Pekarangan untuk sumber pangan & gizi keluarga

Pekarangan untuk sumber pangan & gizi keluarga

Belum ada komentar 629 Views

Pekarangan adalah tempat atau lahan di sekitar halaman rumah, bisa luas atau sempit. Namun seluas apa pun pekarangan, dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan bagi keperluan keluarga, khususnya sayur-sayuran, yang bisa ditanam di pot atau drum bekas. Sedangkan bila lahan cukup luas, bisa ditanami bermacam-macam buah-buahan, bahkan memelihara ternak kecil dan ikan, yang diperlukan keluarga sebagai sumber pangan dan gizi. Dengan demikian tidak akan pernah lagi kita mendengar ada keluarga yang kelaparan atau kurang gizi.

Sesungguhnya sangatlah ironis bahwa di negara kita yang terkenal dengan kesuburan tanahnya, justru banyak yang menderita kelaparan dan kekurangan pangan. Padahal secara teoritis, tidak akan pernah ada kelaparan, apabila setiap petani/keluarga bisa menghidupi dirinya dan keluarganya, dengan menanam sendiri berbagai tanaman pangan.

Karena itu, adanya anjuran pemanfaatan pekarangan sangatlah tepat untuk memenuhi pangan dan gizi keluarga, mengingat selama ini pekarangan belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal pekarangan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai penghasil pangan, dalam memperbaiki gizi keluarga sekaligus meningkatkan pendapatan keluarga. Manfaatnya sangat besar, terutama bagi masyarakat golongan ekonomi lemah. Untuk itu Pemerintah telah menganjurkan agar memanfaatkan setiap jengkal tanah termasuk lahan tidur, galengan, maupun tanah kosong yang tidak produktif.

Usaha Perbaikan Gizi Keluarga

Departemen Pertanian (sekarang Kementerian Pertanian) sudah sejak puluhan tahun lalu menggagas dan melaksanakan program pemanfaatan pekarangan yag dikenal dengan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) di seluruh Indonesia. Program ini merupakan kerja sama dengan Departemen Kesehatan dan UNICEF. Diperkirakan bahwa lahan pekarangan seluas 50 m2 yang ditanami pisang, pepaya, ubi jalar, singkong, talas, maupun berbagai macam sayur-sayuran (kangkung, bayam, sawi, cabai, bawang, tomat) dan ternak kecil (ayam, bebek, kelinci, burung puyuh, ikan lele) secara berkesinambungan dan intensif, dapat memenuhi kebutuhan pangan dan gizi setiap keluarga.

Program ini terutama ditujukan bagi kaum wanita petani yang tinggal di pedesaan, dengan dibantu oleh suami masing-masing. Kebijakan ini didasarkan pada penilaian bahwa wanita lebih banyak memiliki waktu dibandingkan pria yang bekerja di luar rumah, dan kegiatan ini dapat memberikan tambahan penghasilan bagi keluarga, dengan menjual kelebihan hasilnya. Biasanya, kaum wanita dan anak-anaklah yang paling menderita akibat krisis ekonomi dan kemiskinan. Juga wanita dianggap lebih mengerti tentang pangan dan gizi serta urusan rumah tangga sehari-hari. Dengan jumlah wanita sekitar 50% dari jumlah penduduk, wanita sangat potensial diberdayakan bagi pembangunan pertanian, seperti mengelola pemanfaatan pekarangan.

Pada awal program, bibit tanaman tersebut disediakan oleh Departemen Pertanian. Namun hasilnya tidak memuaskan dan tidak berkembang seperti yang diharapkan. Salah satu penyebabnya ialah kurangnya pembinaan dan tidak merupakan gerakan dari bawah (grass root), yang berdasarkan kemauan masyarakat itu sendiri. Bamyak dari petani/keluarga yang menerima bantuan, tidak melanjutkan program tersebut dengan membibitkan sendiri tanaman atau ternak mereka. Mereka hanya menunggu bantuan Pemerintah karena merasa bahwa program ini tidak penting dan bermanfaat bagi mereka. Mereka menganggap enteng, karena nilainya tidak seberapa. Tapi faktanya, kita sering mendengar orang kelaparan dan kekurangan gizi. Atau berteriak bila harga cabai sangat mahal.

