Refleksi Natal Respons Terhadap Panggilan Tuhan: Renungan masa Adven

Refleksi Natal Respons Terhadap Panggilan Tuhan: Renungan masa Adven

Belum ada komentar 5450 Views

Dalam kalender gerejawi, masa adven lebih sering dipahami sebagai masa persiapan menyongsong hari Natal. Secara sederhana, kata “adven” sendiri dapat diartikan “dating,” dan dalam rangka Natal, kita mengartikan adven sebagai masa menantikan kedatangan Tuhan. Semula masa adven ditetapkan selama enam minggu, namun dalam perkembangannya kini masa adven dirayakan selama empat minggu saja. Selama empat minggu masa penantian ini, kita diberi kesempatan belajar dari empat tokoh yang terlibat dalam kisah kelahiran Sang Juru Selamat, yaitu: Zakharia, Maria, Yusuf, dan Elisabet. Kita belajar dari keempat tokoh ini dalam memberi respons terhadap panggilan Tuhan untuk berbagi di dalam rencana-Nya.

Zakharia
Luk.1:5-25; Bagaimanakah aku tahu… (ay.18)

Respons Zakharia ketika malaikat Tuhan memberi kabar baik bahwa istrinya akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang akan memiliki peran penting dalam pekerjaan Tuhan, adalah meragukannya. Ia tidak memercayainya:”Bagaimanakah aku tahu, bahwa hal ini akan terjadi? Sebab aku sudah tua dan istriku sudah lanjut umurnya” (ay.18). Dalam versi bahasa Inggris: How can I be sure of this? (NIV).

Sebenarnya malaikat mewartakan kabar yang sangat baik kepada Zakharia, bahwa doanya dikabulkan, istrinya akan mengandung dan melahirkan anak laki-laki, dan bahwa banyak orang akan bersukacita atas kelahiran anak itu. Anak itu akan dipenuhi oleh Roh Kudus bahkan sejak dalam kandungan ibunya dan ia akan membuat sejarah karena banyak orang Israel akan berbalik kepada Tuhan. Anak itu kelak akan menyiapkan suatu umat yang layak bagi Tuhan. Bukankah hal tersebut merupakan kabar yang sangat menggembirakan? Bahkan sangat istimewa! Tetapi mengapa Zakharia tidak percaya dan meragukannya? Sering kali kita juga demikian bukan? Ketika Allah memanggil kita untuk berbagi di dalam karya-Nya, menyatakan kebenaran, kasih, keadilan, kebaikan, pengampunan, kita sering meragukannya dan mungkin juga menolaknya. Setidaknya ada tiga hal yang bisa menjadi penghalang sehingga kita tidak bisa memahami dan berbagi dalam karya dan rencana Tuhan:

1. Kita terlalu mengandalkan logika atau akal budi
Zakharia menjawab: “…aku sudah tua dan istriku sudah lanjut umurnya.” Bila ada sesuatu yang menurut kita bertentangan dengan logika dan bahkan tidak masuk akal, respons spontan kita adalah meragukannya, bahkan menolaknya. Dalam kehidupan kita sekarang ini, hal seperti itu bisa tampak dalam bentuk meragukan mukjizat Tuhan yang disaksikan oleh saudara-saudara seiman, baik secara langsung maupun melalui berbagai media lainnya, misalnya: kesembuhan dari sakit-penyakit yang sudah lama diderita, dikaruniai seorang anak meskipun sudah divonis secara medis tidak bisa memiliki keturunan, terlepas dari ketergantungan narkoba, terbebas dari jeratan kuasa iblis, terbebas dari kepahitan dan luka batin.

2. Kita sering kali terpaku pada tradisi atau kebiasaan
Di Israel, perempuan yang mandul merupakan aib dan dimengerti sebagai kutukan Tuhan dengan menutup kandungannya. Aib itu akan terhapus dan perempuan itu bisa mengandung jika Tuhan sudah berkenan kepada dirinya. Kapan Tuhan berkenan? Tidak ada yang tahu, karena itu orang Israel terus berusaha melakukan ritual-ritual agamawi untuk memperoleh perkenan dari Tuhan. Sayangnya, ketika tiba saatnya Tuhan menyatakan perkenan-Nya, justru saat itu terjadi keragu-raguan, seperti yang terjadi pada Zakharia. Dia sudah terlanjur “terbiasa” dengan pola pikir tradisi kutuk tersebut sehingga ketika kehendak Tuhan dinyatakan, muncul keraguan dalam dirinya. Hal serupa sering pula terjadi pada diri kita, terutama kita “yang sejak dalam kandungan sudah Kristen” atau Kristen sejak lahir. Kita menempatkan kekristenan sebagai agama dengan ibadah-ibadah gerejawi yang baku dan kaku, sehingga bisa menghalangi kita memahami dan berbagi di dalam kehendak dan rencana Tuhan.

