Tinggal di dalam Dia Berbuah bagi Dunia

Tinggal di dalam Dia Berbuah bagi Dunia

Belum ada komentar 56 Views

“Wah… di mana ya tempat ibadahnya?” keluh Pak Hasudungan sambil menepiskan keringat yang bercucuran di keningnya tersengat panas matahari di siang bolong.

“Pak Herman, apa kita nggak salah alamat desanya ya?” serunya pada Herman, koster gereja kota yang juga nampak kebingungan.

“Kayaknya bener sini dech pak, dulu saya juga pernah nganter pendeta yang dari luar kota, ya ke sini ini tempatnya, tapi kok tidak ada orang yang menyambut ya?” jawab Herman mengelak untuk tidak disalahkan.

“Kok panas banget ya, dari tadi sepertinya kita sudah mutar-mutar dan balik lagi ke tempat ini. Yuk, kita istirahat dulu di bawah pohon rindang itu sambil minum es dawet ya, wah pasti seger nih.” Ajak Pak Hasudungan sambil menunjukkan arah jarinya ke satu tempat tertentu. Pak Herman mengangguk setuju dan menepikan sepeda motor yang telah 15 tahun setia melayaninya.

Sambil menikmati es dawet, Pak Hasudungan dan Pak Herman merasakan desiran angin sepoi yang menyempurnakan suasana santai setelah melakukan perjalanan selama hampir 2 jam. Sambil terkantuk-kantuk mereka masih terus mendiskusikan tempat tujuan yang belum jelas juga.

“Pak, boleh numpang nanya, desa Njodog letaknya di mana ya?” tanya Pak Herman pada penjual es cendol.

“Ah…. itu lho pak, nggak jauh dari sini kok, tuh….kelihatan itu lho, kalau Bapa turun, lalu belok kiri, lalu persis di perempatan belok kanan, kemudian ada kuburan, lempeng saja, lalu turun lagi lewat jalan setapak kira-kira 10 menit, nah… sampailah Bapa di desa Njodog.” Jawab penjual dawet dengan penuh semangat dan meyakinkan.

“Wah… gawat nih… maaf pak saya nggak mudeng (ngerti), apa ada yang bisa ngantar ya?” seru Pak Herman lagi.

“Loh… lha panjenengan (Anda) sebetulnya mau ke mana?” tanya Pak Kromo penjual dawet yang kelihatannya jadi tambah penasaran.

“Oh… kami diundang untuk melayani kebaktian sore ini di GKJ Njodog, kami dengar hari Minggu ini sangat istimewa karena ada ibadah ucapan syukur atas panenan yang melimpah terjadi di tempat ini” sela Pak Hasudungan yang pengen juga angkat bicara.

“Woooo, kenapa nggak bilang dari tadi, Bapa ini pendeta toh… lha saya memang diminta oleh gereja untuk nunggu Bapa di perbatasan desa ini. Yah… kalau gitu mari saya antar ke gereja.” Jawab Pak Kromo. Sambil berpandangan, Pendeta Hasudungan dan Pak Herman saling tersenyum lega, lalu mereka pun menitipkan motor pada keluarga Pak Kromo dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

Pak Hasudungan kagum dengan pemandangan hijau seperti permadani terhampar di depannya, dedaunan nan hijau subur dan penuh energi. Tak sabar ia pun bertanya lagi pada Pak Kromo: “Tidak mengherankan kalau panennya di desa ini luarbiasa ya Pak Kromo, tanaman di sekitar sini berdaun hijau lebat dan subur”.

Pak Kromo pun menjawab: “Maaf Pak Pendeta, sebenarnya yang penting bagi kami bukan hijau daunnya yang lebat dan subur tapi buahnya.” Pak Hasudungan dan Pak Herman pun menganggukkan kepala tanda setuju.

Setiba mereka di GKJ Njodog, beberapa orang telah menyambut dengan ramah dan menyiapkan makan siang serta tempat istirahat sementara.

Sore itu tempat ibadah dipadati jemaat yang ingin bersyukur bersama atas berkat Tuhan yang mereka terima berkelimpahan. Musik gending jawa lengkap dengan gamelannya mengiringi pujian yang dinyanyikan dengan penuh kesungguhan hati. Dan ibadah pun berjalan dengan khusuk dan penuh rasa syukur.

Selesai ibadah seperti biasa, pendeta berjalan lebih dulu menuju pintu keluar untuk menyambut jemaat yang akan kembali ke rumah masing-masing. Ketika tiba giliran Pak Kromo memberikan salam, ia pun memuji Pdt Hasudungan: “Wah… khotbahnya sangat menarik dan memberi semangat Pak Pendeta, terimakasih ya.” Dan Pdt Hasudungan pun menjawab: “Sama-sama Pak, yang penting bagi saya sebenarnya bukan khotbahnya menarik atau tidak Pak, tapi apakah Firman Tuhan yang ditaburkan ini akan menghasilkan buah-buah roh atau tidak?” Dan Pak Kromo pun mengangguk sambil menebar senyum penuh arti.

