Wajah Baru Persekutuan Pemuda

Wajah Baru Persekutuan Pemuda

1 Komentar 1071 Views

Persekutuan pemuda kali ini berganti model dengan format yang lebih santai tetapi justru bahasan yang lebih dalam daripada sekadar pemahaman Alkitab semata. Persekutuan pemuda kali ini dirancang dalam suatu paket pembinaan tentang “Kepemimpinan yang kontekstual” di bawah judul GROW AND GLOW. Mengapa tema ini yang dipilih? Sebab disadari oleh pengurus pemuda bidang persekutuan yang dimandori oleh Retno, Nana, dan Yosafat ini, bahwa pemuda kelak merupakan calon-calon pemimpin, entah di keluarga, di pekerjaan, bahkan mungkin di gereja dan di masyarakat.

Kalau umumnya pembinaan tentang leadership itu selalu soal “aku, aku, dan aku”, entah soal kelebihan, kemampuan, keinginan, dsb., kali ini konsepnya justru sebaliknya. Kepemimpinan yang baik sebetulnya terlebih dahulu mengenal konteks di sekitarnya, sehingga dapat memberikan masukan bagi diri sendiri dan sekaligus menemukan keunikan diri sendiri justru dalam berinteraksi dengan beragam realitas di luar dirinya.

Ada lima pertemuan yang dirancang untuk mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu pemuda dan kemajuan teknologi, pemuda dan jender, pemuda dan kemajemukan gereja dan agama, pemuda dan lingkungan, dan juga pemuda dan kepemimpinan pribadi. Berikut catatan ringkas tentang pertemuan-pertemuan tersebut.

Jumat, 13 Maret 2010

“Technology and Us, What’s Next?”

Pembicara: Trisno Sutanto (Pengamat Sosial, Aktivis Masyarakat Dialog Antar Agama)

Isu globalisasi itu sendiri, menurut Mas Trisno, sangat luas. Karena itu aktivis, yang juga masih menempuh pendidikan di STF Driyarkara ini, hanya berfokus pada gejala sosial yang terjadi khususnya di kalangan pemuda dan eksekutif muda. Dengan menggunakan teori Marx yang dibahasakannya dengan sangat sederhana, ia menjelaskan bagaimana sebetulnya “kebutuhan yang sesungguhnya” (real need) terbungkus oleh berbagai tambahan yang sebetulnya tidak terlalu penting, sehingga menjadi “kebutuhan yang diciptakan” (created need). Konsumen kebanyakan jatuh pada created need tersebut. Isu globalisasi pun, menurutnya, bukan isu baru. Isu ini sudah muncul sejak 1970, di mana tiga hal penting pada masa itu, bidang transportasi, komunikasi, dan pertukaran uang yang tinggi, meningkat dengan pesat. Ketiga hal ini kemudian berdampak (bahkan hingga kini) pada suatu pola relasi yang disebut connectedness. Sebut saja gencarnya konsumsi atas Blackberry saat ini dan fasilitas yang menyertainya, yaitu media online. Berbicara tentang BB ataupun media online, khususnya Facebook (yang sedang sangat populer saat ini) saja, sebagian yang datang persekutuan pada saat itu mengatakan mempunyai kebutuhan akan keterhubungan (connectedness), juga dalam kaitan dengan pekerjaan (periklanan lewat internet, bahkan meeting lewat video call). Baru kemudian sisanya merupakan gaya hidup.

