Spiritualitas dan Panggilan Hidup

Spiritualitas dan Panggilan Hidup

Belum ada komentar 1390 Views

Pola hidup pragmatis dan materialistis yang dihasilkan oleh cara pandang modern, merupakan salah satu tantangan terberat yang dihadapi oleh masyarakat kita masa kini. Sering kali orang yang pada mulanya berjuang dengan semangat idealisme tinggi, akhirnya menjadi jenuh dan frustrasi ketika visinya belum terealisasi di tengah situasi dan kondisi yang sangat dinamis. Kekecewaan ini bisa membuatnya mundur dari tugas panggilannya, atau jatuh dalam godaan untuk menghalalkan segala cara demi mewujudkan ambisinya. Fidel Castro dan Mao Zedong adalah contoh beberapa pemimpin visioner yang pada awalnya dikenal rakyat dan pengikut mereka sebagai orang-orang yang idealis, tetapi kemudian berubah menjadi pemimpin diktator yang kejam dan menghalalkan segala cara demi mewujudkan visi politik mereka. Mengapa perubahan perilaku ini terjadi?

Salah satu faktor utamanya terletak pada tingkat spiritualitas dalam memahami relevansi akan panggilan hidup mereka di tengah dunia. Apakah spiritualitas itu? Seorang pakar kepemimpinan, Robby Chandra, mendefinisikan spiritualitas sebagai, “Kesediaan dan kemampuan menggali makna kenyataan-kenyataan hidup, di mana pusat hidup itu, yaitu Tuhan, harus terus-menerus diperhitungkan.“1 Karena saya dan Anda hanyalah ciptaan yang terbatas, maka kita wajib membuka ruang bagi Sang Pencipta untuk terlibat di dalam rencana dan keputusan hidup yang kita buat. Setidaknya ada enam alasan mengapa kita membutuhkan spiritualitas untuk tetap mampu mengerjakan panggilan hidup di dunia ini.

1. Karena manusia adalah makhluk ciptaan yang terbatas, yang memiliki kebebasan untuk memilih.

Manusialah satu-satunya makhluk ciptaan yang dianugerahi Tuhan kebebasan untuk memilih. Makhluk-makhluk lainnya, seperti hewan, tidak memiliki kebebasan itu. Hewan hanya berespons mengikuti nalurinya (insting). Benda mati berespons mengikuti hukum fisika. Meskipun visi hidup yang dimiliki oleh manusia berasal dari Tuhan, namun manusia tetap diberi Tuhan kebebasan untuk memilih setiap tindakan guna mewujudkan visi hidupnya di dunia, baik itu keputusan untuk mengambil tindakan yang baik maupun yang buruk. Inilah cara pandang yang mestinya membuka kesadaran kita tentang letak relevansi spiritualitas dalam proses pembentukan karakter diri kita, sehingga kita tidak terhanyut dalam mengambil keputusan yang melanggar norma-norma sosial, atau nilai-nilai dan prinsip yang diajarkan Tuhan di dalam proses pemenuhan panggilan hidup.

Seorang pakar pengembangan etika, Febiana Rima, dalam artikelnya yang berjudul Religiositas Humanis, menjelaskan letak relevasi agama dalam konteks penataan kehidupan publik:

Agama adalah pemberi arah bagi kehidupan manusia. Secara etimologis, agama dalam bahasa Sansekerta berarti ‘tidak kacau’. Pengertian ini menuntun kita untuk memahami secara lebih luas pengertian agama, yakni sebagai kumpulan norma atau peraturan untuk menciptakan keharmonisan sehingga tidak menimbulkan kekacauan. Manusia membutuhkan norma bukan hanya untuk mengatur hidupnya, namun lebih dari itu karena ia memiliki kebebasan…. Kebebasan manusia memerlukan norma-norma untuk mengatur perilakunya, terutama demi membangun kehidupan bersama.”2

Kita semua tahu bahwa pemimpin-pemimpin diktator seperti Adolf Hitler, Fidel Castro, Mao Zedong dan Stalin memiliki sejumlah kualitas karakter yang menunjukkan bahwa mereka punya panggilan hidup di bidang politik. Mereka memiliki kepekaan tentang siapa diri mereka, ambisi, dan pandangan tentang apa yang paling bernilai bagi mereka. Visi mereka sangat jelas. Mereka juga memiliki hasrat dan disiplin tinggi untuk mewujudkannya, bahkan menunjukkan integritas di dalam mempertahankan keyakinan mereka. Namun apakah yang membedakan pemimpin-pemimpin tiran tadi dengan tokoh-tokoh seperti Nelson Mandela, Mahatma Gandhi dan Martin Luther King Jr.?