Tuhan Yesus dalam Perumpamaan “Pokok Anggur yang benar” di Injil Yohanes 15, memberitahukan apa yang paling penting dalam kehidupan para murid. Apa pun yang mereka imani, apa pun yang mereka hayati dan lakukan, jika tidak menghasilkan buah, maka semuanya hanya kelihatan baik tapi tidak dapat dimanfaatkan.

Rajin datang beribadah tiap Minggu, tidak pernah absen membaca renungan saat teduh setiap hari, semangat melayani dalam program kegiatan gereja, menjadi pegiat-pegiat yang setia dan penuh pengabdian. Semua yang kita lakukan sebagai orang-orang yang percaya pada Tuhan Yesus, mungkin saja akan menarik perhatian dan simpatik banyak jemaat atau bahkan banyak orang di luar jemaat. Namun sangat disayangkan, walaupun semua sikap, tindakan, dan dedikasi kita mengundang decak kagum banyak orang, namun jika tidak ada buah-buah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri, maka tidak ada manfaat apa pun, karena hanya pengetahuan semata tidak akan pernah mengubah kehidupan kita.

Ibu Teresa atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Mother Teresa”, seorang wanita yang mengabdikan diri sepenuhnya untuk mendampingi masyarakat miskin di India, menceriterakan pengalaman mengharukan tentang penderitaan yang dialami oleh satu keluarga Hindu dengan delapan anak yang sudah berhari-hari tidak makan sedikitpun, karena tidak memiliki apa pun untuk dimakan.

Ibu Teresa bergegas pergi melawatnya dengan membawa beras secukupnya. Beliau menjumpai anak-anak yang matanya melotot karena lapar. Sungguh sangat menyedihkan! Ibu yang berlatar belakang agama Hindu itu menerima beras dari tangan Ibu Teresa, kemudian membaginya menjadi dua bagian, lalu pergi.

Ketika kembali ibu Teresa menanyakannya: “Ke mana saja kamu pergi? Apa yang kamu lakukan?” Dia menjawab: “Mereka juga kelaparan.” Rupanya yang dimaksud dengan “mereka” adalah tetangganya, satu keluarga Muslim yang mempunyai jumlah anak yang sama, yang harus ditolong karena mereka juga tidak memiliki apa-apa untuk dimakan. Meskipun ia hanya menerima beras secukupnya, namun rasa empati, kepedulian dan kasih yang muncul dalam diri ibu Hindu itu mendorongnya untuk melakukan sesuatu bagi saudaranya yang mempunyai nasib yang sama dengannya.

“Karakter positif” kepedulian dan kasih muncul dalam kehidupan ibu yang berlatar belakang agama yang berbeda dengan yang ditolongnya. Hal ini terjadi karena ia sendiri pernah mengalami penderitaan yang sama sehingga ia memahami benar apa artinya rasa lapar yang terjadi dalam suatu keluarga.

Ibu Teresa, anak Tuhan yang mempunyai relasi akrab dengan Tuhan Yesus, selalu saja terdorong untuk menghadirkan “karakter positif” yaitu buah kepedulian dan buah kasih dalam diri seseorang. Perbuatan ini ternyata telah memengaruhi relasi atau hubungan pribadi-pribadi dari latar belakang yang berbeda, baik agama, suku bangsa maupun adat istiadat, dan mengarahkan mereka pada suatu kehidupan bersama yang rukun dan damai.

Bukankah dengan menebarkan benih kepedulian dan kasih dalam diri seseorang, kita telah membangun kembali “karakter positif” dalam dirinya, sehingga ia pun mampu menghasilkan buah kepedulian dan kasih yang dapat dinikmati oleh orang yang lain lagi.

Jadi upaya menebarkan buah–buah roh akan menghasilkan juga buah-buah roh yang lain bagi siapa pun yang menerimanya.

Jika demikian, tunggu apa lagi, tetap tinggallah dalam relasi dengan Tuhan Yesus, apa pun yang terjadi dalam kehidupan kita, hanya dengan demikian dalam setiap gerak dan langkah kita akan didorong untuk menebarkan buah-buah roh (Galatia 5:22) dan buah-buah ini pula yang akan menjalar ke tempat lain dan menghasilkan kehidupan yang lebih rukun dan damai.

[Pdt. Tumpal Tobing]

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Renungan
  • Allah hadir bagi kita
    Biarkanlah, biarkanlah itu datang, ya Tuhan. Kami berdoa pada-Mu, biarkanlah hujan berkat turun. Kami menanti, kami menanti. Oh hidupkanlah...
  • MENCINTA DENGAN SEDERHANA
    Aku Ingin Aku ingin mencintaimu ciengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu...
  • SULUNG DALAM PALUNGAN
    Persekutuan Perempuan Jumat, 9 Desember yang lalu, temanya adalah “Cinta dalam Kesederhanaan”. Saya jadi ingat puisi Sapardi Djoko Damono,...
  • MELAYANI ITU INDAH
    Ketika kita berbicara tentang “melayani” maka hal ini sangat dekat dengan kehidupan Kristiani. Melayani (Yunani: diakoneo artinya to be...