Lalu di mana letak permasalahannya? Ada dua sorotan utama Mas Trisno. Pertama, bahwa created need ini lebih booming daripada real need, apalagi dipicu oleh peran media, melalui iklan, yang tentunya selalu menjawab kebutuhan pasar, tetapi juga tak bisa lepas dari keuntungan. Oleh karena itu created need ini, yang tentunya mendatangkan keuntungan, akan lebih gencar dipromosikan. Kedua, bahwa relasi personal yang intim lalu menjadi berkurang. Salah satu pertanyaan usil dalam buku pegangan persekutuan adalah, “Apa yang kamu lakukan ketika menunggu (antri di ATM, antri di dokter, di dalam lift). Bukankah itu memang potret yang terjadi selama ini, termasuk mungkin kita? Bahkan di tengah keramaian sekalipun (di halte bus, di dalam bus sendiri, di mal), seseorang bisa jalan dengan I-Pod di telinganya sedangkan mata dan tangan asyik dengan ponselnya (entah chatting, online, BBM, dan sebagainya). Media online memang membuat batas ruang dan waktu menjadi tipis sekali (transborder), tetapi justru apa yang disebut sebagai “jejaring sosial” itu perlu dikritisi. Kata “sosial” untuk menamakan situs online (FB, Twitter, dan sebagainya), termasuk juga fasilitas jejaring lainnya (SMS, MMS, video call, dan sebagainya) rasanya kurang tepat disebut “sosial”, karena sudah kehilangan personal touch yang mengandung emosi personal. Bisa saja orang SMS (atau menulis di status) bahwa ia sedang berada di rumah sakit, padahal sesungguhnya ia sedang clubbing dengan selingkuhannya. Karena itu, Mas Trisno mewanti-wanti, “Jangan pernah percaya langsung dengan informasi dalam media online.”

So, bagaimana dalam konteks yang lebih jauh, soal pelayanan di gereja. Mas Trisno tidak mau ambil pusing. Gereja kan pada hakikatnya memiliki kekuatan dalam relasi. “Mau pake LCD (cinta lingkungan) atau ga. Mau pake AC atau ga. Mau Alkitab lo konvensional dibawa-bawa atau mau dimasukin di HP lo. Ga terlalu masalah. Yang penting kualitas relasi antar anggotanya tetap dijaga. Jangan kalah atau pudar karena kecanggihan teknologi. Uang kan uang lo sendiri. Mau beli BB kek, mau beli I-Phone kek, itu pilihan sesuai kemauan dan kebutuhan lo,” tegasnya lagi menutup pembicaraan yang dihadiri tujuh rekan pemuda itu.

Betul juga ya. Jangan-jangan pemuda sekarang sudah terlalu canggih, sampe-sampe ga bisa lepas dari HP. Bosen ama khotbah pendetanya, yah online, atau curhat di status FB, atau nge-twit (istilah untuk memasukkan komentar di twitter). Malah salah seorang pemuda yang datang cerita begini, ada satu acara yang sengaja dirancang untuk reuni kecil, yah temu kangen sambil kongkow sama temen-temen lama begitu, eh udah kumpul ni, yah tetep aja lebih banyak BBM-annya daripada ngobrolnya. Hem…

Jumat, 26 Maret 2010

“Lo Cewe, Lo Cowo, So..?”

Pembicara: Pdt. Drs. Sylvana R. Apituley (Anggota Komnas Perempuan, Dosen STT Jakarta)

Meski hanya dihadiri oleh empat rekan pemuda, diskusi ini tetap menarik. Fokus diskusi seputar peran laki-laki dan perempuan dalam kesetaraan. Ka Syl, panggilan akrab kepada pengajar Sejarah Gereja dan Teologi Feminis ini, menjelaskan banyak hal baru dan istilah yang sebelumnya tidak diketahui ataupun disalahartikan oleh pemuda atau bahkan oleh sebagian besar masyarakat. Seks dan seksualitas (atau jender) saja misalnya. Seks adalah jenis kelamin, yaitu: laki-laki atau perempuan, sedangkan seksualitas (jender) adalah konstruksi sosial yang dibangun masyarakat untuk menunjukkan peran masing-masing manusia menurut jenis kelaminnya. Pada poin inilah seringkali timbul masalah.

