Salib, Lambang Kekerasan

Salib, Lambang Kekerasan

1 Komentar 292 Views

Lihatlah salib itu! Yesus mati untuk kita, untuk menebus dosa kita, manusia. Benar, tidak ada kesalahan dalam diri-Nya yang melayakkan Dia untuk disalib. Akan tetapi, apakah tidak ada cara lain yang lebih terhormat daripada salib? Mengapa harus dengan kematian di kayu salib? Bukankah memakai salib dengan Yesus sebagai ‘korban’ yang harus mati adalah penghinaan sekaligus kekerasan? Apakah ini berarti Allah, yang adalah kasih dan sumber kasih, memakai kekerasan untuk membuktikan kasih-Nya?

Dengan paradigma seperti itu, kemudian, oleh sebagian kelompok, (peristiwa) salib tidak lagi dipandang sebagai lambang kemenangan atas dosa, melainkan tak ubahnya sebagai simbol kekerasan. Paradigma ini memiliki prinsip bahwa untuk meraih suatu “kemenangan”, maka harus ada “korban” atau “tumbal” sebagai ganti kemenangan itu.

Lalu apakah salah memandang salib sebagai lambang kekerasan? Tunggu dulu. Ini bukan soal benar atau salah, melainkan cara berpikir ini mempunyai perspektif lain (dan mungkin asing) dalam membaca dan menghayati peristiwa salib, seperti yang juga dilakukan Delores S. Williams, teolog pembebasan dan feminis. Williams melihat bahwa alih-alih ingin mengenang peristiwa Jumat Agung dengan cara mendramatisasi melalui aksi teatrikal, suara, dan penampilan ala kisah akhir hidup Yesus di salib, tapi pada saat yang sama pula “teladan” kekerasan sedang ditanamkan pada generasi manusia yang menikmatinya.

Williams melihat fenomena inilah yang juga menurutnya menjadi dasar atas pergumulan wanita kulit hitam (Afrika) di Amerika, yaitu surrogacy, yang arti harfiahnya penggantian [1] . Surrogacy yang Williams maksudkan adalah potret kehidupan wanita kulit hitam Afrika di sana dalam konteks perbudakan, dan bahkan pergundikan. Praktik surrogacy ini telah menjadikan wanita hanya sebagai “barang pengganti” yang bisa diatur oleh “tuannya”.[2]

Apa bukti ketidakadilan atas praktik surrogacy ini? Banyak sekali. Dalam segala aspek kehidupannya, wanita kulit hitam seringkali ‘dipaksa’ selalu lebih dari yang harusnya ia lakukan: dipaksa supaya menjadi pemenuh kebutuhan rumah tangga, jam kerja yang lebih banyak, bahkan ‘kerja ekstra’ untuk memuaskan kebutuhan seks sang ‘tuan tanah’. Bukankah perilaku seperti ini salah? Justru, karena ideologi “penggantian” yang mereka pegang (dan imani), hal tersebut dipandang sangat wajar. Semua hal tersebut dilakukan karena “sistem” yang memaksa mereka melakukan itu, atau bahkan merekapun dikondisikan agar dengan sukarela mengambil langkah tersebut. Mengapa? Mereka tidak mempunyai pilihan karena mereka adalah wanita kulit hitam.

Tragis memang, tetapi bagi Williams, hal ini merupakan dampak dari peristiwa salib yang justru (lebih) menayangkan praktik kekerasan, yang pada gilirannya kelak membangun habitus manusia yang “penuh kekerasan” pula. Maka dari kisah tragis tersebut, Williams kemudian mempertimbangkan kembali makna salib Yesus, apa benar salib Yesus adalah tebusan dari Allah kepada iblis untuk dosa umat manusia? Apa benar salib Yesus adalah hukuman yang dipilih sendiri oleh Allah karena ketidakmampuan manusia melunasi ‘utang’ kepada Allah atas ketidaksetiaan manusia akibat dosa? Apa benar salib Yesus merupakan manifestasi terbesar dari kasih Allah? Lantas mengapa kasih dan penebusan harus dengan cara penuh kekerasan tersebut? Pertimbangan ini pula yang disimpulkan Williams dengan mempertanyakan, “Buat apa salib tetap dipertahankan?”

Memang, salib adalah peristiwa sejarah yang tidak bisa dilupakan, tetapi menurutnya, tidaklah perlu mengagungkannya. Salib itu penghinaan, kenajisan. Menurut Williams, dalam konteks surrogacy wanita kulit hitam di Amerika, pemahaman akan salib Yesus tersebut tidaklah perlu, bahkan tidak akan memberikan makna pembebasan.

Kalau salib tidak menjadi simbol yang melandasi kekristenan, lalu apa penggantinya?

