Mengkritik Khotbah Pendeta Anda, Bagaimanakah Caranya?

Mengkritik Khotbah Pendeta Anda, Bagaimanakah Caranya?

2 Komentar 1242 Views

Tidak ada pengkhotbah yang sempurna. Kita semua membutuhkan dialog yang membangun dengan para pendengar kita, baik yang menyangkut isi maupun penyampaian khotbah.

Kalau saja Anda mau belajar untuk berkomunikasi, Anda akan mampu membangun sebuah gereja yang hebat.

Mendengarkan khotbah Anda adalah bagaikan minum langsung dari hidran pemadam kebakaran.

Saya amat kecewa! Saya mengharapkan Anda berkhotbah semata-mata demi kemuliaan Tuhan. Anda gagal melakukannya!

Khotbah Anda terlalu intelektual.

Khotbah Anda terlalu praktis.

Anda kurang banyak bicara tentang masalah keadilan sosial.

Anda terlalu banyak bicara tentang masalah keadilan sosial.

Khotbah Anda terlalu tinggi.

Khotbah Anda kurang dalam.

Beri kami daging, jangan susu.

Saya pernah mendengar berbagai pernyataan itu, atau setidaknya kesan-kesan semacam itu, tentang khotbah saya.

Pernah, ada yang tertidur saat saya berkhotbah.

Suatu kali seorang perempuan menggelengkan kepalanya tanda tidak setuju ketika saya membahas pemilihan Allah, sementara beberapa orang berbantahan dengan saya padahal saya masih di mimbar.

Pernah pula, seusai kebaktian, beberapa orang mengerubuti saya untuk memperdebatkan beberapa pokok teologi.

Beberapa orang pernah menyampai-kan kepada saya bahwa ada anggota-anggota jemaat yang tidak mendapatkan apa-apa dari khotbah saya.

Juga ada orang yang pernah mengata-kan bahwa mendengarkan khotbah saya itu bagaikan duduk di kelas (mungkin karena saya mengajukan berbutir-butir pokok permasalahan).

Dan ada pula beberapa orang yang dengan sopan dan lembut menyampaikan secara langsung kepada saya, bahwa mereka tidak dikuatkan oleh khotbah saya. Beberapa dari kritikan itu mengejutkan saya. Ada beberapa yang rasanya tidak adil. Beberapa terasa menyakitkan.

Dan ada beberapa yang memang pantas saya dapatkan (terutama komentar tentang “hidran pemadam kebakaran” di atas).

Kadang-kadang kritik-kritik itu mereda, namun kenyataan bahwa saya tidak dapat melupakan banyak di antaranya, adalah bukti bahwa semua itu memang tepat. Setiap pendeta yang berpengalaman dapat memperkaya daftar kritik itu. Karena memang kritik terhadap pribadi adalah salah satu risiko yang harus dipikul dalam pelayanan kristiani.

Namun hal itu juga amat besar manfaatnya.

Pendeta membutuhkan dan mesti menghargai umpan balik. Dan kita, para pengkhotbah, membutuhkan lebih dari sekadar pujian (walau kita menghargainya juga).

Tidak ada pengkhotbah yang sempurna. Kita, para pengkhotbah, membutuhkan dialog yang membangun dengan para pendengar kita, baik yang menyangkut isi maupun penyampaian khotbah.

Oleh karena itu janganlah memperlakukan artikel ini sebagai sebuah keluh-kesah seorang pendeta rewel yang tak tahan kritikan. Saya tidak ingin anggota jemaat saya berhenti memberikan umpan balik yang kritis, hanya karena takut menyinggung perasaan saya.

Sebaliknya, baik para pengkhotbah maupun para pendengarnya, baik mereka yang dikritik maupun mereka yang mengajukan kritik, dapat menjadikan dialog mereka lebih efektif.

Di bawah ini saya mengajukan beberapa usulan, baik untuk para pengkhotbah maupun para pendengarnya.

