Sapaan Tuhan

Peka terhadap Sapaan Tuhan?

Sebuah Pertanyaan dan Refleksi

Belum ada komentar 703 Views

Petaka Kita dan Tiga Godaan untuk Menjawabnya

Tatkala kita dikejutkan oleh begitu banyaknya tragedi dan musibah di milenium ketiga ini, mulai dari tragedi WTC 11 September, Tsunami, hingga badai Katrina, tema “sapaan Tuhan” jadi terasa begitu absurd. Selalu saja muncul godaan di benak banyak kaum agamawan—dan godaan itu makin menggiurkan ketika sudah diklaim sebagai kebenaran mutlak—bahwa semua tragedi dan musibah itu adalah sapaan Tuhan pada dunia masa kini. Sapaan Tuhan yang murka dan geram pada dosa manusia.

Godaan lain yang menggiurkan banyak orang adalah klaim-klaim menghebohkan dari para pemimpin agama bahwa mereka telah menerima pesan dari Allah secara verbal. Entah lewat mimpi atau pengalaman mengunjungi surga. Mudah diduga, tentu saja klaim semacam ini membangkitkan keterpesonaan umat yang tak terlalu kritis terhadap si tokoh, yang tiba-tiba terangkat pamornya sebagai hamba Tuhan yang melebihi hamba-hamba Tuhan lain yang tak seberuntung mereka.

Akhirnya, godaan juga muncul tatkala suara Tuhan begitu saja digantikan posisinya oleh Alkitab. Klaim bahwa “Alkitab adalah Firman Tuhan” dianggap sama dan identik dengan klaim bahwa “Firman Tuhan adalah Alkitab.”

Menganalisis Tiga Godaan

Ketiga godaan di atas saya lihat mewarnai dinamika kehidupan orang-orang Kristen Indonesia masa kini. Kita tengah hidup dalam sebuah era yang melebihi apa yang terjadi pada masa Samuel, yaitu lebih dari sebuah kondisi di mana, “Pada masa itu firman Tuhan jarang” (1Sam. 3:1b). Dalam situasi semacam ini, di mana sapaan Allah begitu sepi terdengar, bahkan tak lagi terdengar secara langsung, ketiga godaan di atas makin menguat. Mari kita analisis ketiga godaan tersebut lebih mendalam.

Godaan pertama berbahaya karena ia menggambarkan Allah yang mahakasih itu sebagai pihak yang bertanggung jawab atas seluruh petaka yang terjadi di dunia. Allah yang mendua hati. Memang ada tradisi tertentu dalam kekristenan yang menegaskan bahwa Allah kita adalah Allah yang mahakasih sekaligus mahaadil. Petaka yang muncul lantas diklaim sebagai wujud dari keadilan Allah karena dosa manusia.

Pertanyaan kritis yang patut disodorkan adalah, jika memang petaka adalah wujud keadilan Allah, bagaimana dengan orang-orang yang tak bersalah yang menjadi korban petaka tersebut?

Doktrin di atas gagap menjawab pertanyaan mendasar ini. Dan lagi, hampir selalu yang terjadi adalah, bahwa klaim semacam itu muncul dari outsider, yaitu mereka yang tak mengalami secara langsung tragedi tersebut.

Kita ingat bagaimana klaim macam ini disuarakan oleh banyak pemimpin gereja yang berdomisili di luar Aceh, disuarakan di atas mimbar yang megah, di dalam gereja mewah. Mereka melakukan spekulasi—yang tentu bukanlah spekulasi buat mereka, namun sebuah kemutlakan—bahwa tragedi Tsunami adalah bukti murka Allah pada umat Muslim. Sungguh sebuah pikiran yang berbahaya. Sama berbahayanya dengan klaim pemimpin fundamentalis Kristen kanan di Amerika, seperti Jerry Farwell, yang mempersalahkan dosa kaum homoseksual sebagai penyebab runtuhnya menara kembar WTC pada tanggal 11 September 2001. Dan saya memilih untuk tidak mempercayai Allah semacam itu.