Pertama, ada perbedaan besar antara kepemimpinan yang “berhasil” dan kepemimpinan yang “terus bertahan, dan tak lekang oleh waktu”3. Tokoh-tokoh yang saya sebut terakhir berhasil meletakkan dasar dan memberikan sumbangsih yang terus bertahan dan lestari, tidak seperti para pemimpin diktator. Stalin dan Hitler memiliki kualitas karakter yang dibutuhkan untuk menempuh panggilan hidup di dunia politik, tetapi mereka tidak mampu bertahan. Kedua, para pemimpin yang berhasil bertahan dan tidak lekang oleh waktu, memiliki kesadaran untuk mengakui dan mau mengenali keterbatasan-keterbatasan diri mereka sebagai manusia yang hanyalah makhluk ciptaan Tuhan. Kesadaran ini menuntun mereka untuk berupaya mengenal dan menaati norma-norma dan hukum alam yang ditetapkan Tuhan di tengah kebebasan mereka sebagai manusia, terutama di dunia politik yang mudah menggoda setiap orang untuk mengangkat diri sebagai sosok yang otonom dan bebas dari segala norma.

Contoh kasus yang saya ambil dari kehidupan di dunia politik ini menunjukkan bahwa benih-benih kekacauan dan kekerasan yang kerap terjadi di dalam kehidupan masyarakat muncul ketika orang tidak menyadari atau bahkan tidak menerima bahwa dirinya hanyalah makhluk ciptaan yang terbatas, yang mesti tunduk pada norma-norma dan hukum alam di dalam mengelola panggilan hidupnya. Pengakuan bahwa kita adalah makhluk ciptaan yang memiliki keterbatasan, menunjukkan kesadaran bahwa kita tidak mampu mengendalikan kehendak bebas atau keinginan kita secara sempurna (ingat nasihat filsuf Yunani Aristoteles: “kebutuhan manusia terbatas, namun keinginannya tak terbatas“). Kesadaran tersebut akan mempermudah kita untuk bersikap legowo, dan meminta pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk mengendalikan kebebasan kita, agar tidak kita salahgunakan untuk mengikuti dorongan keinginan manusiawi kita yang tak terbatas. Di sinilah pentingnya nilai-nilai spiritualitas yang membentuk kesadaran kita dalam memenuhi panggilan hidup, bukan spiritualitas dalam arti sekadar rajin melaksanakan ritual-ritual ibadah, aktif menjalankan kegiatan gerejawi, berbuat amal dan menunjukkan perilaku yang saleh.

2. Untuk menjaga integritas diri kita di tengah realita dunia yang fana dan tak menentu.

Memiliki spiritualitas yang baik dan otentik merupakan kebutuhan yang permanen untuk menjaga kelanggengan integritas diri kita. Apa alasannya? Karena kenikmatan yang dihadirkan oleh jabatan, harta dan kekuasaan mudah menggiring kita memilih melakukan perbuatan-perbuatan amoral dan penyalahgunaan wewenang, termasuk melanggar prinsip dan nilai-nilai yang kita yakini. Integritas tanpa spiritualitas ibarat membangun rumah di atas tumpukan pasir di tepi pantai, yang dapat roboh kapan saja akibat terpaan ombak laut. Kita membutuhkan spiritualitas untuk mampu mempertahankan integritas di tengah dunia yang penuh godaan yang menggiurkan. Kita tidak saja membutuhkan bakat, kapasitas intelektual dan kompetensi untuk memenuhi panggilan hidup kita. Namun kita memerlukan spiritualitas yang akan menjaga kita untuk tetap memilih cara-cara bermoral dan patut di tengah aneka dinamika kehidupan yang tak menentu.