Mengapa? Ketidaktahuan masyarakat ini sering kali juga dikuatkan oleh keyakinan yang salah. Misalnya saja bila bicara soal kodrat Tuhan, masyarakat dengan yakin lalu menghubungkan kodrat Tuhan dengan beberapa asumsi salah, yang ditanamkan dan diturunkan kepada anak-anak mereka. Misalnya: kalo cewe itu harus lemah lembut, harus nurut, harus bisa masak, harus ngomong halus, sedangkan cowo harus tegas, ga boleh nangis, gagah, dsb. Bahwa semua yang dikatakan ini adalah sifat-sifat yang baik, Ka Syl setuju sampai batas tertentu, tetapi kalau mengatakan bahwa semua ini adalah kodrat Tuhan yang tidak boleh dilanggar, menurutnya, hal ini merupakan kesalahan besar. Mengapa? Apa yang disebut kodrat adalah pemberian dari Tuhan sejak lahir. Dan itu menunjuk pada apa yang dimaksud dengan fakta-fakta biologis. Fakta biologis itu menyangkut: laki-laki: memiliki alat kelamin laki-laki (testis, penis), menghasilkan sperma, tumbuh jakun, dan sebagainya; sedangkan perempuan: memiliki alat kelamin perempuan (vagina, selaput dara, rahim), menghasilkan ovum, tumbuh payudara, dsb. Apa yang disebut fakta biologis itulah yang dinamakan kodrat. Hanya saja kemudian orang menyalahartikannya dengan memberi embel-embel harus begini-harus begitu sebagai kodrat, padahal itu hanya konstruksi masyarakat, yang disebut seksualitas.

Persoalannya bukan hanya itu. Konstruksi jender yang tidak seimbang ini kemudian “memaksa” di satu pihak agar pria baru dikatakan jantan bila memiliki maskulinitas yang keras sehingga cenderung merusak, dan di pihak lain wanita baru disebut feminin apabila lemah gemulai dan santun, sehingga mudah ditindas dan dipengaruhi pihak yang lebih kuat (pria). Fakta pun membuktikan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga sering kali diderita oleh perempuan. Karena itu, poin inilah yang kemudian mengembangkan pemikiran feminis, yaitu paradigma berpikir yang memperjuangkan kesetaraan jender. Apakah lalu, justru hanya kepentingan wanita saja yang diperhatikan? Tidak, justru kepentingan laki-laki pun diperjuangkan, sebab sering kali laki-laki dibebani tanggung jawab yang berlebihan karena selalu dianggap no. 1, sehingga justru memberatkan dirinya.

Ka Syl mengakui bahwa pemikiran feminis ini tidak mudah sebab menyangkut banyak hal, termasuk adat-istiadat suku-suku di Indonesia yang umumnya selalu menomorduakan kaum perempuan, juga berbagai UU dan Perda yang seringkali tidak adil terhadap perempuan. Maka mulai sekarang Ka Syl meminta kaum muda membangun pemikiran yang kritis terhadap kesetaraan jender ini. Apakah perempuan hanya berurusan dengan dapur dan tempat tidur? Tidak, perempuan juga berhak mendapat pendidikan tinggi dan pekerjaan layak. Tapi di pihak lain, jika laki-laki tidak bekerja dan menjadi bapak rumah tangga, apakah hal itu memalukan? Tidak juga. Pekerjaan rumah tangga (baik oleh ibu atau bapak) adalah pekerjaan mulia dan tidak lebih buruk daripada pekerja kantoran. Masalahnya hanya soal paradigma berpikir. Toh dalam setiap rumah tangga, semua hal dapat dibicarakan, termasuk soal berbagi tugas dan peran suami istri.

“Jangan sampai identitas kalian kelak hilang setelah menikah,” ujar Ka Syl mengingatkan. Misalnya, hal sederhana saja soal nama. Setelah menikah, nama istri hilang dan digantikan oleh nama suami. Misalnya saja Cynthia menikah dengan Yosafat Simatupang. Lantas Cynthia dipanggil dengan Nyonya Yosafat Simatupang. Apakah ini salah? “Tidak salah,” tegas Ka Syl. Hanya saja kemudian nama Cynthia (dengan keindahan nama itu), yang dahulu punya identitas dan keunikannya sendiri, lama-kelamaan hilang karena menikah. Bahwa ia sudah mengikat diri dengan suaminya dalam pernikahan, itu tentu benar. Tapi toh dia tetap seorang manusia yang punya identitas “Cynthia” dengan segala kenangannya, tanpa harus diganti dengan “Nyonya Yosafat”. Begitu juga perihal pacaran. Apakah harus selalu sang cowo yang menanggung biayanya? Tidak. Ini soal kesepakatan. “Kasihan dong kalo cowo ga bisa memenuhi semua itu, apa lantas mau langsung putus?” tegasnya.

