Malapraktik dan Komunikasi DOKTER-PASIEN

Malapraktik dan Komunikasi DOKTER-PASIEN

Belum ada komentar 249 Views

Kasus pasien yang tidak puas terhadap dokter lebih disebabkan oleh tidak terbangunnya komunikasi dokter-pasien. Terjalinnya komunikasi ini menentukan kepuasan pasien. Ia tak cukup hanya sembuh, namun terlebih butuh diajak bicara, selain didengar. Kasus malapraktik acap muncul lantaran dokter dan/atau rumah sakit tidak atau kurang komunikatif terhadap pasien. Kalau komunikasi tidak terbangun, mungkin akan muncul salah sangka, salah persepsi. Dari situ galibnya berawal keluhan, atau gugatan pasien.

Dokter yang Sudi Bicara dan Sedia Mendengar
Dokter yang baik sudi berbicara dan tekun mendengar ungkapan pasien. Dengan begitu komunikasi dokter-pasien terbangun, dan kesalahpahaman pasien ihwal penyakitnya tak perlu ada. Begitu juga dengan pihak rumah sakit. Adanya kesenjangan kompetensi pasien dengan dokter, bisa saja muncul salah duga. Misalnya, mendengar bahwa dokter melakukan pemeriksaan USG kepada tetangganya, sedangkan dirinya tidak, pasien bisa mengira dokter pilih kasih. Padahal penyakit yang dideritanya berbeda, dan USG belum tentu diperlukan. Untuk memahami itu, pasien perlu diajak berbicara.

Pasien yang alergi sehabis disuntik bisa menyangka bahwa dokternya melakukan malapraktik, kalau sebelum menyuntik dokter tidak terlebih dulu memberitahukan kepadanya bahwa setiap pasien punya kemungkinan mengalami hal itu. Termasuk berbicara bahwa tidak untuk setiap penyakit diperlukan suntikan.

Kasus reaksi alergi hebat Stevens-Johnson yang bisa merenggut nyawa, tak harus sampai masuk pengadilan kalau pasien diberi pemahaman bahwa kejadian medik semacam itu acap tak terduga, dan itu merupakan sebuah musibah. Banyak obat bisa membuat serangan alergi yang hebat.

“Kasus Prita” dulu dengan sebuah rumah sakit, kalau betul seperti diberitakan, muncul hanya karena pasien tidak cukup memperoleh penjelasan dari dokternya ihwal apa yang sedang berlangsung dengan penyakitnya. Kalau saja sejak awal pasien memahami, termasuk perkiraan kejadian terburuk, hasil laboratorium, hal ihwal obat, dan tindakan yang hendak dokter lakukan, salah sangka pasien sehingga memunculkan gugatan pasien tak perlu ada. Kasus Dr Ayu di Manado konon bukankah juga lantaran kurang cukup terbangunnya komunikasi yang berhak diterima setiap pasien.

Malapraktik dan Misconduct
Tidak setiap ketidakpuasan pasien dalam berobat tergolong malapraktik. Dikategorikan malapraktik kalau terjadi kelalaian dokter. Dokter yang seturut medik, seharusnya tahu melakukan apa secara bagaimana. Namun jika yang dilakukannya merupakan kealpaan, atau jika ia tidak melakukan tindakan medik yang seharusnya dilakukan sehingga merugikan pasien, itulah kasus malapraktik. Selama dokter sudah melakukan sesuai dengan aturan baku (standar medik) meskipun hasilnya tidak sebagaimana diharapkan, itu bukanlah kasus malapraktik. Yang tidak selalu persis sama dengan malapraktik terjadi pula di rumah sakit.

Transaksi dokter dengan pasien tergolong transaksi terapeutik. Artinya dokter tidak menjamin bahwa pasien pasti sembuh, dan tidak menjamin pula bahwa pasien pasti tidak meninggal. Kalau dokter secara profesional sudah berupaya secara optimal seturut standar medik namun tidak menyembuhkan, atau terjadi hal yang tak diinginkan, hal itu bukanlah sebuah kelalaian. Komunikasi dokter-pasien juga bertujuan untuk memberi pemahaman kepada pasien bahwa penyakit dan kesembuhan merupakan proses dengan target menyelamatkan pasien dari penyakit dan ancaman nyawa.

Selain perlakuan yang tidak sesuai dengan kaidah medik dan tergolong malapraktik, pasien juga bisa mengeluh kalau dokter tak bersikap ramah dan kurang berempati dalam memeriksa. Misalnya, dokter tidak menjawab kalau ditanya, sikapnya ketus, menghadapi pasien seperti nomor, atau kurang manusiawi. Ketidakpuasan pasien berobat kepada dokter yang tak etis, atau munculnya ketidaknyamanan pada pasien, bukan tergolong malapraktik, melainkan misconduct. Selain kurang etis, sikap dokter begini menjadi tidak komunikatif juga. Bobot kerja rata-rata dokter kita yang melebihi batas kesanggupan manusia, yang memeriksa ratusan pasien dalam sehari, memberi dampak pada kinerja dan performance profesinya.

