paspor medik

Perlunya “Paspor Medik”

Belum ada komentar 17 Views

BUKAN sedikit kasus fatal yang tak perlu terjadi bila dokter mengenali betul sosok medis setiap pasiennya. Tak cukup dokter teliti bertanya kepada pasien semata. Upaya untuk mencegah beragam kejadian medis yang tak diinginkan, perlu tahu pula seluruh riwayat medis pasien. Bahkan sejak pasien lahir.

Untuk maksud itu di kamar praktik sudah barang tentu tak cukup waktu mengorek semua data medis pasien. Maka kehadiran “paspor medik” yang mencatat seluruh data medis pasien sejak lahir, sungguh diperlukan. Terlebih untuk pasien kita yang rekam mediknya biasanya tercecer di mana-mana, sering tak lengkap, alih-alih utuh. Pasien sendiri berpindah-pindah dokter. Tak jelas pernah sakit apa, mengidap penyakit atau kelemahan apa, punyakah alergi?

“Paspor medik” bukan saja mencatat riwayat penyakit yang pernah pasien derita, melainkan pula semua data ihwal obat yang pernah diberikan,tindakan medis yang pernah dilakukan, serta catatan alergi, bakat penyakit turunan, atau kelainan medis lain yang perlu diwaspadai.

Ambil contoh kasus Stevens-Johnson Syndrome (SJS) yang sampai berakhir dengan kematian. Orang bertanya apa SJS juga kasus malpraktik? Kalau bukan, mengapa pasien yang merugi?

SJS tergolong kelainan kulit dan selaput lendir paling buruk dalam bentuk lepuh, dan merah meradang pada sekujur tubuh (erythema multiforme). Jika salah menangani, sering-sering berujung fatal.

Harus diakui, kebanyakan kasus SJS tak jelas penyebabnya. Obat dan terapi sinar diduga faktor pembangkit (induce) pada orang dewasa. Selain obat penenang barbiturate, antibiotika penisilin dan sulfonamide penyebab yang sering dituding.

Pada anak, SJS bisa terbangkitkan selama sedang terinfeksi. Sering-sering selagi terserang virus herpes simplex, dimasuki virus coxsackie, echovirus, selain pada ketika diserbu kuman mycoplasma pneumoniae, psittacosis, atau bisa juga saat dihinggapi jamur histoplasma, serangan SJS kerap menimbrung. Pada sebagian kasus, SJS juga muncul pascavaksinasi (cacar, BCG, polio).

Belum jelas mekanismenya sehingga obat dan infeksi sampai membangkitkan reaksi kulit hebat. Diduga ini bentuk reaksi hipersensitivitas. Tak ubahnya reaksi alergi obat yang muncul hanya berupa kaligata (biduran), atau syok (anaphylactic shock) bila berat, SJS bentuk reaksi alergi tergolong paling parah.

SAYANGNYA kemunculan alergi obat umumnya tak selalu bisa diprediksi. Yang bisa dilakukan dokter hanya menaruh sikap waspada memilihkan obat bagi pasien yang menyimpan bakat alergi. Untuk itu dokter tak boleh luput menanyakan ihwal bakat alergi obat. Namun tahu saja kalau pasien yang akan diberi obat berbakat alergi sering tak cukup. Mengapa? Karena spektrum obat berpotensi membangkitkan alergi bisa saja bukan dari jenis obat yang lazim. Bahkan tercatat, suntikan vitamin saja pun bisa alergi.

Apalagi andai dokter tidak menganggap perlu menanyakan bakat alergi pasien yang akan diberinya resep, dan pasien sendiri tidak tahu kalau bakat alerginya perlu diinformasikan kepada dokter yang akan memberinya obat. Terkait urusan pemberian obat, setiap dokter sudah memikul risiko sebagai penyulut munculnya kasus alergi obat. Di mata awam, pihak dokter berada dalam posisi dipersalahkan karena pasien beranggapan dokternya harus sudah tahu. Termasuk dalam hal kasus SJS.

Namun dibanding dokter di negara maju, dokter kita galibnya lebih berisiko menghadapi kasus reaksi alergi obat yang berisiko berperkara. Mengapa? Karena rekam medik pasien yang dilazimkan di semua negara maju, di kita sering tak lengkap kalau bukan malah tidak ada. Lebih sering dokter tak mengenal utuh siapa sosok pasiennya. Padahal ada pasien yang sekaligus tak cocok lebih dari satu jenis obat. Yang ekstrem, pasien tak berani mencoba minum obat apa pun.

