Ketika masa pemilu datang, berbondong-bondong para calon menampilkan citra sahabat bagi orang miskin, tertindas dan tidak berdaya. Mereka hadir di jalan-jalan sempit dan becek, rela berpanas-panasan untuk menjumpai masyarakat dalam pergulatan hidupnya. Mereka berupaya membangun percakapan empati, memahami penderitaan, tak lupa menjawabnya dengan pemberian barang atau sejumlah uang untuk sekadar menenangkan seruan keluh kesah. Citra seorang pemimpin yang dirindukan tapi sayangnya itu semua sesaat saja. Kemenangan, kejayaan, membuat mereka lupa akan janji, tidak lagi berdesakan di jalan kotor dan becek. Selanjutnya, merekalah yang meminta rakyat memaklumi segala kemewahan dan kemudahan yang mereka miliki sebagai seorang pemimpin, mencari pembenaran agar hati nurani tidak menjadi gelisah. Ironi yang semakin menyayat hati belakangan ini.
Kita diundang Yesus untuk memiliki sikap yang mengutamakan mereka yang tersisih, tidak berdaya dan miskin. Kesediaan untuk menghampiri dan peduli. Kesediaan untuk berbelas kasihan. Pilihan sikap ini bukan karena pencitraan, bukan pula demi kepentingan diri namun semata-mata kasih yang murni yaitu kasih Allah yang dialirkan dalam ruang-ruang kehidupan yang keras, kejam dan gersang. Ini cara hidup umat Allah, mereka menjadi besar karena tindakan kasih bukan karena pemujaan diri.
Kita semua diundang untuk memperjuangkan cara hidup seorang murid Tuhan. Berbeda, bukan untuk nyentrik apalagi mencari muka. Tidak biasa, karena memang membutuhkan pembiasaan dan kegigihan. Diundang dengan penuh cinta agar kita dimampukan membagi cinta dan pembelaan Kristus kepada mereka yang termarginalkan. Jalan ini sepi, tidak banyak orang berani melaluinya, dibutuhkan pengorbanan dan kerendahan hati, namun jika bersedia melewatinya, kita tidak berjalan sendiri, kasih Tuhan memampukan kita. Mari kita lakukan bersama. (DVA)
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.