Bagi para pendengar:

1. Kritik yang paling membangun adalah yang diberikan dalam konteks kasih persaudaraan yang timbal balik.

Hal ini berlaku umum, bukan hanya bagi para pengkhotbah. Kita cenderung menerima kritik dengan baik, bila yang memberikannya adalah seseorang yang mengasihi kita dan menginginkan yang terbaik bagi kita.

2. Pastikan bahwa motivasi Anda benar.

Di dalam beberapa kritik yang disampaikan kepada saya, saya menengarai adanya hasrat yang tidak sehat untuk berdebat. Ada pula yang menyerang masalah-masalah kecil, bahkan ilustrasi khotbah. Hal-hal sepele yang menyangkut hal berkhotbah diperlakukan sebagai isu-isu teologis yang besar, sehingga sesudah mendengarkannya saya bertanya-tanya apakah mereka itu mendengarkan khotbah saya secara utuh. Kritik-kritik terbaik datang dari orang-orang yang secara tulus menginginkan agar melalui pengajaran Alkitab yang jelas, orang ditolong dan nama Tuhan dimuliakan.

3. Pilihlah saat yang tepat.

Di bawah ini ada beberapa contoh dari beberapa saat penyampaian kritik yang rasanya tidak tepat:

  • Minggu sore atau Senin. Tenaga pendeta Anda telah terkuras oleh berbagai kegiatan di akhir minggu yang baru lewat. Sebelum mengirimkan email berisi kritik Anda, berikanlah kepadanya kesempatan untuk beristirahat selama 48 jam.
  • Minggu pagi sebelum kebaktian. Sebelum ia naik ke mimbar, janganlah menyerangnya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang khotbahnya pada Minggu sebelumnya. Seyogyanya usahakanlah untuk tidak menanyakan apa pun juga. Biarkanlah ia memusatkan per-hatiannya pada tugasnya saat itu.
  • Ketika ia sedang cuti. Simpanlah kritik Anda hingga ia menyelesaikan cutinya.

Bahkan, menurut saya sebaiknya janganlah menggunakan email untuk menyampaikan kritik Anda. Sebaliknya buatlah perjanjian dengannya untuk berbicara melalui telepon, atau untuk makan siang bersama, guna menyampaikan kritik Anda.

Memang ini berarti bertatap muka, atau setidaknya berbicara langsung. Dan itu juga berarti bahwa Anda akan mempunyai cukup waktu untuk mempertimbangkan secara seksama dan hati-hati, apa saja yang hendak Anda sampaikan, serta bagaimana Anda hendak menyampaikannya. Sekaligus, dengan demikian, Anda memberikan pendeta Anda kesempatan untuk datang dengan pikiran yang jernih guna memberikan perhatian yang penuh pada keprihatinan Anda.

4 . Kritiklah hal-hal yang memang perlu dikritik.

Tidak semua kesalahan kecil pendeta Anda perlu ditunjukkan. Kasih menutupi banyak sekali dosa, termasuk cacat-cela dalam khotbah.

Bila Anda bosan dengan ilustrasi khotbah pendeta Anda yang itu-itu saja, atau menurut Anda khotbah terakhir pendeta Anda membosankan, biarkanlah saja. Simpanlah kritik Anda untuk hal-hal yang sungguh-sungguh penting, seperti, pelecehan Alkitab, penyampaian yang membingungkan, pemilihan kata atau nada yang tidak bijaksana, dan kecenderungan untuk bergeser dari sentralitas Injil.

Lebih konkret lagi, ajukan kritik Anda bila pengkhotbah mencabut teks dari konteks, atau menyusun kerangka khotbahnya dengan begitu ceroboh sehingga para pendengarnya kebingungan. Atau bila sang pengkhotbah menggunakan lelucon atau pernyataan-pernyataan yang melecehkan kaum minoritas, misalnya para homoseksual atau warga gereja yang tidak seazas. Atau bila seorang pengkhotbah alih-alih menekankan inkarnasi, pendamaian, kebangkitan, atau kedatangan kedua, hanya mengulang-ulang tentang nubuat 70 minggu dalam kitab Daniel. Bila hal-hal seperti itu dilakukannya, maka memang sudah waktunya Anda mengajak pendeta Anda bercakap-cakap sambil minum kopi di kedai kopi.