Menurut Williams, fokus teladan Yesus bukan pada kisah salib Yesus, sebab ini sangatlah kental dengan imperialisme patriakal. Peristiwa yang penting menurutnya ialah hidup dan pelayanan Kristus (ministerial vision) di dalam terang Roh Allah. Ia datang untuk menunjukkan kehidupan manusia yang sesungguhnya–kehidupan yang di dalamnya mengungkapkan keintiman relasi antara manusia (pria-wanita) dengan Allah. Keintiman ini sekaligus mengalahkan segala kuasa maut, bahkan membawa ke dalam tranformasi diri, bukan malah memakai Yesus sebagai korban.

Salib itu Kujunjung Penuh

Langkah yang tidak biasa dari Williams dalam memahami salib Yesus cukup mengagetkan saya. Ternyata khotbah tiap minggu dan dalam Jumat Agung terhadap keagungan salib telah ‘melupakan’ aspek lain, yaitu: salib yang penuh dengan lambang kenajisan, kotor, penindasan. Menyembah dan mengagung-agungkannya berarti telah menyembah dan mengagung-agungkan, bahkan melegalkan, bentuk-bentuk penindasan yang sejajar dengannya (seperti kisah wanita kulit hitam di Amerika tersebut). Untuk hal ini, saya setuju dengan Williams.

Begitu juga dengan pernyataannya bahwa Yesus tidak mengalahkan dosa dalam maut, tetapi dalam kehidupan. Melalui (hidup dan pelayanan) Yesus, Allah mengajar manusia bagaimana hidup dalam kedamaian, produktif, dan berlimpah kasih sayang satu dengan yang lain. Kedatangan Yesus mematahkan kuasa-kuasa manusia yang seringkali mendominasi dan menindas pihak tertentu. Rasanya, istilah bela rasa tepat dikenakan dalam ministerial vision yang ditawarkan Williams.

Hanya saja, sikap ini membuat saya ingin berbicara beberapa hal:

Pertama

Adalah naif dan terlalu berlebihan ketika Williams mengajukan untuk ‘menolak’ salib Yesus. Berlebihan sebab salib sudah menjadi simbol yang khas Kristen dan simbol ini menyimpan banyak makna. Makna terdalam yang dilupakan Williams adalah kekuatan dari simbol sebagai anamnesis (pengenangan) terhadap seluruh hidup dan karya Yesus (bukan cuma kematian-Nya). Bukankah salib menjadi peristiwa monumental yang mempertemukan Allah dengan manusia dalam Yesus? Kalau hanya berkaca pada “kehidupan” Yesus, maka apa yang khas dari Kekristenan? Bukankah Mahatma Gandhi juga demikian, Bunda Teresa, Romo Mangunwijaya, dan sebagainya?

Kedua

Lagi-lagi Williams (dan kebanyakan teolog pembebasan) sangat parsial memahami teks (atau kisah). Salib memang salah satu bagian dari kisah keselamatan yang memang terjadi dalam bentuk penghinaan, penderitaan, bahkan kematian. Akan tetapi, bukankah kebangkitan-Nya mengalahkan segala kuasa maut? Kisah salib tidak boleh dipisahkan dari kisah kebangkitan-Nya, sebab kisah salib itu berpuncak pada kebangkitan-Nya.

Ketiga

Kurang lengkapnya Williams dalam membaca Sinoptik (ketiga Injil Matius, Markus dan Lukas, yang mempunyai konkordansi terbesar dalam menceritakan kehidupan Yesus). Bukankah aspek manusia Yesus begitu ditekankan oleh Sinoptik? Bukankah puncak kemanusiaan Yesus adalah teriakan ketika Yesus disalib: “Eli, Eli Lama Sabaktani?” Lebih tepat ketika kita melihat Injil Yohanes, di mana kemanusiaan dan keilahian Yesus menjadi satu. Bukankah Yohanes mencatat bahwa teriakan Yesus di kayu salib adalah juga teriakan Allah? Bukankah ini gambaran yang menunjukkan kerendahhatian Allah atas manusia, sehingga ia memilih jalan yang menyakitkan ketimbang jalan yang enak? Williams tampaknya memisahkan ‘proyek’ Trinitas, khususnya antara Yesus dengan Allah, sebab paksaan dari Allah dipandang sebagai penggantian yang dipaksakan kepada Yesus, tetapi sekaligus juga menunjukkan inisiatif dari Yesus.

Betapapun hinanya tragedi salib, tawaran untuk “menghilangkan (kisah) salib” tidaklah tepat. Tetapi lebih bijak jika memaknainya dengan berbeda. Dengan kata lain, memandang salib Yesus dengan makna lain, makna yang penuh solidaritas Allah atas manusia, makna toleransi Allah kepada manusia, dan makna kerendahhatian Allah kepada manusia. Bagaimana caranya?