Godaan kedua tak kalah berbahaya, karena ia mempersempit keyakinan kristiani bahwa Allah dapat disapa oleh siapa pun, menjadi Allah yang hanya dapat dijumpai secara pasti lewat para pemimpin yang mengklaim diri mendapat suara Allah secara verbal. Allah lantas menjadi dominasi kaum elitis-supranatural. Dan kosekuensi logis berikutnya, mereka yang tak menerima suara Allah secara langsung, atau yang tak mempercayai mereka yang menerima suara Allah, dianggap sebagai orang Kristen bermutu rendah. Iman lantas diukur dari mau tidaknya kita mempercayai mereka yang mengaku diri menerima suara Allah. Dan saya memilih untuk tidak mempercayai Allah semacam itu.

Godaan jenis ketiga mengundang bahaya yang tak kalah peliknya. Persoalannya adalah karena kita sudah terlalu terbiasa mengatakan bahwa “Alkitab adalah Firman Allah” tanpa sikap kritis apa yang dimaksud dengan ungkapan ini. Tentu saja, kita sepakat bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan, namun hanya dalam pemahaman bahwa Alkitab menyaksikan karya dan sabda Allah di dalam sejarah dan yang memuncak dalam pribadi Yesus. Di luar itu, Alkitab adalah buku biasa yang maksimal berisi himbauan moral. Pemahaman semacam ini dengan tegas menjadi pemahaman resmi gereja kita.

Dengan kata lain, kata kunci untuk ungkapan “Alkitab adalah Firman Allah” terletak justru pada kata “adalah.” Kata “adalah” dalam ungkapan tersebut tidak boleh dimaknakan sebagai “identik dengan” (A=B maka B=A), karena jika demikian Yohanes 1:1 bisa dikalimatkan sebagai berikut, “Pada mulanya adalah Alkitab; Alkitab itu bersama-sama dengan Allah dan Alkitab itu adalah Allah.” Inilah yang disebut bibliolatri, penyembahan terhadap Alkitab.

Sejarah, Kristus dan Manusia

Jika demikian, jika kita tak ingin terjebak ke dalam tiga godaan di atas, bagaimana kita memahami “suara Allah” dalam situasi yang sepi-suara-Allah ini?

Kekacauan berpikir secara teologis yang membayangi persoalan ini sebenarnya berakar pada ketidakjelasan pemahaman kita mengenai penyataan Allah dalam sejarah manusia. Ungkapan “suara Tuhan” sesungguhnya merupakan sebuah penggambaran Allah dalam bentuk manusia, atau yang sering disebut antropomorfisme (anthropos: manusia; morphos: bentuk). Seolah-olah Allah berujud manusia yang memiliki mulut dan mengeluarkan suara.

Padahal, substansi dari ungkapan ini tak lain adalah bahwa Allah merelasikan diri dengan ciptaan-Nya. Penyataan atau wahyu Allah tak lain adalah pemberian diri Allah kepada manusia, penyingkapan diri Allah kepada ciptaan. Dan dalam teologi Kristen, pengungkapan-diri (self-revelation) Allah ini tidak dimulai ketika Allah “berbicara” kepada manusia, yang akhirnya dibukukan dalam Alkitab, namun dalam proses menciptakan semesta ini. Penciptaan, dengan kata lain, adalah akar dan model utama dari penyataan diri Allah. “Sejarah adalah penyataan Allah,” kata Wolhart Pannenberg.

Namun, sekali dunia dan sejarah dicipta, pada saat bersamaan, Allah memberi ruang pada ciptaan untuk beraktualisasi dalam dinamikanya sendiri. Sebagai contoh, semesta memiliki hukum alam yang beroperasi dengan indah, yang justru menampilkan kekuasaan Allah. Atau, manusia yang mendiami dunia ini, memiliki kehendak bebas untuk memilih apa yang terbaik untuknya, yang tentu saja berakibat dimungkinkannya pilihan yang justru melawan kehendak Allah (yang justru kerap terjadi). Dan jika itu terjadi, tentu saja kita tak dapat mempersalahkan Allah, karena Allah bekerja secara menghimbau (persuasive) dan bukan memaksa (coercive).

Jika Allah lantas menjalin relasi yang unik dan istimewa dengan manusia tentu tak dapat disangkal. Tata Gereja kita menyatakan bahwa Alkitab sesungguhnya menjadi kesaksian bagaimana relasi tersebut terjalin melalui apa yang disebut perjanjian (covenant). Itu sebabnya Alkitab tak sekadar berisi “suara verbal Allah”, namun juga kisah-kisah dan bentuk-bentuk sastra lain, yang tak lain mengekspresikan dinamika dan seluk-beluk relasi atau perjanjian Allah-manusia tersebut.