3. Status/keadaan diri
Zakharia adalah seorang imam yang sehari-hari bertugas di Bait Suci dan memimpin berbagai upacara agama. Sebagai imam, seharusnya Zakharia memiliki relasi yang lebih khusus dengan Allah daripada relasi umat Israel dengan Allah. Tetapi “kekhususan” tersebut rupanya justru menghalangi pemahaman Zakharia terhadap kehendak Allah. Seperti pada poin di atas, kita bisa mengalami kesulitan untuk mengerti dan memahami kehendak Allah dan panggilan-Nya bila pemaknaan akan relasi dengan Allah itu hanya sebatas status kita saja, yaitu sebagai orang Kristen, atau pegiat, atau pendeta, atau penginjil, atau penatua/sintua, tanpa diikuti dengan spiritualitas hidup yang berakar dan menyatu dengan Tuhan secara intim dan pribadi.

Maria
Luk.1:26-38; Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan… (ay.38)

Siapa yang tidak terkejut ketika malaikat mengatakan bahwa Maria akan mengandung, padahal ia belum bersuami? Siapa yang mau jika ditempatkan dalam situasi atau posisi yang sulit seperti Maria: perempuan belum bersuami kok sudah hamil? Posisi Maria benar-benar sulit jika hal itu terjadi: keluarga akan mencampakkannya karena tidak bisa menjaga kehormatan keluarga, masyarakat akan menudingnya sebagai perempuan sundal, lalu bagaimana juga dengan Yusuf. Bisa jadi pernikahannya dengan Yusuf akan batal!

Berita dari malaikat itu memang memberi kebanggaan tersendiri, karena anak yang lahir dari kandungannya nanti akan disebut Anak Allah yang Mahatinggi. Bahkan Allah akan mengaruniakan kepada Anak itu tahta Daud dan menjadi Raja atas keturunan Yakub selama-lamanya. Kerajaannya tidak akan berkesudahan. Wow, sebuah berita yang luar biasa. Tuhan mau memakai Maria untuk berbagi di dalam pekerjaan-Nya. Tapi “bayarannya” sangat mahal. Sanggupkah Maria menanggungnya?

Respons Maria: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Maria menyadari siapa dirinya di hadapan Tuhan, ia pasrah dan berserah sebagai hamba. Mengapa Maria bisa memiliki sikap seperti itu? Ada tiga hal penting yang menjadi landasan utama sikap Maria:

1. Maria menyadari sepenuhnya penyertaan Roh Kudus (ay.35)
Maria tahu bahwa konsekuensi yang dihadapinya akan sangat berat. Tetapi penyertaan Roh Kudus dan kuasa Allah yang menaunginya akan memberinya kekuatan dan kesanggupan untuk melewati masa-masa sukar. Maria percaya sepenuhnya pada penyertaan Allah dalam hidupnya.

2. Maria telah melihat karya Allah yang telah terjadi di masa yang lalu (ay.36)
Beberapa bulan sebelumnya, Maria telah mendengar bahwa Elisabet, sanaknya yang sudah “sepuh” itu mengandung, padahal menurut akal sehat, sudah tidak mungkin bisa hamil. Kenyataan yang terjadi pada Elisabet membuat Maria semakin percaya dan mantap akan pesan yang disampaikan oleh malaikat.

3. Maria menyadari kemahakuasaan Allah di luar kuasanya sendiri (ay.37)
Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil, karena itu, apa alasan yang bisa membuat Maria menolak kehendak Tuhan? Karena Ia sendiri yang akan menyatakan kuasa-Nya, Maria hanya sebagai “alat” untuk penyataan Allah.

Dalam zaman yang serba instan dan penuh dengan persaingan ini, kita sering kali dihadapkan pada situasi yang sulit, bahkan sangat sulit. Bagaimana sikap kita ketika menghadapi situasi yang sangat sulit tersebut dalam hidup kita? Menolak atau pasrah menjalaninya dengan keyakinan seperti Maria? Lebih sulit lagi ketika Tuhan mau memakai kita menjadi rekan untuk menyatakan kehendak Allah di dunia ini, seperti: keadilan, kejujuran, kesetiaan, kemurahan, kebaikan, dan pengampunan. Dan ini tidak mudah, tentunya, maukah kita? Mari belajar dari Maria.

Yusuf
Mat.1:18-25; Berbuat seperti yang diperintahkan (ay.24)

Sebenarnya tidak ada yang akan mempersalahkan Yusuf jika dia menceraikan atau membatalkan pernikahannya dengan Maria, karena Maria telah mengandung bukan dengan Yusuf. Tapi Yusuf ditempatkan dalam situasi yang sulit ketika malaikat Tuhan menyuruhnya untuk tetap mengambil Maria sebagai istrinya, padahal semula Yusuf sudah berencana menceraikannya secara diam-diam. Bila ada pepatah demikian, “Tidak makan nangka tetapi kena getahnya,” mungkin seperti itulah perasaan Yusuf saat itu. Bagaimana akhirnya respons Yusuf? Keputusan Yusuf berubah. Ia berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan kepadanya: ia tetap mengambil Maria sebagai istri tetapi tidak bersetubuh dengannya sampai Maria melahirkan. Yusuf taat dan tunduk pada kehendak dan rencana Tuhan.