Iman, keyakinan yang melandasi nilai-nilai spiritualitas, memampukan kita memenuhi panggilan hidup sambil tetap menjaga keseimbangan antara kehidupan duniawi dan akhirat, sehingga kita tidak terhanyut mengejar kebendaan dan materialisme yang berlebihan. Soedjatmoko, salah satu pengikut Sutan Sjahrir, pernah berkata:

Hanya imanlah yang dapat memberikan keberanian hidup bagi manusia. Iman juga dapat memberikan keberanian hidup dan kemantapan moral untuk menolak peluang-peluang yang gampang namun tidak becus, biarpun kelihatan aman dan biarpun dipakai banyak orang, dan untuk tetap mengambil jalan yang lurus, betapapun sulit jalan yang harus dilalui.”4

Keyakinan iman kita untuk menjalankan panggilan hidup di dunia dengan orientasi pada kebahagiaan hidup di akhirat, akan membuat kita tegar, berani, pantang menyerah, bersikap nothing to lose dan tidak mudah terhanyut dalam godaan kenikmatan sesaat. Ketika ada tawaran yang menggiurkan dalam bentuk kekuasaan, materi dan hak-hak istimewa lainnya asalkan kita mau melepaskan prinsip dan nilai-nilai yang kita yakini, kita akan lebih mudah menolaknya ketimbang orang yang rendah kualitas spiritualnya. Mengapa demikian? Karena kita sadar bahwa sumber kepuasaan kita bukan berasal dari tugas panggilan itu sendiri, atau dari kekuasaan, materi dan hak-hak istimewa yang menyertainya. Sumber kepuasan kita terletak pada dua hal. Pertama, bagaimana proses pemenuhan panggilan hidup itu membuat hati kita makin berpaut kepada Tuhan (makin intim bergaul dengan Tuhan), seperti halnya Daud (1 Raja-Raja 11:4). Kedua, bagaimana di dalam proses tersebut, kita menghasilkan kebaikan umum (common good). Ketika kita menempatkan sumber kepuasan kita pada kedua hal ini, semakin puas dan bersyukur pula kita di dalam melaksanakan panggilan hidup yang Tuhan percayakan kepada kita, karena kita mengharapkan imbalannya bukan saja di dunia ini (menerima apresiasi dari publik), melainkan juga di akhirat nanti (menerima pahala dari Tuhan).

Oleh sebab itu, ketika kita mengharapkan kepuasan dari pujian, kekuasaan, materi dan hak-hak istimewa tadi, kita akan kecewa karena semua hal tersebut bersifat fana. Kebahagiaan yang kita terima pun hanya sementara waktu ketika kita berada di dunia ini saja, tidak sampai dinikmati di akhirat yang bersifat kekal. Kesadaran akan kefanaan hidup dan kemampuan berpikir yang melampaui bingkai masa hidup di dunia, kita miliki sebagai satu-satunya makhluk ciptaan yang diberi sifat kekekalan dalam hati kita. Spiritualitas dibutuhkan untuk meningkatkan kepekaan kita pada kedua hal tersebut.

3. Untuk mengembangkan hati nurani yang takut akan Tuhan.

Di dalam kitab Amsal 9:10 tertulis bahwa, “Permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan (fear of the Lord is the beginning of wisdom).” Firman ini mesti ditanamkan kembali di dalam hati nurani suatu bangsa seperti Indonesia, yang masyarakatnya belakangan ini semakin banyak menunjukkan perilaku yang tidak gentar melakukan perbuatan-perbuatan tercela dan menyimpang dari norma-norma moral, dan yang hati nuraninya kian tumpul; suatu bangsa di mana masyarakatnya tidak lagi dapat membedakan mana yang salah dan mana yang benar, mana yang dipandang sebagai normal dan tidak normal. Lihat saja semerawutnya lalu lintas di jalanan dan berita-berita di media massa yang penuh dengan kasus-kasus korupsi. Hal ini disebabkan karena langkanya panutan yang baik dari para elit bangsa. Mereka begitu mudah mengaburkan makna seluruh batasan, kesesuaian, standar dan kriteria yang berlaku, demi kepentingan pragmatis sesaat.

Di tengah situasi seperti ini, kita tidak bisa terlalu mengandalkan teladan baik para pemimpin atau orang lain karena sikap manusia bisa sewaktu-waktu berubah. Kita membutuhkan spiritualitas untuk menanamkan dan mengembangkan rasa takut pada Tuhan di dalam kesadaran nurani kita. Ketika hati nurani yang takut akan Tuhan itu mulai merasuki kesadaran dan hasrat hidup kita, maka kita memiliki kemampuan untuk menempuh hidup dengan integritas. Hidup dengan integritas berarti hidup dengan prinsip bahwa dengan atau tanpa kontrol dari pihak lain, kita tetap berpegang teguh pada nilai-nilai yang kita yakini. Artinya, integritas kita diukur dari apa yang kita pikirkan, katakan dan lakukan, bahkan pada saat kita sendirian.

