Lama pernikahan tidak menjamin tingginya tingkat pemahaman antara suami-istri.
Berikut kisah Pak Sugandhi dan Ibu Rumiastuti; ini tentu banyak juga dialami oleh pasangan lainnya.
Salah Paham Emas
Pada pesta Perkawinan Emas pasangan Sugandhi-Rumiastuti di sebuah hotel mewah, para tamu tampak berseri-seri mendapatkan kesempatan langka menghadiri pesta seorang usahawan yang sangat sukses. Di tengah riuhnya kegembiraan, muncullah pasangan yang empunya pesta dengan gaya dan dandanan yang elegan. Segera setelah sampai di depan para tamu, Pak Sugandhi memberi sambutan sambil mengucapkan terima kasih atas kesediaan para undangan menghadiri pesta mereka.
Setelah mendengarkan ucapan selamat dari beberapa wakil undangan, Pak Sugandhi menggamit istrinya ke bagian tengah panggung, lalu mengambil sebuah piring berisi ikan yang tinggal kepala dan ekornya saja di meja yang telah disiapkan sebelumnya. Ia menyerahkan piring itu kepada istrinya dengan senyum mengembang dan sikap sangat hormat.
Tidak ada yang menyangka sebelumnya, tiba-tiba istrinya menangis. Air matanya deras bercucuran. “Tidak kusangka,” desah Ibu Rumi, “bahwa di ulang tahun emas pernikahan kita ini, engkau tetap memberikan kepadaku kepala dan ekor ikan yang sungguh sangat tidak kusukai selama 50 tahun ini.” Pak Sugandhi terhenyak. Setelah bisa menguasai diri dari kekagetannya, ia menyahut lirih: ”Aku sungguh-sungguh tidak tahu, bahwa selama ini kamu tidak menyukainya.”
Dengan masih agak gugup ia melanjutkan: “Aku sungguh bangga karena engkau mau menikah denganku, meskipun aku sangat miskin waktu itu, sehingga aku bertekad untuk selalu berusaha membahagiakanmu terlebih dahulu sebelum aku. Aku bertekad untuk bekerja keras agar kehidupanmu, kehidupanku, kehidupan kita, tercukupi.” Pak Sugandhi mulai menitikkan air mata. “Aku sangat menyukai kepala dan ekor ikan melebihi bagian lainnya, bahkan bermacam lauk yang lain,” lanjutnya, “sebab itu aku selalu memberikannya terlebih dulu kepadamu.” Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya, “karena selama ini engkau selalu tersenyum, diam, dan tidak protes, kuanggap engkau menyukainya dan aku terus melakukannya. Karena aku sangat … sangat mencintaimu … Maafkan aku.”
Para tamu merasa trenyuh mendengar pembicaraan tadi dan pulang dengan pikiran yang menggelayut perih di sanubari masing-masing.
Refleksi
Lama pernikahan tidak menjamin tingginya tingkat pemahaman antara suami-istri. Contoh Pak Sugandhi dan Ibu Rumiastuti banyak juga dialami oleh pasangan lainnya. Mereka terkejut ketika tiba-tiba, setelah melalui kebersamaan yang panjang dan seolah-olah tidak ada masalah, salah satu pihak mencurahkan perasaannya dengan hebat, merasa sudah tidak bisa lagi menahan tekanan, tidak ingin lagi menyiksa diri dengan alasan mengalah dan menjaga perasaan yang lain, ingin segera memperoleh kembali dan mengalami kebebasannya semula, dan meminta cerai. Lo kok?
Karena hampir tidak pernah ada konflik di antara keduanya, maka pasangan sering kali menganggap bahwa hubungan, pengertian, dan pemahaman di antara mereka baik-baik saja, tidak ada yang kurang dan sudah memuaskan. Sang suami merasa melakukan perintah Tuhan seperti pada Efesus 5:28b – Siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri. Sementara sang istri tidak merasakan seperti itu. Mungkin ia berusaha mati-matian untuk menahan diri, bertoleransi, berkorban, dan memahami suaminya, meskipun hal itu tidak membuatnya nyaman. Demi ‘ketenangan’ rumah tangga, dengan naif ia mengikuti pesan dalam Filipi 2:14 – Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan.
