lain Sang Guru yang sama itu mati bagaikan seorang penjahat. Pergumulan iman dan pikiran yang tak mudah, jika kita benar-benar mencoba untuk berdiri di sepatu para murid.
Namun di tengah kegelisahan, ketakutan, keraguan, ribuan pertanyaan, Yesus tiba-tiba berdiri di tengah-tengah mereka serta berkata kepada mereka: “Damai sejahtera bagi kamu”. Kalimat yang nampak biasa saja, atau mungkin klise buat kita saat ini. Kata ini kerap kali dipakai untuk menyampaikan salam, begitu sering, sehingga orang terkadang secara tidak sengaja mereduksi maknanya. Kata Syalom bukan sekedar kata salam pengawal perjumpaan. Kata ini lebih dari itu. Ia pada dirinya sendiri memiliki makna doa dan harapan. Maka ketika Yesus mengatakan Damai Sejahtera, Ia bukan saja sekedar basa-basi kepada para murid, tapi Ia juga menyampaikan doa dan harapan agar di tengah segala pergumulan yang sedang dihadapi oleh para murid, mereka tetap bisa merasakan damai sejahtera di hati mereka.
Yang menarik adalah, para murid tidak sadar akan hadirnya Yesus. Bahkan mereka menganggap Yesus sebagai hantu. Yesus pun harus berupaya untuk menunjukkan diri dan membuktikan bahwa Ia benar-benar bangkit, dan bukan hantu sebagaimana yang mereka pikirkan. Dan di ayat 45, kita melihat bahwa Yesus membuka pikiran mereka hingga mereka mengerti Kitab Suci, mereka mengerti akan nubuatan yang tertulis di dalamnya, dan mereka mengerti bahwa yang di hadapan mereka adalah benar Sang Guru yang bangkit dan hadir di tengah-tengah mereka.
Saudara, sungguh begitu sering kita mendengar pernyataan bahwa Allah hadir di dalam hidup kita, turut merasakan apa yang kita rasakan, turut menemani perjalanan hidup kita, dan sebagainya. Namun di sisi lain, kehadirannya kerap kali tidak kita rasakan, hingga kita mempertanyakan, “Di mana Engkau ya Allah?”. Saudara, kerap kali, bukan IA yang tak hadir, hanya kita sajalah yang tak mampu merasakan-Nya. Maka, mintalah agar Ia membuka hati dan pikiran kita, sebagaimana yang Ia lakukan kepada para murid, sehingga kita menyadari betul bahwa Ia sungguh-sungguh hadir, dan Ia sungguh-sungguh memberi damai dalam hidup kita. Dan tak berhenti di sana, orang Kristen dipanggil dan diutus. Maka setiap kita yang telah menerima damai dari-Nya, diutus pula untuk membawa damai-Nya itu bagi sesama kita. Tuhan memberkati. Amin.
asc
#RenunganWartaPaska3
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.