Menjadi Seperti Burung Beo?

Menjadi Seperti Burung Beo?

Belum ada komentar 105 Views

The Land of the Rising Sun

Perang dunia kedua tidak dapat dihindarkan oleh negara raksasa Jepang pada saat itu. Setelah dijatuhi dua bom atom bertenaga dahsyat, Hiroshima dan Nagasaki hancur, luluh lantak rata dengan tanah. Begitu banyak kerugian yang diderita, baik secara material, jiwa maupun moral. Angkatan muda banyak yang berguguran, yang tersisa hanyalah dataran tandus yang tidak memiliki sumber daya alam. Pada tahun 1945, Jepang benar-benar hancur total. Namun, semua kondisi pada saat itu tidak menyurutkan tekad bangsa Jepang untuk meraih sukses dan bangkit dari keruntuhan negaranya.

Pada awal tahun 1950, seluruh pemuka masyarakat, pejabat pemerintahan, pemuka agama, teknokrat, akademisi, tokoh pemuda dan seluruh elemen inti masyarakat mengadakan pertemuan bersama di gedung pemerintahan untuk menentukan tekad bangsa ke depan. Hasil dari pertemuan tersebut dirumuskan sebagai tekad bersama bangsa Jepang, bahwa rakyat Jepang bertekad untuk menjadi negara nomor satu di bidang tekstil dalam kurun waktu satu dekade ke depan. Kerja keras dilakukan oleh semua elemen bangsa untuk mewujudkan satu tujuan bersama ini. Hasilnya, sebelum genap 10 tahun, Jepang telah berhasil menjadi negara penghasil tekstil nomor satu di dunia. Apakah mereka puas dengan pencapaian target tersebut?

Sejak itu pertemuan demi pertemuan menghasilkan pencapaian demi pencapaian, sehingga kita dapat melihat bahwa meski Jepang tidak memiliki sumber biji besi, mereka mengimpor biji besi dari Eropa Timur untuk kemudian mengolahnya menjadi baja ringan. Alhasil, mereka menjadi negara produsen baja nomor satu di dunia pada akhir dekade 60-an. Pada awal dekade 80-an, Jepang menjadi negara penghasil mobil nomor satu di dunia. Pada awal tahun 1990, Jepang menjadi negara produsen elektronik terbesar di dunia sekaligus mengukuhkannya sebagai negara industri terbesar di dunia. Fakta ini patut kita contoh sebagai bukti bahwa dengan tujuan yang jelas, spesifik, dan terarah, kesuksesan akan bisa diraih. Sementara itu, mereka yang tidak memiliki tujuan akan “berjalan di tempat” bahkan mundur dan tidak ada pencapaian signifikan yang berhasil diwujudkan. (diangkat dari buku Fight Like A Tiger Win Like A Champion).

Pilihan Yang Tepat, tetapi …. Pasca petaka bom atom telah dijadikan momentum bagi kebangkitan negara “Matahari Terbit”secara besar-besaran, dan hal itu adalah pilihan yang tepat.

“INGATLAH, YANG PENTING BUKANLAH APA YANG ANDA MILIKI, MELAINKAN APA YANG ANDA KERJAKAN DENGAN APA YANG ANDA MILIKI.” (John Mason)

Dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia juga telah melakukan hal yang sama, ketika kita mengisi kemerdekaan kita dengan aneka macam kemajuan dalam segala bidang kehidupan, pasca terbebasnya kita dari kungkungan penjajah. Akan tetapi … sesudah berjalan selama 67 tahun, rapor kemerdekaan kita ternyata masih terlalu banyak merahnya. Jika dibandingkan dengan keadaan sebelum merdeka, memang sekarang ini jauh lebih baik. Tapi jika diingat banyaknya tahun kesempatan yang diberikan untuk berkembang, di negara yang subur, dengan jumlah penduduk yang tidak sedikit, maka kita patut prihatin. Ketahuilah bahwa Firman Tuhan tadi juga ditujukan kepada bangsa Indonesia secara keseluruhan, oleh karena kita yakini bahwa negara ini milik Tuhan dan Tuhan pula yang sudah menganugerahkan kemerdekaan kepada kita sebagai sebuah bangsa. Ketika Firman Tuhan tadi mengatakan “Hiduplah sebagai orang merdeka” itulah anjuran Tuhan kepada bangsa Indonesia seutuhnya. Begitu pula mengenai “penyalahgunaan kemerdekaan untuk menyelubungi kejahatan,” serta harapan Tuhan agar kita semua “mau hidup sebagai hamba Allah.”

ADA DUA KEMERDEKAAN: YANG PALSU, KETIKA SESEORANG DENGAN BEBAS MELAKUKAN APA YANG IA MAU; YANG BENAR, KETIKA SESEORANG DENGAN BEBAS MELAKUKAN APA YANG WAJIB IA LAKUKAN. (Charles Kingsley)

Ketahuilah bahwa peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia merupakan momentum yang memersatukan seluruh elemen bangsa di hadapan Tuhan, dengan beberapa alasan yang mendasar.

Pertama, kita yakini bahwa Allah yang kita percaya, yaitu Allah Tritunggal, adalah Penguasa atas semesta alam termasuk negara tercinta kita ini.

