Pengakuan Yesus bahwa Ia adalah “Jalan, Kebenaran, dan Hidup” di dalam ayat 14:6 sebenarnya harus dipahami sebagai satu kesatuan tak terpisahkan. Masalahnya, sangat sering orang memenggal ketiganya dan hanya menekankan yang pertama saja, yaitu Yesus sebagai Jalan. Bahkan, klaim bahwa Yesus adalah Jalan lantas dibenturkan dengan jalan-jalan lain yang ditawarkan oleh agama-agama lain. Bukan hanya itu, banyak yang kemudian menegaskan bahwa Yesus adalah “satu-satunya” Jalan menuju Bapa, padahal ayat itu tak mencantumkan kata “satu-satunya.”
Pandangan semacam ini, seberapa pun menariknya, sebenarnya menggeser maksud asli Yesus di dalam teks tersebut. Bahayanya jelas, yaitu Yesus lantas dipahami hanya sekadar secara instrumental, sebagai “alat” menuju “tujuan,” yaitu Bapa. Implikasinya, jika kita sudah melewati alat itu, yaitu Yesus sebagai Jalan, maka alat itu tak lagi dibutuhkan, sebab kita sudah sampai ke tujuan.
Pemahaman instrumental ini tentu tidak sesuai dengan iman Kristen, khususnya yang secara unik diwartakan di dalam Injil Yohanes, yaitu persekutuan ilahi: Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Ketiganya tak terpisahkan dan bersekutu lebih utuh dan intim.
Jadi, klaim Yesus bahwa diri-Nya adalah “Jalan, Kebenaran, dan Hidup,” sebenarnya mengundang kita untuk menghayati bahwa ketika kita menjalani Sang Jalan (Yesus), pada saat bersamaan kita sampai pada Sang Tujuan, yaitu Bapa dalam persekutuan dengan Anak dan Roh Kudus. Pola hidup semacam itulah yang menjadi inti Kebenaran iman kristiani. Ketika hal itu terjadi, maka kita mengalami Hidup yang sejati, yaitu hidup berkat berpartisipasi ke dalam persekutuan Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Artinya, kita mengalami Bapa (Sang Tujuan) pada saat kita menjalani Kristus (Sang Jalan). The journey is home!
Jika demikian penghayatan yang perlu kita miliki, maka ayat ini dapat menjadi sumber inspirasi yang luarbiasa kaya bagi keyakinan iman bahwa keselamatan berlangsung karena rahmat Allah yang disapa “Bapa” oleh Kristus, melalui Yesus Kristus yang hadir bagi kita, di dalam kuasa Roh Kudus. Bukankah itu yang menjadi inti pewartaan Injil yang mengikat seluruh hamba Tuhan di muka bumi ini? Jika demikian, maka tanpa harus menggeser makna ayat ini menjadi senjata untuk membuktikan agama-agama lain keliru, sesungguhnya ayat ini sudah meneguhkan iman kita, tak ada lain yang dapat kita beritakan, selain Kristus! Dengan cara itu, hidup justru menjadi terbuka bagi dunia, bagi semua orang, bahkan bagi mereka yang tak seiman dengan kita. Tanpa sikap kompetitif, namun justru sikap bersahabat.
joas
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.