Persoalan alergi obat diperpelik oleh tradisi rata-rata pasien kita tak memiliki dokter keluarga sehingga dokter yang dikunjungi belum tentu mengenal betul pasiennya, termasuk bila memiliki bakat alergi. Selain itu tradisi bergonta-ganti dokter, tiap kali selalu bertemu dokter berwajah baru, menambah risiko menerima obat yang tak cocok.

Lain dari itu, komunikasi dokter-pasien cenderung diburu waktu, sehingga pasien tak sempat bertanya ihwal obat yang dokter berikan, ikut meninggikan risiko bangkitnya kasus tak cocok obat (drug hypersensitivity reaction). Habis minum obat bibir jadi jontor, atau langsung pening dan gatal-gatal,misalnya.Masih untung kalau tak langsung semaput.

Alih-alih dilakukan tes terlebih dulu pada pasien yang dicurigai alergi sebelum obat yang dicurigai berpotensi membangkitkan reaksi alergi, sering-sering dokter tak cukup waktu menjelaskan ihwal perangai dan bagaimana kerja obat yang diresepkan. Padahal catatan MESO (monitoring efek samping obat) membeberkan fakta semakin berderet obat yang menyimpan bakat membangkitkan reaksi alergi.

ITU maka menjadi penting bagi setiap pasien memiliki “paspor medik”. Dalam “paspor medik” tercatat pula bakat alergi terhadap obat apa (saja). Dengan membaca “paspor medik”, untuk dokter yang pertama kali dikunjungi, pasien pun mengenal utuh sosok medis pasiennya, sehingga kasus dokter salah memilihkan obat, tak cocok obat, termasuk kasus SJS, tak lagi perlu terjadi.

“Paspor medik” yang selalu berada di kantong pasien berjasa juga sebagai label, misal, untuk pengidap diabetes andai suatu saat jatuh pingsan di tempat umum, sehingga pihak penolong tahu harus bagaimana. Manfaat lain bagi pengidap jantung, ayan, sedang mengonsumsi corticosteroid, pengidap penyakit menahun lainnya terkait dengan kemungkinan menghadapi krisis, atau kegawatdaruratan medik di tempat-tempat umum.

Melihat tabiat reaksi alergi obat, harus diakui kalau sejatinya tak semua kasus seperti itu bermuatan malapraktik. Kasus alergi obat akibat kondisi “bukan pasien dikenal”, atau SJS yang terbangkitkan ketika seseorang tengah terserang infeksi, arifnya bukan kepada pihak dokter delik aduannya layak dikirimkan.

Kasus alergi obat dikategorikan malpraktik bila dokter masih juga memberikan obat yang jelas-jelas ia tahu bakal membangkitkan reaksi alergi terhadap pasien yang ia tahu menyimpan bakat alergi. Majelis MKEK (atau Konsil Kesehatan) yang akan melacak dan menilai apakah betul seorang dokter telah berbuat alpa sehingga sampai-sampai membangkitkan kasus alergi obat apalagi bila sampai menghilangkan nyawa pasien yang secara perhitungan medik dan kapasitas profesinya seharusnya sudah bisa diprediksinya.

Dr. Handrawan Nadesul

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Kesehatan
  • MINDFUL EATING
    Alasan terutama untuk menjadi mindful adalah dengan menyadari bahwa tubuh ini adalah bait Allah yang perlu kita syukuri dan...
  • Demam Berdarah Bisa Dicegah
    Demam berdarah dengue (DBD) diberitakan berjangkit di sejumlah daerah sekarang ini. Penyakit ini buat kita dianggap jamak. Apakah memang...
  • Menunda Proses Menua
    Menua itu pasti, tetapi ilmu dan teknologi medis bisa menundanya. Berumur panjang itu pilihan, bukan menerima keadaan, melainkan memilih...
  • Nasib Kita Di Hadapan COVID
    Sekarang ini makin banyak orang gelisah, galau, khawatir, takut, dan fobia di tengah ingar bingar informasi yang “mis” maupun...