Kedua, bahwa kita memiliki dwikewargaan, yaitu Kerajaan Allah dan Republik Indonesia. Dan tentu saja Kerajaan Allah jauh lebih besar karena meliputi baik dunia maupun surga. Dan jika kemerdekaan selaku warga negara Republik Indonesia hanya ditandai dengan terlepasnya kita dari kungkungan bangsa penjajah, maka kemerdekaan selaku warga Kerajaan Allah ditandai dengan terbebasnya kita dari kuasa Iblis, dosa dan maut.

Ketiga, bahwa Firman Tuhan menghendaki anak-anak-Nya untuk mengasihi semua anggota masyarakat dan menghormati raja serta tunduk di bawah kekuasaan pemerintah tanpa memperhatikan latar belakang keyakinan atau agamanya. “Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja.” (1 Petrus 2:17) Juga, “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah. Sebab itu barang siapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya.” (Roma 13:1,2)

Konon suatu hari seorang murid bertanya kepada Konfusius,”Apakah unsur-unsur dasar untuk sebuah pemerintah yang baik?” Jawab sang guru, “Makanan, senjata dan dipercaya oleh rakyat.” Selanjutnya, jika terpaksa harus melepas salah satu unsurnya, maka Konfusius mengatakan, ”Pemerintah berturut-turut bisa melepaskan senjata, lalu makanan. Tapi jangan pernah melepaskan yang ketiga, sebab pemerintah yang tak bisa dipercaya oleh rakyatnya pasti akan ambruk!”

Karena itu pemerintah harus terus berupaya supaya bisa dipercaya oleh rakyat, dan rakyat terus belajar semakin dapat memercayai pemerintahnya, walau menjumpai banyak kekurangan. Kita perlu mendoakan pemerintah, dan ikut ambil bagian dalam memajukan negara, termasuk memberikan pajak (Roma 13:6). Karena kepada pemerintah, Tuhan telah memberikan wewenang serta kekuasaan pedang (Roma 13:4). Dengan demikian pemerintah adalah hamba Allah yang dipakai-Nya untuk melindungi dan memajukan kehidupan kita semua.

SEORANG YANG TOLOL SEKALIPUN AKAN MAMPU MEMEGANG PEMERINTAHAN BILAMANA TIDAK ADA PERSOALAN DI DALAM NEGERI ITU. (Peribahasa Jerman)

Apakah Kita Sudah Hidup Sebagai Orang Yang Merdeka?

Rupanya hal itu masih perlu dipertanyakan kepada bangsa Indonesia secara keseluruhan, kepada setiap pribadi yang menjadi anak bangsa ini, dan khususnya kepada kita selaku anak-anak Tuhan.

Pertama, apakah sebagai sebuah bangsa yang merdeka selama 67 tahun, kita sudah berhasil memerangi kemiskinan di atas tanah yang subur ini? Apakah kita sudah berhasil menghapus banyak keterbelakangan kita dari bangsa-bangsa yang lain? Bagaimana dengan tekad memberantas korupsi, yang ternyata hanya setengah hati saja?

“SEBUAH NEGARA DIKATAKAN BERADAB JIKA PUNYA PERHATIAN YANG SUNGGUH-SUNGGUH TERHADAP MASA DEPAN ANAKNYA DAN ANAK TERBEBAS DARI SEGALA BENTUK SITUASI SULIT.” (Nelson Mandela)

Kedua, sebagai insan Indonesia, apakah kita secara pribadi sudah bisa merasakan kebebasan dari segala sesuatu yang memasung gerak kita? Masihkah ada ketakutan ketika menjadi penumpang angkot di ibu kota, karena seringnya terjadi pemerkosaan dan tindak kekerasan? Ketika melewati sebuah kawasan bersama keluarga, sering bisa dikejutkan oleh peristiwa tawuran antar warga? Ketika mendengar bahwa narkoba ternyata juga bisa disusupkan di antara anak-anak SD? Ketika keluar dari sebuah bank, selalu saja merasa kalau ada orang-orang yang sedang mengincar uang di dalam tas kita? Dan tentu masih banyak lagi hal-hal yang janggal.

Ketiga, apakah sebagai anak Tuhan, kebebasan beribadah masih kita rasa-kan sangat rentan terhadap gangguan? Masih saja kita jumpai saudara-saudara sebangsa yang sedemikian sulit menerima perbedaan, terutama dalam hidup beragama? Belum lagi persoalan internal. Persoalan pribadi; sebagai seorang anak Tuhan yang masih terikat oleh macam-macam kebiasaan buruk, dendam kepada seseorang, keterikatan dalam hubungan gelap, ketakutan dalam menyongsong masa depan.

Kalau semua itu masih juga merasuki kehidupan kita, maka tak ubahnya kita ini dengan seekor burung beo yang pandai meneriakkan “Merdeka! Merdeka!” tetapi kenyataannya masih punya seutas rantai yang me-masung kaki, atau sebuah sangkar besar megah yang memenjarakan. Kemerdekaan sebagai anugerah yang besar dari Tuhan untuk seluruh bangsa Indonesia, masih belum dapat dinikmati bersama. Begitu pula kemerdekaan melalui pengorbanan Kristus untuk setiap anak-Nya, ter-nyata masih jauh dari memuaskan hati Tuhan. Kalau begitu, mari kita tinjau ulang seberapa besar kita telah memaknai kemerdekaan sebagai warga Republik Indonesia, dan sebagai warga Kerajaan Tuhan. Mari bekerja lebih keras mengisi tahun-tahun kemerdekaan negara tercinta, mari melayani lebih sungguh untuk memuliakan Tuhan yang Mahabaik.

 

Pdt. Em. Daud Adiprasetya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...