Keistimewaan relasi Allah dan manusia justru memuncak dalam penyataan-diri Allah yang paling utama: Yesus Kristus. Iman pada Kristus yang senantiasa kita pertahankan sesungguhnya menunjukkan bahwa kemanusiaan itu teramat penting dalam relasi Allah-manusia, sampai-sampai “Allah menjadi manusia” (Yoh. 1:14).

Kristus lantas menjadi pusat kemanusiaan sejati. “Ecce Homo” (Lihatlah Manusia Itu), kata Pilatus tatkala menghakimi Yesus. Sentralitas Yesus Sang Anak Manusia itu membuat kita mampu melihat Yesus di dalam diri manusia lain, sekaligus melihat seluruh umat manusia di dalam diri Yesus. Yesus Kristus adalah titik-temu Allah dan manusia. Ia adalah penyataan-diri Allah kepada manusia. Yesus Kristus adalah sapaan Allah pada manusia. Maka, peka pada sapaan Allah—di dalam Kristus—berarti peka pada kemanusiaan itu sendiri. Allah dijumpai dalam diri sesama. Saya percaya inilah dasar paling utama mengapa kekristenan harus bersifat humanis. Hilangnya elemen humanistik dari kekristenan berarti hilangnya identitas kekristenan itu sendiri.

Saya berkeyakinan bahwa penegasan terhadap kemanusiaan dan sejarah dalam perspektif Kristus ini perlu diingat terus tatkala kita menantang ketiga godaan di atas. Karl Barth, teolog besar abad ke-20 pernah mengingatkan kita, “Manusia menjadi ukuran segala sesuatu, karena Allah menjadi manusia.” Suara Allah—Sang Sabda itu—menjadi manusia di dalam diri Yesus dari Nazareth dan dengan cara itu menegaskan kemanusiaan sebagai ukuran bagi kita dalam mengarahkan diri pada Allah. Suara Allah itu didengar lewat Dia yang berkata,

“Sebab ketika Aku lapar, kamu (tidak) memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu (tidak) memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu (tidak) memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu (tidak) memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu (tidak) melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu (tidak) mengunjungi Aku.” (Mat. 25:35-36, 42-43)

Suara Allah macam apa yang bisa terdengar lebih lantang dari suara yang saban hari kita dengar di sekitar kita itu?

Narasi Kristus di dalam sesama yang dituturkan dalam Matius 25 ini amat menarik. Suara Kristus didengar lewat jeritan manusia di sekitar kita. Peka pada suara Allah berarti peka pada suara sesama. Namun, pada saat bersamaan, mari kita bayangkan apa yang akan terjadi ketika kita menjawab suara Kristus itu dengan cara memberi makan yang lapar, memberi minum yang haus, melawat yang terpenjara, memberi tumpangan orang asing? Mereka pun akan mendengar suara dan sapaan Allah melalui suara dan sapaan kita. Dengan kata lain, Kristus sekali lagi hadir melalui diri kita, Ia menyapa mereka melalui sapaan kita.

Dengan cara demikianlah kemanusiaan diteguhkan, yaitu ketika kemanusiaan mereka yang menderita dipulihkan dan kemanusiaan kita sendiri dipulihkan, justru dengan cara memulihkan kemanusiaan mereka. Karena kemanusiaan, sekali lagi, menjadi utuh tatkala ditemukan di dalam diri Kristus … Kristus yang kini hadir dalam diri sesama (bagi kita) dan dalam diri kita (bagi sesama).

Sisi kedua inilah yang mungkin ingin dituturkan oleh Celine Dion dalam tembangnya, La Voix Du Bon Dieu. Refrein nyanyian ini menarik.

On a tous un peu la voix du bon dieu

Quand on rend les gens heureux

On a le coeur loin du chagrin

Quand on a chante bien

 

We all have a little good God’s voice,

When we make people happy.

We have our heart far from sorrow,

When we sing well.

Joas Adiprasetya, Boston, musim dingin 2006

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...