Dan Andalah yang harus mentraktirnya.

5. Berhati-hatilah.

Adalah berbahaya untuk duduk mendengarkan pelayanan Firman dengan telinga yang kritis. Bila Anda tidak berhati-hati dengan hati Anda, Anda akan memiskinkan jiwa Anda.

Bila Anda mendengarkan sebuah khotbah hanya untuk mencari-cari kesalahan, Anda pasti akan mendapatkannya.

Oleh karena itu janganlah mengembangkan pola pikir seorang kritikus. Sebaliknya, beribadahlah dengan mata dan telinga yang diarahkan pada Firman dari Allah yang hidup.

Bagi para pengkhotbah:

1. Perlakukanlah semua kritik dengan serius.

Sekecil apa pun, setiap kritik mengandung kebenaran. Tugas Anda adalah menemukan kebenaran itu.

Mungkin saja Anda memang kurang jelas.

Barangkali khotbah Anda memang terlalu panjang, atau kelewat banyak isinya, atau bahkan terlampau tinggi.

Spurgeon pernah mengingatkan para mahasiswanya bahwa Tuhan memerintahkan Petrus untuk memberi makan domba-domba-Nya, bukan jerapah-jerapah.

Apa pun kritik yang masuk, pertimbangkanlah. Anda niscaya akan belajar sesuatu.

2. Janganlah terlalu diresahkan oleh kritik-kritik itu.

Jagalah suasana hati Anda agar tetap ceria.

Bila Anda memang melakukan kesalahan dan seseorang me-nunjukkannya kepada Anda, tetaplah santai. Anda masih punya kesempataan untuk memperbaikinya pada Minggu yang akan datang.

3. Bicarakan kritik-kritik itu dengan orang lain.

Tidak ada seorang pun yang dapat secara objektif membahas khotbahnya sendiri.

Bila kita sendirian, kita akan cenderung melecehkan kritik. Kita juga bisa terlalu mudah mengabaikannya, atau sebaliknya terlampau memasukkannya ke hati, sehingga menjadikan kita kelewat defensif, atau memahaminya secara keliru.

Bila Majelis Jemaat Anda benar-benar adalah mitra pelayanan Anda, maka Anda mestinya mendengar apa yang memang seharusnya Anda dengar. Bereaksilah dengan rendah hati dan bijaksana.

4. Pilahlah kritik yang membangun.

Spurgeon pernah berkata, “Seorang teman yang berpikiran sehat, yang tanpa ampun setiap minggu mengritik Anda, adalah berkat yang jauh lebih besar daripada seribu orang yang tanpa berpikir panjang mengagumi Anda, bila memang Anda cukup punya kebijaksanaan dan kebesaran jiwa untuk menerima kritik-kritiknya serta mensyukurinya.”

Spurgeon melanjutkan dengan bercerita tentang seorang kritikus andal yang tak dikenal, yang setiap minggu mengirimkan kepadanya sebuah daftar berisi kekeliruan ejaan dan kesalahan pengucapan lainnya.

Ia tidak pernah tahu identitas kritikus itu, namun makin lama ia kian menghargainya.

5. Jangan pernah lupakan makna tugas yang diberikan kepada Anda.

Memang berkhotbah adalah tugas Anda, tetapi bukan tentang Anda.

Tetapi tentang kemuliaan Allah, kebesaran Yesus, keindahan salib, kuasa kebangkitan dan daya pembaharu dari Firman yang diembuskan Roh Kudus.

Khotbah adalah tentang memberdayakan orang-orang kudus dan mengembalikan mereka yang tersesat.

Berkhotbah adalah privilese yang indah dan sepadan dengan setiap usaha yang Anda lakukan untuk belajar demi melakukannya dengan lebih baik lagi. Dan bagian dari upaya itu adalah belajar dari kriitk-kritik yang masuk.