Suami atau istri yang terlalu mendominasi, yang hanya mau bicara tanpa berusaha mendengarkan pasangannya, membuat pasangannya lebih memilih untuk diam dan menyimpan perasaannya.
Bila hal ini tidak dikenali dari awal dan segera diselesaikan, maka potensi terjadinya akhir yang mengejutkan bisa sangat besar. Tanpa masukan atau koreksi, suami atau istri akan cenderung menganggap perbuatannya benar dan akan meneruskan atau mengulanginya lagi. Ia tidak bermaksud buruk, karena tujuannya hanya ingin membahagiakan pasangannya.
Komunikasi Efektif
Komunikasi efektif antara suami-istri akan terjadi ketika dua hal penting berlangsung. Pengirim pesan dapat mengekspresikan dengan jelas (dan bebas) pikiran maupun perasaannya —dan—penerima mendengarkan dengan penuh perhatian serta memahami apa yang diekspresikan oleh si pengirim. Ingat: kata penghubungnya “dan” bukan “atau”. Artinya apabila satu hal tidak terjadi, maka komunikasi efektif tidak akan terbentuk.
Masing-masing pihak wajib mengetahui dan memahami pasangannya. Jangan menyimpan pikiran dan perasaan sendiri, apapun alasannya, sehingga menghambat keterbukaan di dalam perkawinan. Suami-istri perlu menerapkan komunikasi efektif dalam kehidupan pernikahan dan wajib menciptakan iklim dan suasana yang kondusif, agar masing-masing berani dan nyaman mengungkapkan pikiran dan perasaannya, baik kehendak, harapan maupun ketakutan-ketakutannya. Bersikap dominan dan otoriter jelas bukanlah hal yang dimaksudkan.
Pada praktiknya, masing-masing harus memberi wadah dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada pasangannya yang sedang mengungkapkan pikiran dan perasaannya, dengan mendengarkannya secara aktif. Berbagi peran dan waktu. Ada waktunya untuk berbicara dan ada waktunya pula untuk mendengarkan. Tidak mendominasi atau menyela pembicaraan, tapi benar-benar menyediakan diri untuk mendengarkan. Dengan demikian akan terjadi komunikasi yang efektif.
Mendengarkan dengan Hati
Menurut Carl Rogers, hambatan utama dalam upaya menciptakan komunikasi yang efektif bukanlah soal ketidakmampuan merangkai kata indah, kalimat yang berbunga serta tata bahasa menawan, melainkan mendengarkan secara aktif. Kenapa demikian? Karena telinga manusia mampu mendengar 600-800 kata/menit, sementara orang hanya mampu berkata-kata 100-175 kata/menit. Saat hanya setengah pikiran kita memberi perhatian, kita mudah menyimpang dan tenggelam dalam pikiran sendiri ketika orang lain berbicara kepada kita.
Dalam bahasa Mandarin ada kata ‘ting’ (dibaca: ding, seperti pada drama) yang dalam kamus diartikan sebagai ‘mendengarkan’ (saja). Namun bila ditelusuri lebih jauh, maka ada makna yang lebih mendalam, karena pembentukan kata dan maksud ‘ting’ itu disusun dari 6 kata dasar lain yang masing-masing sudah memiliki makna tersendiri. Jadi kata-kata: telinga, mata, hati, raja, sepuluh dan satu itu secara bersama-sama memberi arti yang lebih dalam bagi ‘ting’ yakni: mendengarkan dengan segenap perhatian dan perasaan yang tak terbagi bagai raja. ‘Ting’ inilah yang memberi arti paling pas, dalam dan luas bagi makna mendengarkan secara aktif, listen actively.
Kenapa bagai raja? Karena protokoler seperti itulah yang ditetapkan pada raja apabila ia mendengarkan laporan perdana menterinya tentang kondisi pemerintahan, mendengarkan dan mencermati strategi yang disampaikan oleh panglima perangnya, dan juga ketika ia mendengarkan aspirasi yang disampaikan oleh rakyatnya. Raja dituntut untuk mencurahkan segenap perhatiannya pada pesan yang disampaikan, dan juga memusatkan perasaannya guna memahami emosi yang menyertai pesan yang disampaikannya tadi. Dengan demikian raja akan sungguh-sungguh memahami maksud pesan itu, dan tidak akan salah persepsi dan bisa mengambil keputusan dengan tepat dan benar.