Perlu Pembatasan Pasien
Dokter menjadi tidak ramah, tergesa-gesa memeriksa, terkesan tidak profesional, kalau pasiennya kelewat banyak. Ia tak punya cukup waktu untuk berbicara dan menjawab, yang sebetulnya merupakan hak pasien untuk mengetahuinya. Di banyak negara maju ada ketentuan pembatasan jumlah pasien dalam sehari periksa, supaya profesionalisme dokter terjaga.

Kalau sehari dokter memeriksa lebih dari seratus pasien, sesantun dan sepintar apa pun dia, tak mungkin ia memuaskan pasien dalam berobat. Kasus malapraktik rentan muncul dalam kondisi seperti ini. Alih-alih bisa komunikatif, keletihan fisik dan mental akibat memeriksa kelewat banyak pasien, menurunkan kecermatan dokter dalam memeriksa, mendiagnosis, dan menulis resep yang ujungnya bisa berisiko malapraktik juga.

Ketidakpuasan pasien terhadap dokter atau rumah sakit bisa dimengerti karena dalam berobat, pasien galibnya menumpukan pada hasil. Kebanyakan dari mereka tak memahami bagaimana penyakit itu berproses, dan prosedur apa yang dokter telah dan akan lakukan. Di sinilah perlunya dokter berkomunikasi dengan pasien. Kalau pasien memahami proses penyakit dan prosedur yang dialaminya, andaikata pun hasil pengobatan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkannya, ia bisa memakluminya. Gugatan akibat ketidakpuasan pasien tak perlu muncul.

Namun rata-rata dokter kita punya dilema yang memunculkan konflik profesi. Di satu sisi, profesi mulia dokter sejatinya perlu faktor trust. Dokter perlu menjaga citranya supaya masyarakat pasien tetap trust. Namun faktanya belum semua dokter kita punya rumah kecil, mobil kecil, dan kehidupan sebagaimana layaknya kehidupan dokter kalau praktiknya tidak ngoyo. Penghargaan pemerintah terhadap profesi dokter masih lemah, sehingga tak bisa mengandalkan gaji, atau dari praktik pribadi di awal-awal. Untuk membangun trust sebagai seorang dokter, ia perlu punya rumah, mobil, dan tampilan layaknya profesional dokter. Tanpa itu, pasien menyangsikan keprofesionalan dokter.

Penghargaan yang dokter kita terima dari gaji dan honorarium praktik belum tentu selalu cukup untuk membangun citra dokter, sebagaimana sejawat dokter di luar negeri. Lumrah kalau muncul konflik batin dan keinginan untuk mengejar setoran, sehingga merasa pantas memilih praktik di banyak tempat, sampai dini hari.

Dokter yang teguh pada idealisme profesi mulia, berpraktik ikut aturan legal artis sesuai dengan sumpah dokter dan kaidah profesionalisme kedokteran, rumahnya masih kontrakan, hidup bersahaja, barangkali bisa kehilangan citra dokternya. Fakta bahwa dokter lulus cum laud namun ke tempat praktik naik bajaj, masih tinggal di rumah instansi, belum tentu dipercaya oleh masyarakat, karena dalam berobat pasien butuh rasa trust itu. Buat sebagian masyarakat di pedesaan, dokter bersahaja (bare foot doctor) belum tentu bermasalah, dan kehadiran dokter idealis sah saja.

Fakta lain yang dihadapi dokter kita, dokter tak mungkin profesional dalam praktik seperti diajarkan waktu sekolah. Bagaimana bisa komunikatif, kalau pasien Puskesmas masih seratusan, memegang beberapa rumah sakit, dan berpraktik sampai subuh. Kasus malapraktik kalau bukan misconduct, rentan muncul dari kondisi dokter yang berpraktik seperti ini.

dr. Handrawan Nadesul

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Kesehatan
  • MINDFUL EATING
    Alasan terutama untuk menjadi mindful adalah dengan menyadari bahwa tubuh ini adalah bait Allah yang perlu kita syukuri dan...
  • Demam Berdarah Bisa Dicegah
    Demam berdarah dengue (DBD) diberitakan berjangkit di sejumlah daerah sekarang ini. Penyakit ini buat kita dianggap jamak. Apakah memang...
  • Menunda Proses Menua
    Menua itu pasti, tetapi ilmu dan teknologi medis bisa menundanya. Berumur panjang itu pilihan, bukan menerima keadaan, melainkan memilih...
  • Nasib Kita Di Hadapan COVID
    Sekarang ini makin banyak orang gelisah, galau, khawatir, takut, dan fobia di tengah ingar bingar informasi yang “mis” maupun...