Mulailah dengan berkaca pada keluarga kita. Apakah kita sudah memberikan ruang yang bebas bagi berbagai ekspresi kehidupan? Bagi para suami, apakah sudah memberi tempat yang layak bagi para istri? Jangan-jangan surrogacy wanita kulit hitam Amerika juga terjadi terhadap istri-istri Anda. Jangan-jangan Anda sedang “menyalib” istri Anda pada “kebutuhan dapur dan tempat tidur” saja, bahkan dengan berlindung di balik institusi “marga” yang memang di sebagian besar suku di Indonesia menjadikan wanita sebagai makhluk nomor 2 setelah laki-laki. Jangan-jangan Anda sudah “mengganti” peran istri Anda dengan “mesin pemuas seks” dan “mesin pengurus anak”.

Begitu pula para istri, jangan-jangan Anda hanya sedang menunggu “mesin pemenuh kebutuhan dan shopping Anda” bekerja, yaitu suami Anda. Tanpa kasih sayang dan tanpa kehangatan. Begitu pula dengan anak-anak Anda. Jangan-jangan Anda sedang menyalib hati, pikiran, dan keinginan mereka dengan idealisme Anda sendiri, cita-cita Anda sendiri. Betul bahwa sebagai orangtua, Anda berhak mendidik mereka dengan cara apa pun. Tetapi mereka juga punya hak menentukan masa depan apa yang mereka inginkan kelak.

Bagaimana dengan kehidupan kerja Anda? Sudahkah perlakuan yang layak diberikan kepada bawahan Anda?

Sadar atau tidak, di dalam kehidupan kita saja, penindasan kerap kita lakukan, sekecil apa pun bentuknya. Hidup dan pelayanan Yesus memang menjadi teladan bagi kita, tetapi begitu pula salib-Nya. Komitmen kita sebagai Kristen yang sejati adalah menjunjung penuh salib itu, yang penuh pengorbanan dan perjuangan. Tidak bisa dititipkan, tidak bisa digantikan, dan tidak bisa dielakkan.

Begitulah menjadi Kristen, yang dibangun pula atas “teologi salib tanpa genggam”, sebab salib itu memang harus dipikul, bukan melulu “teologi sukses” dengan berbagai kemudahan. Mari kita pikul salib itu. Berat memang tetapi untuk itulah Tuhan menciptakan “orang lain” di sekitar kita, keluarga kita, saudara, teman kantor, teman kampus, teman sekolah, teman pelayanan di gereja, bahkan “orang asing/tidak kita kenal” sekalipun, yang seringkali justru luput dari perhatian kita.

Arus informasi yang cepat dan begitu canggihnya teknologi yang datang tanpa terbendung dalam hidup kita, kerap kali menjadi kemudahan di satu sisi, tetapi menjadi salib bagi hangatnya relasi kita dengan “orang lain”. Kita begitu asyik dengan berbagai gadget kita, dengan dalih membangun jejaring sosial dengan siapa saja dan kapan saja, tetapi justru dengan person di dekat kita, kita tidak mengacuhkankannya. “Salib” yang harusnya kita pikul, tergantikan (surrogated) oleh gadget yang hanya segenggam tangan.

Refleksi dari tulisan ini ialah, jangan gantikan salib, yang harusnya kita pikul, dengan apa pun dan siapa pun. Banyak surrogacy modern yang tidak kita sadari. Maka biarlah kemenangan yang kita nikmati melalui kebangkitan-Nya, kita awali terlebih dahulu dari kerendahhatian kita untuk berkorban bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk dan bersama “orang lain”. Itulah makna solidaritas salib yang sesungguhnya. Junjunglah penuh salib itu.

Yosafat Simatupang

*. Tulisan ini merupakan refleksi saya dari tulisan Delores S. Williams, “Black Women’s Surrogacy Experience and the Christian Notion of Redemption” yang merupakan salah satu artikel dalam buku Marit Trelstad (ed.), Cross Examinations: Reading on the Meaning of the Cross Today (Maryknoll: Orbis Books, 2001), hlm. 19-32.
1. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, kata surogasi sendiri tidak ditemukan. Saya hanya menemukan kata surogat yang berarti pengganti bagi zat lain, misal: mentega menggantikan minyak.
2. Dalam konteks aslinya surrogacy ditujukan kepada ibu sewaan untuk mengandung bayi orang lain. Istilah teknisnya ialah sewa rahim atau pinjam rahim. Biasanya diterapkan pada ibu-ibu yang kandungannya lemah, sehingga tidak bisa hamil tanpa resiko keguguran. Jadi sperma dan sel telurnya dari pasangan suami istri, tapi kemudian ‘ditransplantasi’ ke kandungan ibu pengganti ini dengan teknologi bayi tabung. Tetapi, kata ini dipakai untuk menunjuk pada praktik ketidakadilan kepada kaum wanita khususnya wanita kulit hitam.

1 Comment

  1. henny mono

    Apa pun mahluk itu hakikatnya merupakan ekspresi Tuhan Yang Maha Esa, tidak terkecuali Yesus al Masih. Kematiannya merupakan pemaknaan tentang eksistensi kemahlukan (baca:: suatu ciptaan) Yesus al Masih dari Yang Maha Kuasa sekaligus pelajaran bagi umat manusia. Salam kenal,

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...