Pesannya: pada waktu berkomunikasi dengan pasangan, perhatian, pikiran, dan perasaan (harus) dipusatkan pada kata-kata, nada bicara serta ekspresi pasangan sebagai upaya menangkap keseluruhan isi pesan yang disampaikan; dan bukan jelalatan memerhatikan yang lain atau memikirkan serta mencemaskan hal-hal lain di luar komunikasi berdua. Itulah makna sejati dari mendengarkan secara aktif. Itulah cara para emphatic listener melakukan tugas mereka dalam mendengarkan.
Pada akhirnya setiap pribadi dituntut untuk menjadi emphatic listener bagi pasangannya, menjadi pendengar yang peduli dan fokus, baik pada fakta maupun perasaan yang disampaikan. Dengan demikian pesan dapat ditangkap dan dipahami secara utuh. Jika orang hanya peduli pada fakta tanpa memerhatikan perasaan, maka ia cenderung menjadi pendengar yang marginal, tidak mampu menangkap keseluruhan pesan, terutama emosi yang terkandung di dalamnya, kecuali fakta-fakta yang disampaikan saja. Demikian pula bila ia hanya peduli pada perasaan tanpa memerhatikan fakta, maka ia akan cenderung menjadi pendengar yang evaluatif, yang juga tidak akan mampu menangkap pesan secara keseluruhan, bahkan kehilangan fakta-fakta yang disampaikan, dan hanya sibuk menilai apakah pemberi informasi itu jujur atau tidak, sungguh-sungguh atau tidak, cocok atau tidak dengan pandangannya, dsb.
Bagaimana Mendengarkan Secara Aktif
Tidak mudah menjadi pendengar yang aktif. Perlu upaya, kesungguhan dan komitmen, mengingat alasan hambatan terbesar komunikasi di atas. Secara alami, manusia memang lebih suka memilih untuk menunjukkan eksistensinya, untuk berbicara, ketimbang menyediakan diri menjadi kanvas eksistensi orang lain, untuk mendengarkan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan apabila hendak berkomitmen menjadi pendengar aktif:
Membiarkan arah pembicaraan sesuai keinginan pembicara dan bukan mengarahkan pembicaraan menurut keinginan sendiri. Para suami sering terjebak untuk menjelaskan, mengarahkan serta memilihkan kesimpulan apabila pasangannya bercerita. Padahal sering kali istri hanya merasa perlu didengarkan, tidak membutuhkan komentar atau bantuan koreksi.
Tidak sibuk memikirkan masalah sendiri saat pasangan berbicara. Ketidaksiapan menyediakan diri dan waktu untuk mendengarkan, sering kali menjadi penyebab utama perilaku ini. Atau sibuk menilai pendapat pasangan dengan persepsi dan pendapatnya sendiri.
Tidak mendominasi. Pihak yang introver akan menjadi korban empuk dari pasangannya yang ekstrover. Para ekstrover harus lebih berhati-hati dan waspada dalam menciptakan komunikasi yang efektif ini untuk tidak jatuh dalam ‘dosa’ mendominasi. Berbagilah peran dengan bijak. Adakalanya orang perlu duduk diam mendengarkan dan menyimak.
Sadar akan hambatan komunikasi dan berusaha mengendalikannya. Sering kali aktivitas dan keseharian masing-masing yang berbeda bidang dan lingkungan kerja/aktivitas membuat pasangan memiliki dan menggunakan istilah atau kosakata yang berbeda. Bila masalah semantik ini tidak disadari dan disamakan persepsinya, maka akan sangat potensial menimbulkan konflik dan kesalahpahaman. Masalah semantik hanya merupakan salah satu bentuk hambatan.
Menganalisa dan mencerna semua informasi dan memberi umpan balik dengan mengajukan pertanyaan serta merangkum hasil pembicaraan, tapi tidak menginterupsi. Hanya memberi respons saat pasangan selesai bicara.
Semoga bermanfaat.
» SUJARWO
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.