Jumat, 9 April 2010

“Ada Lo, Baru Rame…”

Pembicara: Pdt. Dr. Albertus Patty (Crisis center GKI, BPMS GKI, aktivis dialog antar agama)

Sudah cukup pertumpahan darah karena isu agama. Maka stop saling menjelek-jelekkan agama,” itulah hal yang diwanti-wanti Om Berti, panggilan akrab bagi pendeta jemaat GKI Maulana Yusuf–Bandung, selama diskusi. Ia menerangkan banyak hal tentang bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap banyaknya gereja yang tumbuh saat ini, dan lebih jauh lagi terhadap pemeluk agama lain. Dari kata “Yesus Kristus” ada Gereja Kristus, Gereja Yesus Kristus, Gereja Kristus Yesus, dsb. Belum lagi realita gereja-gereja yang di ruko, di mal, di stadion, dan sebagainya. “Jangan mudah menyesatkan suatu aliran (Kristen)!” tegasnya. “Berpikirlah positif terhadap apapun yang kamu temui (aliran Kristen) dan kritisi.”

Misalnya fenomena yang paling sering terjadi di kalangan pemuda, yaitu “jajan” ke gereja lain, khususnya aliran karismatik. Entah karena diajak teman, diajak pacar, pengen coba, bosen denger khotbah di GKI yang bikin ngantuk, dan beribu alasan lain. Menurut Om Berty, hal ini tidak masalah. Asalkan sekali lagi, dipertimbangkan secara kritis. Sebagai salah satu anggota sinode, ia mengatakan bahwa pendeta-pendeta GKI sejak perekrutan, pendidikan di STT, pencalonan pendeta, selama menjabat sebagai pendeta, bahkan hingga emiritus, dalam pembinaan dan evaluasi kinerja pelayanan mereka selalu diingatkan bahwa poin penting dalam penyampaian firman di mimbar ialah tidak menjelekkan gereja maupun agama lain. “Kalo ada pendeta yang berkhotbah tetapi menjelekkan gereja atau agama lain, itu pasti bukan pendeta GKI,” tegasnya. Tentang soal penyampaian khotbah, terutama yang menyangkut teknik dan metode agar tidak membosankan dan mudah diterima oleh jemaat, ia mengatakan bahwa setiap pendeta harus menerima kritik dengan rendah hati dan berusaha mengembangkan kemampuannya.

Secara khusus GKI menekankan pada jemaat bahwa beriman juga perlu dilakukan dengan memakai rasio. Apakah lalu spiritual tidak penting di GKI, sehingga ibadah-ibadah sering terasa kering? “Tidak, bukan itu maksudnya,” tegasnya. Spiritualitas sangat penting tapi tak cukup hanya itu, sebab jemaat akan mudah dibohongi. Menggunakan rasio berarti bahwa khotbah pendeta sekalipun harus diterima jemaat dengan menggunakan rasionya, supaya kelak apa yang diimaninya dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, di GKI tidak dikenal khotbah di mana pendeta menanyakan “amin, saudara-saudara?” setiap khotbah, dan jemaat menjawab “amin”. Artinya, GKI dalam berteologi begitu membuka kebebasan jemaat untuk berpikir sehingga tidak mudah dibohongi atau dibodohi oleh pendeta ataupun penatua.