Satu hal lagi: bila Anda mendapatkan kesempatan untuk duduk bersama kritikus Anda di sebuah restoran dan membicarakan khotbah Anda, pastikanlah Anda yang mentraktirnya.•

Judul asli: “How to Criticize Your Pastor’s Preaching” tulisan Brian Hedges. Diunduh dari “Better Preaching Update” dari “Sermon Central.com” (5 Desember 2012) dan diterjemahkan oleh Purboyo W. Susilaradeya.

2 Comments

  1. muherman

    Pertanyaan buat Pdt DR Joas,
    Saat Tuhan yesus mati, Ia mati secara manusiawi tetapi juga secara ilahi.
    Bagaimana menjelaskannya dengan pengakuan iman kita, ketika Tuhan Jesus setelah mati, turun ke kerajaan maut dan mengabarkan Injil kepada orang dari jamannya Nuh?
    Terima kasih atas jawabannya.

  2. Joas Adiprasetya

    Pak Muherman yang baik.
    Maaf untuk kelambatan saya membalas. Pertanyaan Anda sebenarnya diambil dari 1 Petrus 3:18-20. Saya kutipkan:

    18 Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh, 19 dan di dalam Roh itu juga Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara, 20 yaitu kepada roh-roh mereka yang dahulu pada waktu Nuh tidak taat kepada Allah, ketika Allah tetap menanti dengan sabar waktu Nuh sedang mempersiapkan bahteranya, di mana hanya sedikit, yaitu delapan orang, yang diselamatkan oleh air bah itu.

    Teks ini sendiri sagat sukar dipahami dan dalam sejarah kekristenan telah memunculkan banyak sekali penafsiran. Maka, apa yang saya paparkan hanyalah satu dari banyak tafsiran yang tersedia. Teks tersebut dalam tafsiran saya ingin memaparkan:

    1. Yesus Kristus, Pribadi kedua Allah, yang adalah Allah sepenuhnya dan manusia sepenuhnya, mati dan sungguh-sungguh mati. Sekaligus, Ia dibangkitkan “menurut Roh.”
    2. Tindakan “memberitakan Injil” dilakukan Allah “di dalam Roh” (ay. 19). Jadi Pribadi kedua Allahlah, yaitu Roh Kudus yang menyampaikan berita Injil itu.
    3. Penyampaian Injil itu dilakukan Roh Kudus pada saat orang-orang menolak Nuh yang mempersiapkan bahteranya.

    Dengan kata lain, ayat-ayat ini tidak sedang berbicara mengenai apa yang dilakukan Yesus saat tiga hari kematian-Nya. Sebab, jelas saat tiga hari kematian-Nya, Yesus benar-benar mati. Ayat-ayat ini sebaliknya menyatakan bahwa Kristus hadir dalam Roh-Nya ketika Nuh mengundang orang-orang yang hidup pada saat itu untuk bertobat. Jadi, Roh Kudus menyatakan “Injil” melalui Nuh … sama seperti Roh Kudus menyatakan Injil melalui jutaan orang di seluruh dunia sepanjang sejarah.

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Artikel Lepas
  • Kami Juga Ingin Belajar
    Di zaman ini, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat, manusia justru diperhadapkan dengan berbagai macam masalah...
  • KESAHAJAAN
    Dalam sebuah kesempatan perjumpaan saya dengan Pdt. Joas Adiprasetya di sebuah seminar beberapa tahun lalu, ia menyebutkan pernyataan menarik...
  • Tidak Pernah SELESAI
    Dalam kehidupan ini, banyak pekerjaan yang tidak pernah selesai, mulai dari pekerjaan yang sederhana sampai pekerjaan rumit seperti mengurus...
  • Mengenal Orang Farisi
    Bedah Sejarah Israel Di Masa Yesus
    Arti Kata Farisi Kata Farisi—yang sering diterjemahkan sebagai ‘memisahkan/terpisah’— menunjukkan sikap segolongan orang yang memisahkan diri dari pengajaran—bahkan pergaulan—...
  • Mengenal Sosok Herodes
    Bedah Sejarah Israel Di Masa Yesus
    Herodes dalam Injil Banyak orang tidak terlalu menaruh perhatian pada sosok Herodes dalam Injil. Kebanyakan mereka hanya tahu bahwa...