Yang “Lebih daripada yang Biasa”

Yang “Lebih daripada yang Biasa”

Belum ada komentar 16 Views

1

Seperti biasa setelah berdoa pagi, Pak Handoko membuka toko bangunannya beberapa menit sebelum jam delapan. Di depan tokonya telah menunggu dua orang calon pembeli yang rupanya memerlukan material sepagi mungkin. Hal itu memang biasa, karena di kota kecil di mana Pak Handoko tinggal, hanya ada sekitar lima toko bangunan. Di antaranya hanya dua toko yang cukup lengkap asortimennya, yaitu toko Pak Handoko dan toko Anu.

Setelah melayani pembeli pertama yang cukup terburu-buru, Pak Handoko menyapa dan bertanya kepada pembeli kedua apa yang diperlukannya.

“Saya hendak membeli semen untuk kantor saya….”

“Berapa banyak?” tanya Pak Handoko dengan ramah.

“Ya tergantung harganya. Kalau cocok saya perlu cukup banyak….”

“Oh… harga juga tergantung pada jumlah. Makin banyak jumlahnya makin banyak potongannya Pak…”

“Kalau harga ecerannya berapa Pak….?

“Sembilanpuluh ribu rupiah.”

“Kalau saya ambil seratus kantong?”

Pak Handoko mengeluarkan kalkulatornya kemudian melakukan penghitungan cepat.

“Kalau ambil seratus kantong harga sekantongnya jadi delapanpuluhlima ribu Pak…”

“Kok bedanya nggak banyak?”

“Untungnya memang tipis Pak”

“Ehm… baiklah kalau begitu. Saya ambil seratus kantong. Besok siang bisa diantar ke kantor?”

“Bisa Pak. Pembayarannya bagaimana…?”

“Lha ini… begini… Tolong Bapak siapkan bonnya ya. Kan harganya delapanpuluhlima ribu rupiah. Buat saja bon sepuluh juta rupiah untuk seratus kantong semen…”

“Wah… saya tidak berani Pak…”

“Kenapa…? Kan Anda tetap menerima delapanpuluhlima ribu rupiah kali seratus?”

“Ya… tetapi kalau kantor Bapak mengecek ke sini kan repot…?”

“Kalau begitu begini saja. Buat saja bon sembilanpuluhribu rupiah per kantongnya… harga ecerannya kan memang segitu to?”

“Eh… saya tidak berani Pak..?”

“Kenapa sih…? Mau untung kok gak mau…?”

“Maaf Pak… kan berarti tidak jujur…..”

“Kalau gak mau ya saya ke toko Anu….”

“Ya apa boleh buat Pak…. “

2

Pada suatu kali saya menjenguk seorang anggota jemaat yang baru saja dioperasi, sehubungan dengan penyakit kanker yang dideritanya. Ia bernama Ibu Douglas, biasa dipanggil dengan Mam Douglas. Ketika saya tiba di kamarnya, ia tidak ada di tempat ridurnya.

“Apakah Ibu Douglas masih dirawat di sini….?” tanya saya kepada seorang wanita Belanda berumur sekitar tigapuluhan yang rupanya juga dirawat di kamar itu.

“Oh… Ibu Douglas, yang berasal dari Suriname?”

“Ya… Mam Douglas…” jawab saya.

“Ya ia masih di sini. Ia harus konsultasi dengan dokter jaga sebentar.”

“Bapak masih ada hubungan keluarga dengan Mams, soalnya Bapak tidak kelihatan seperti orang Suriname?” tanya wanita teman sekamar Mam Douglas.

“Bukan. Saya pendetanya.”

“Oh… begitu…”

“Saya orang Indonesia. Mams adalah anggota jemaat saya, jemaat Indonesia.”

“Pasti Mams adalah anggota jemaat yang aktif ya?”

“Benar. Ia bersama anaknya sekeluarga sangat aktif.”

“Jetty? Memang keluarga yang sangat mengagumkan.”

“Mengagumkan…? Maksud Anda bagaimana?”

“Ya mengagumkan, terutama Mams. Saya sudah terbaring di sini tiga hari ketika Mams masuk kamar ini. Waktu itu saya dalam keadaan amat tertekan. Karena kemarinnya kedapatan kanker ganas di tubuh saya. Namun Mams yang juga mengidap penyakit sama, bahkan harus dioperasi untuk kesekian kalinya sama sekali tidak kelihatan susah.”