Om Berti mengambil contoh setiap KKR yang dilakukan di stadion, tanpa bermaksud menjelekkan, tetapi mencoba melatih kecerdasan dalam beriman. Dia mengatakan bahwa ada yang namanya psikologi massa. Dia pun bercerita sesuai pengalamannya dulu yang cukup rutin ikut KKR, tetapi setelah itu merasa dibodohi. “Di KKR, jemaat dikondisikan agar begitu rupa disentuh oleh Firman dan nyanyian, sehingga apapun yang dikatakan oleh pendeta dituruti, dan pada akhirnya nanti jemaat diminta untuk mengeluarkan dompet dan memberikan isinya sebanyak-banyaknya dengan iming-iming firman Tuhan yang mengatakan “siapa yang memberi banyak, akan mendapat banyak.” Hal itu mudah dilakukan oleh jemaat, karena memang tidak diberi ruang untuk berpikir secara jernih dan kritis. Dengan kata lain, Om Berti menegaskan bahwa bukan berarti kita tidak boleh ke gereja yang kita senangi, tetapi kritisilah, agar kemudian kita bisa menyimpulkan bahwa kita tidak cocok dengan model seperti itu (tanpa perlu melabelkan sesat kepada mereka).

Terus bagaimana dengan mereka yang beragama lain? “Jalinlah hubungan yang baik dan seluas-luasnya dengan mereka. Jangan malu atau takut karena kita Kristen!” tegas Om Berti. Lalu, seandainya mereka bertanya soal keselamatan? “Katakanlah bahwa kamu Kristen dan betul-betul mengakui bahwa Yesus adalah Juruselamat yang membawa kabar baik dan keselamatan bagi semua orang. Tetapi ingat, katakanlah itu dengan kerendahan hati, bukan kepongahan maupun kesombongan dengan mengganggap remeh agama lain,” tegasnya lagi. Tetapi semua itu perlu didahului dengan relasi yang baik dengan mereka (agama lain), sehingga percakapan pun dapat berjalan lebih hangat tanpa saling curiga.

Lalu, bukankah dengan sikap Om Berti itu, kita beriman dengan ragu-ragu? “Ya tentu, toh ragu-ragu adalah bagian dari manusia. Beriman itu kan memang butuh keragu-raguan, bahkan jatuh-bangun berulang kali, mempertanyakan, mempertimbangkan, terus seperti itu. Sampai pada akhirnya, kita yakin bahwa semua pergumulan itu adalah bagian dari proses kedewasaan iman. Jadi, iman kita bukan untuk kesenangan saja, sehingga kita dengan mudah memaksa Tuhan lewat doa-doa kita (bahkan dengan embel-embel “dalam nama Yesus” sebagai kekuatan), untuk setiap keinginan kita. Ada porsi yang Tuhan lakukan, ada porsi yang harus kita lakukan. Itulah iman yang bertanggung jawab dan dewasa. Ga cuma maunya enak melulu,” lanjutnya lagi sambil bercanda.

Terus kita tidak perlu Pekabaran Injil (PI)? “Saya sangat mendukung, apapun caranya. Tetapi apabila dalam PI, kita menjelekkan-jelekkan agama lain, itu mah bukan PI. Jangan jadikan kabar baik itu malah kabar buruk bagi mereka yang mendengarnya. Maka saya tidak setuju dengan model kesaksian orang yang pindah dari agama lain lalu masuk Kristen, tapi di depan umat ia menjelek-jelekkan agamanya yang terdahulu. Model seperti ini harusnya tidak kita lestarikan. Kalau mau masuk Kristen, yah masuklah dengan keyakinan bahwa itu pilihan hati. Jangan lantas menjelekkan agamanya yang terdahulu,” tambahnya lagi.

Di pemuda GKI Maulana Yusuf sendiri (dan juga pada ibadah umum), penatuanya tidak memberikan batasan, pengkhotbah mana yang boleh dipanggil dan mana yang tidak. Mengapa? Sebab sejak awal, Om Berti dan seluruh rekan majelis sudah menanamkan kepada pemuda dan jemaat pada umumnya, bahwa poin penting yang perlu dipegang dalam menilai seorang pengkhotbah, selain teologinya, adalah apakah dalam khotbahnya, pengkhotbah itu menjelek-jelekkan agama lain atau tidak. “Biasanya kalau ada yang seperti itu (menjelek-jelekkan agama lain), jemaat otomatis melapor kepada majelis, agar ia jangan diundang lagi. Kita tidak cocok dengan dia,” ucapnya. Dia yakin bahwa gereja lain, termasuk pemuda GKI Pondok Indah, juga bisa melakukan hal itu, tetapi seiring dengan kedewasaan beriman. Itu semua butuh proses yang tidak instan. Tapi ia yakin, suatu saat, tanpa perlu diberi “rambu-rambu” terlebih dahulu oleh majelis, pemuda dengan kedewasaannya dapat dengan sendirinya menyeleksi setiap pembicaranya.