Saya sendiri tidak khawatir dengan harga cabai tersebut, karena sejak berkeluarga sudah menanam cabai di tanah atau pot, dan hasilnya lebih dari cukup untuk konsumsi sekeluarga, bahkan dapat diberikan kepada teman-teman. Memang saya sangat senang dan peduli pada lingkungan hijau dengan menaman berbagai macam tanaman. Di rumah, selain tanaman hias, saya juga menanam banyak tanaman yang bermanfaat. Ada buah-buahan (mangga, rambutan, jambu air, jambu klutuk, kelapa, kedondong, pisang, sukun, pepaya, sawo, jeruk), sayur-sayuran (singkong, kangkung, bayam, terong, katuk, tekokak), bumbu dapur (jahe, temu kunci, kunyit, sereh), dan tanaman obat (untuk ambeien, diabetes). Pada saat-saat tertentu, bila tidak sempat belanja atau ada tamu yang tiba-tiba berkunjung, sayuran tinggal mengambil saja. Selain masih segar, ada kepuasan tersendiri karena bisa memetik hasil sendiri.
Ternyata Korea, sebuah negara yang sangat maju, memiliki kebiasaan yang patut ditiru. Penduduknya yang tinggal di pinggiran kota, yang memiliki lahan sangat terbatas atau bahkan tanpa pekarangan sama sekali, dapat menanam sayur-sayuran di pot, seperti cabai, tomat, sawi, caisim atau mentimun. Selain itu, mereka juga menggunakan sterefoam bekas pembungkus elektronik (radio, tv, dll.) sehingga tidak perlu membelinya. Pot-pot tersebut diletakkan di sepanjang pinggir jalan tanpa mengganggu orang yang lalu-lalang, atau disandarkan ke dinding rumah atau gedung.

Ketika kami berada di sana pada bulan Agustus tahun lalu bersama 30 orang peserta dari Indonesia (sebagian besar pejabat/guru Sekolah Pertanian) untuk mengikuti pertemuan Asia Network 4-H Organization, kami kagum akan hal tersebut. Sungguh suatu pemandangan yang berkesan bagi kami saat itu sehingga hampir setiap peserta mengabadikannya. Kebetulan ketika itu ada pula seorang pria Korea yang dengan gunting sedang memanen sawi yang memang terkenal di negeri ini. Ia hanya mengambil sekadarnya, cukup untuk dua kali makan. Seperti kita ketahui, orang Korea sangat menyukai sayur-sayuran untuk konsumsi sehari-hari. Mereka rajin, ulet dan dapat memanfaatkan lahan yang ada selama waktu yang singkat, yaitu pada musim semi dan panas. Mengapa kita yang berada di Indonesia, yang dikaruniai Tuhan iklim tropis dan bisa menanam sepanjang tahun, tidak memanfaatkan lahan dengan sebaik-baiknya?

Oleh karena itu, janganlah ragu menanam tanaman pangan di pekarangan rumah. Walaupun sempit, Anda bisa menggunakan pot atau bambu yang dibelah, atau pipa plastik yang didesain untuk tanaman bertingkat; silakan berkreasi. Jangan khawatir bahwa rumah Anda yang bagus akan rusak pemandangannya, karena Anda bisa mengatur semuanya dan menggabungkannya dengan tanaman hias lain sehingga bervariasi menjadi taman yang indah. Selain sebagai sumber pangan dan bisa disalurkan sebagai hobi, Anda pun memiliki kesibukan baru sekaligus berolahraga karena cukup mengeluarkan keringat saat menyiram, memupuk, mengganti tanah dan pot. Kegiatan ini sangat mengasyikkan dan bisa menenteramkan hati dan jiwa, terutama bagi Anda yang sudah senior dan punya waktu luang. Saya pribadi bisa asyik mengurus tanaman saya dari pagi sampai sore dan sama sekali tidak merasa bosan.

Mulailah dan semoga sukses.

Pasti Tarigan-Tampubolon
Penulis adalah mantan Direktur/Inspektur di Departemen Pertanian & anggota jemaat GKI PI

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Artikel Lepas
  • Kami Juga Ingin Belajar
    Di zaman ini, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat, manusia justru diperhadapkan dengan berbagai macam masalah...
  • KESAHAJAAN
    Dalam sebuah kesempatan perjumpaan saya dengan Pdt. Joas Adiprasetya di sebuah seminar beberapa tahun lalu, ia menyebutkan pernyataan menarik...
  • Tidak Pernah SELESAI
    Dalam kehidupan ini, banyak pekerjaan yang tidak pernah selesai, mulai dari pekerjaan yang sederhana sampai pekerjaan rumit seperti mengurus...
  • Mengenal Orang Farisi
    Bedah Sejarah Israel Di Masa Yesus
    Arti Kata Farisi Kata Farisi—yang sering diterjemahkan sebagai ‘memisahkan/terpisah’— menunjukkan sikap segolongan orang yang memisahkan diri dari pengajaran—bahkan pergaulan—...
  • Mengenal Sosok Herodes
    Bedah Sejarah Israel Di Masa Yesus
    Herodes dalam Injil Banyak orang tidak terlalu menaruh perhatian pada sosok Herodes dalam Injil. Kebanyakan mereka hanya tahu bahwa...