4. Untuk mengendalikan dorongan ego dalam diri kita.

Ego atau keakuan kita memfokuskan diri pada kelangsungan hidup dan kesenangan kita sendiri, serta memiliki ciri ambisius yang bersifat egoistis. Ego cenderung menyeret kita untuk mengabaikan prinsip-prinsip dan tolok ukur rasional di dalam keputusan yang kita buat. Ketika ego mendominasi pertimbangan yang kita buat, maka keputusan yang kita ambil akan rapuh karena tidak ditopang oleh landasan nurani dan akal sehat, sehingga menimbulkan distorsi dan ketidakwajaran dalam relasi sosial. Kita juga sulit mempertanggungjawabkan keputusan tersebut di kemudian hari. Pendek kata, setiap pilihan hidup yang ditentukan semata-mata oleh dorongan ego tidak akan bertahan lama. Spiritualitas dibutuhkan untuk mengendalikan dorongan ego kita sehingga pertimbangan yang kita buat tetap tunduk pada hukum moral yang Tuhan tanamkan dalam diri setiap manusia melalui nurani dan akal sehatnya. Spiritualitas memampukan diri kita untuk menentukan pilihan-pilihan hidup yang berpusat kepada Tuhan.

5. Menyadarkan bahwa panggilan hidup kita adalah anugerah pemberian dari Tuhan.

Kesadaran bahwa kemampuan kita berasal dari Tuhan, akan mendorong kita untuk tahu diri di dalam menggunakan bakat, wewenang, kekuasaan, materi maupun hak-hak istimewa yang dikaruniakan kepada kita. Hanya karena perkenan Tuhan, kita bisa melakukan tugas kita, apakah itu sebagai penatalayan di gereja, pejabat pemerintah, pengusaha, guru, penyanyi, politisi, seniman, tentara, pengacara dan lain sebagainya. Kesadaran itu diperlukan untuk membantu kita bersikap gentar ketika mencoba menyeleweng dari kehendak Tuhan, dan penting untuk menghindarkan kita dari perbuatan-perbuatan tercela yang mungkin kita lakukan, seperti tindakan penyalahgunaan wewenang, praktik korupsi, penindasan terhadap orang lain, rekayasa keadilan, manipulasi, penipuan, sikap lalim, pemutarbalikan kebenaran, dan lain sebagainya.

Kesadaran itu juga akan mendorong diri kita untuk memandang bakat, kemampuan, posisi dan wewenang yang kita miliki lebih dari sekadar urusan duniawi (lebih dari sekadar urusan pertanggungjawaban kita kepada atasan di kantor, pemimpin organisasi, aparat hukum dan semacamnya), tetapi juga terkait dengan masa depan hidup kita di akhirat. Wujud kesadaran inilah yang dibutuhkan untuk memampukan kita menjadi sosok pelayan Tuhan yang berintegritas, berani mempertahankan prinsip dan menegakkan kebenaran, karena kita tidak takut pada siapapun kecuali kepada Tuhan yang kita layani.

6. Sarana untuk melatih kepekaan diri kita di dalam menggali makna kenyataan hidup.

Sebagai orang yang terpanggil untuk melayani Tuhan di bidang kita masing-masing, kita dituntut untuk terus berupaya menjalankan panggilan hidup kita sesuai dengan rencana Tuhan. Orang yang tidak memiliki spiritualitas, sebenarnya hanya sekadar menjalani kesehariannya. Ia terus merangkai hidup tanpa memahami pola yang sedang dibentuknya. Sebaliknya, spiritualitas yang kita miliki akan memampukan kita untuk memahami makna pergumulan hidup kita di bidang pelayanan atau pekerjaan yang kita tekuni, dan membentuk diri kita menjadi sosok yang tegar, tahan menderita, tetap konsisten, serta mampu mensyukuri apa yang kita hadapi – meskipun pahit.

 

Randy ludwig pea

Referensi

  1. Robby I. Chandra, Bahan Bakar Sang Pemimpin (Penerbit Gloria Graffa: Yogyakarta, 2004), hlm. 20.
  2. Febiana Rima, Religiositas Humanis (Suara Pembaruan: Jakarta, 23 Januari 2010).
  3. Stephen R. Covey The 8th Habit: Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan (Terj.) (PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2005), hlm. 102-103
  4. Soedjatmoko, Menjadi Bangsa Terdidik Menurut Soedjatmoko (PT.Kompas Media Nusantara: Jakarta, 2009),hlm. 114.

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...