Yusuf mengambil keputusan yang berat. Ia berani mengubah keputusannya yang semula. Mengapa ia berani melakukannya? Alkitab mencatat, Yusuf adalah seorang yang tulus hati (terjemahan TB-LAI), seorang yang mentaati hukum agama (BIS), a just man (KJV), a righteous man (NIV). Kata Yunani yang dipakai untuk menerangkan sifat Yusuf adalah dikaios yang berarti lurus hati, jujur, baik. Dalam konteksnya, Yusuf memang seorang yang sangat taat pada hukum agama, dan karakter dasar “taat” itu tidak hilang ketika ia disuruh oleh malaikat untuk menikahi Maria. Yusuf tetap taat karena ia tahu dari siapa perintah itu datang.

Pada masa sekarang ini, masihkah ada karakter “taat” yang dijumpai dalam diri orang Kristen? Mungkin kata ini agak terdengar klise karena sering diidentikkan dengan sikap kurang inisiatif, tidak proaktif, tidak kritis, bahkan yang menyedihkan, terkadang diidentikkan dengan kebodohan. Maksudnya, orang-orang yang “bodoh” biasanya lebih suka menurut apa yang diperintahkan kepadanya, tanpa tahu alasan dan tujuannya. Apakah Yusuf termasuk pria “bodoh”? Ya, mungkin ada yang berpendapat demikian, tetapi kita bisa menyaksikan sekarang ini, bahwa ketaatan Yusuf adalah tanggapan atas panggilan Allah untuk mengambil bagian dalam rencana keselamatan-Nya bagi dunia. Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat (1 Kor. 1:27). Siapkah kita dianggap “bodoh” oleh dunia?

Elisabet
Luk.1:39-45; Diberkatilah engkau di antara semua perempuan (ay.42)

Elisabet adalah tokoh yang hampir selalu “ketinggalan” untuk ditelaah dalam setiap episode peringatan Natal. Kenyataannya, kisah Elisabet ini pun hanya dicatat dalam Injil Lukas. Sebuah pertemuan yang unik terjadi antara Maria dan Elisabet. Keduanya memiliki pengalaman yang luar biasa dalam hidup mereka. Maria dan Elisabet mengalami jamahan Tuhan, mukjizat Tuhan.

Ketika mereka bertemu, Elisabet berseru dengan suara nyaring: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” Dari manakah Elisabet tahu tentang apa yang terjadi dengan Maria? Apakah kehamilan Maria telah “bocor” di mata publik? Pertanyaan seperti ini memang sulit dijawab dan mengandung spekulasi, karena hal ini berkaitan dengan maksud dan tujuan sang penulis Injil itu sendiri, yaitu Lukas, ketika menuliskan kisah ini. Namun kita tidak akan membahas pertanyaan ini, melainkan belajar satu hal dari Elisabet.

Elisabet memberikan sebuah pengakuan kepada sanaknya, Maria, bahwa Maria adalah perempuan yang diberkati dari antara semua perempuan. Mengapa ia bisa memberikan pengakuan seperti itu kepada Maria? Bukankah Elisabet juga perempuan yang terberkati karena mengandung seorang anak yang kelak akan membuka jalan bagi Sang Juru Selamat? Anak yang dikandungnya menjadi seorang nabi yang besar. Yesus sendiri memberi kesaksian tentang Yohanes Pembaptis kepada orang Israel, bahwa Yohanes Pembaptis adalah “nabi Elia” yang diyakini akan datang kembali itu (Mat.11:7-19).

Dari Elisabet kita belajar tentang kerendahan hati. Kerendahan hati tidak akan menghalangi kita untuk melihat orang lain yang “lebih beruntung” dari kita. Kerendahan hati tidak akan menahan kita untuk memberi pengakuan kepada orang lain bahwa keberadaan mereka menjadi berkat bagi kita; kita merasa diberkati karena kehadiran dan keberadaan mereka. Sikap Elisabet ini muncul karena dirinya dipenuhi oleh Roh Kudus. Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih tidak rela jika orang lain kelihatan “lebih diberkati” dari kita? Malukah kita bila kita saling memberi pengakuan kepada saudara-saudara kita, sesama kita, bahwa keberadaan mereka membawa berkat bagi kita? Kiranya persekutuan kita dengan sesama juga menjadi bagian penting dalam memberi respons terhadap panggilan Tuhan kepada kita untuk berbagi dalam rencana Allah di dunia ini.

Dalam menantikan Tuhan, janganlah kita mengandalkan logika, tradisi, dan status, melainkan berpasrah penuh pada-Nya, taat, dan selalu rendah hati dalam pimpinan Roh Kudus. Karena itu, bersiaplah menyambut kehadiran Tuhan dalam hidup kita.

Selamat Natal, Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Hernadi Kurniawan

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...