Wanita itu menghela nafas panjang sambil menyeka matanya yang basah. Kemudian melanjutkan:

“Ia selalu menguatkan dan menghibur saya. Ia selalu mengajak saya berdoa. Mula-mula saya tidak mau. Bukan karena saya tidak percaya kepada Tuhan. Tetapi lebih karena sudah bertahun-tahun saya tidak pernah berdoa… Sejak Mams dirawat di sini saya tidak lagi merasa tertekan….”

3

Menunggu itu membosankan. Apalagi menunggu pesawat terbang yang akan terlambat datang sehingga akan terlambat pula keberangkatan saya dari Yogyakarta ke Jakarta. Maka saya memutuskan untuk menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam dengan duduk santai dan kalau perlu tidur sebentar di ruang tunggu bandara Adi Sucipto Yogyakarta.

Baru sekitar lima menit saya duduk dengan santai dan nikmat, tiba-tiba di belakang saya datang sebuah keluarga terdiri dari ayah, ibu dan dua anak perempuan. Rupanya mereka berasal dari Korea. Amat ribut mereka bercakap-cakap diselingi teriakan-teriakan histeris dua anak mereka. Batal niat saya untuk duduk santai terkantuk-kantuk.

Maka saya pindah sekitar dua atau tiga baris lebih jauh untuk menghindari keluarga Korea yang riuh-rendah itu. Syukur di tempat yang baru tidak ada siapa-siapa sehingga saya sempat terlena sekitar seperempat jam.

Saya terbangun oleh suara keras pengumuman tentang datangnya sebuah pesawat terbang dari Jakarta. Bukan pesawat saya. Maka saya pun beranjak bermaksud untuk ke kamar kecil. Namun tiba-tiba saya menyadari bahwa PDA (telepon merangkap agenda) saya tidak tergantung di pinggang. Saya melongok ke bawah kursi dan ke sekitar saya tidak menemukannya. Saya kembali ke tempat duduk saya semula dan bertanya kepada orang-orang yang duduk di dekat situ. Tidak ada seorang pun yang melihat PDA saya. Saya mencoba menelepon PDA saya namun tidak terdengar deringnya.

“Bapak kehilangan hape….?” tanya seorang laki-laki tengah baya.

Rupanya ia adalah pemilik atau pengelola salah satu toko batik di dekat tempat duduk saya semula.

“Ya… PDA…”

“Agak besar ya… bungkusnya kulit, hitam?”

“Betul…”

“Jangan kuatir Pak. Saya tadi melihat PDA itu tertinggal di kursi ini lalu saya amankan dan serahkan kepada security. Diambil saja Pak…”

“Terima kasih…” jawab saya dan bergegas menuju ke tempat security.

Dan memang PDA saya ada pada mereka. Setelah membuktikan bahwa PDA itu memang milik saya, saya diperbolehkan mengambilnya. Saya kembali menemui sang penolong saya.

“Terima kasih sekali Pak… Wah kalau hilang susah saya Pak, semua catatan janji dan alamat ada di sini.”

“Terima kasih kembali Pak,” jawabnya dengan ramah.

“Hampir setiap hari saya menemukan hape tertinggal, tadi pagi saja ada meninggalkan hapenya, Nokia model terbaru, di toko saya. Untung dia belum boarding, sehingga sempat saya minta diumumkan, dan ia dapat mengambilnya…”

4

Ternyata, bila kita melihat sekeliling kita dengan cermat. Ada banyak orang yang sungguh-sungguh berusaha untuk berbeda dari yang biasa. Berbeda dalam konotasi positif dan baik. Lebih daripada yang biasa!

5

Kita…?

Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Refleksi
  • SLOW LIVING
    Setelah purna tugas, saya kadang-kadang merindukan suasana pedesaan seperti kehidupan masa kecil saya. Hidup tenang, sepi, tidak ada yang...
  • Apakah Aku Domba Yang Baik?
    sebuah refleksi diri setelah lama mengikuti Sang Gembala Yang Baik
    Gembala Yang Baik “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba dombanya,” adalah ungkapan Yesus yang...
  • SESAMI vs LIYAN
    Sesami dan liyan. Sesami, yang saya bahas di dalam tulisan ini, tidak ada hubungannya dengan wijen, tetapi masalah sesama...
  • LEGACY
    Sebagai bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa para pemimpin bangsa meninggalkan legacy atau warisan kepada generasi setelah mereka. Tidak usah...
  • Seribu Waktu
    Seribu Waktu
    Entah, kenapa terlintas di benakku banyak hal tentang waktu. Karena banyaknya, kusebut saja seribu … padahal satu pun tak...