Isu menarik lainnya ialah soal pacaran dan menikah beda agama. “GKI membuka selebar-lebarnya kenyataan ini dan juga menghormatinya (termasuk membangun relasi dengan agama manapun),” ujarnya. Dan hal inilah yang membuat GKI dianggap “unik” (cenderung berkonotasi negatif) oleh denominasi lain. Hanya saja, ia mengingatkan bahwa UU di Indonesia tidak memungkinkan hal itu terjadi. Juga, pemberkatan di GKI perlu melewati proses pastoral yang cukup panjang. Ia menekankan, “Pasangan yang satu gereja saja (sama-sama GKI), juga mengalami banyak tantangan dalam pernikahan, apalagi kalau beda gereja dan lebih jauh beda agama. Bukan tidak boleh dan tidak mungkin, tapi pertimbangin mateng-mateng deh kalian yang pacaran beda agama. Butuh kematangan beriman untuk terus melanjutkan hubungan, bukan cuma kalian saja (pasangan yang menjalani), tetapi juga keluarga kalian. Sebab benih retaknya rumah tangga beda agama adalah pertanyaan-pertanyaan seperti, ‘Kapan suamimu masuk Katolik?’, atau ‘Kapan istrimu jadi mualaf.’ Nah siap ga kita menghadapinya, kalau tidak, yah jangan dipaksa,” tegasnya sambil bercanda.

Ia menutup diskusi dengan mengatakan bahwa beriman butuh sikap kritis dan bertanggungjawab. Di sisi lain, beriman harus punya makna bagi orang lain dan dunia. Kalau beriman tidak menghasilkan apa-apa (sekadar pemuas spiritualitas diri saja), sama saja dengan tidak beriman. Karena itu, jadilah pemuda Kristen yang berguna bagi dunia.

Yosafat Simatupang

1 Comment

  1. Nithanel Pandie

    Terima Kasih atas Ulasan kali ini.. memang hampir dialami oleh semua jemaat terutama jemaat kami di Kupang lebih khusus Jemaat GMIT yang selalu berupaya memberikan pelayanan yang terbaik sesuai talentanya untuk itu bagaiamana memberikan ruang atau peran bagi pemuda yang aktual.. kontekstaul dan inilah yang membuka wawasan kita agar betul-betul pemuda sebagai orang dewasa mudah tidak saja berkutik pada keakuannya… tetapi betul-betul memahami real need dalam medan pelayanannya. Trim’s salam dari Kupang NTT…. Tuhan Yesus menolong kita agar terus berkarya..

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Antar Kita
  • GKI ORCHESTRA: Kidung Pengharapan
    Sekilas tentang GKI Orchestra GKI Orchestra merupakan ruang bagi remaja-pemuda dari seluruh GKI untuk memberikan talenta dan kerinduannya dalam...
  • Mata Air Kasih-Nya
    Yesus adalah Raja, ya benar, tetapi Ia berbeda dari raja yang lain. Sebuah Kerajaan, memiliki bendera, apapun modelnya, bahkan...
  • BELAJAR MELAYANI SEDARI KECIL
    Ibadah Anak/Sekolah Minggu sudah selesai, tapi masih banyak Adik adik Sekolah Minggu yang belum beranjak meninggalkan sekolah Tirta Marta...
  • PERSEKUTUAN DOA PAGI
    Persekutuan Doa Pagi atau PDP adalah kegiatan rutin di gereja, yang sepertinya dimiliki oleh hampir semua GKI, termasuk GKI...