Hendaklah kamu senantiasa mempunyai garam dalam dirimu dan hidup berdamai seorang dengan yang lain. (Mrk. 9:50)
Sejak berabad-abad lalu, penduduk Nusantara telah hidup di tengah keberagaman identitas, baik agama, kepercayaan, suku, ras, maupun budaya. Kemajemukan tersebut patut dijaga dalam kehidupan bermasyarakat yang damai di tengah perbedaan. Sejarawan Peter Carey mengatakan bahwa masyarakat Nusantara hidup dalam silang budaya sehingga tidak terpaku hanya pada satu pola. Sejak dulu imigran menjadi bagian dari masyarakat Nusantara dan turut berkontribusi membentuk identitas multikultural. “Kita perlu menghargai perbedaan seperti pada zaman prakolonial itu. Hidup dalam kemajemukan, hidup dalam damai”. Demikian dilaporkan dalam tulisan oleh Tatang Mulyana Sinaga di Kompas, 10 Maret 2023.
Kristus tidak mengajarkan murid-murid-Nya menjadi arogan. Kristus menghendaki dibangunnya jalinan persahabatan yang rukun antara sesama manusia demi menyatakan kebaikan Allah. Tangan, kaki, mata, bahkan semua bagian tubuh semestinya digunakan sebaik-baiknya dalam mengerjakan kasih yang membangun. Mempunyai garam di dalam diri artinya menjadikan diri seperti garam, yang berguna untuk mencegah kebusukan nilai-nilai kehidupan.
Allah memberikan kepada kita kesempatan untuk mengelola segenap keberadaan diri kita di tengah berbagai perbedaan. Bersyukurlah untuk beragam perbedaan yang ada karena itu semua merupakan rancangan Allah. Jangan tergoda untuk bermusuhan, tetapi bangunlah jembatan persahabatan. [Pdt. Essy Eisen]
REFLEKSI:
Apakah kehadiranku sudah mencegah terjadinya kebusukan nilai-nilai hidup bersama demi kerukunan?
Ayat Pendukung: Bil. 11:4-6, 10-16, 24-29; Mzm. 19:7-14; Yak. 5:13-20; Mrk. 9:38-50
Bahan: Wasiat, renungan keluarga.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.