Keluarga Kristen = Keluarga Perjanjian

Keluarga Kristen = Keluarga Perjanjian

Belum ada komentar 989 Views

“Untuk apa…? Apa untungnya…? Adakah manfaatnya…?” adalah pertanyaan-pertanyaan zaman ini yang diterapkan praktis pada segala sesuatu. Manfaat, keuntungan, daya dan hasil guna, adalah dasar pertimbangan yang terpenting pada masa ini, untuk menentukan apakah sesuatu perlu dilakukan atau dipilih, atau tidak.

Memilih jurusan pendidikan dan kemudian profesi, hampir selalu didasarkan pada pertimbangan untung-rugi. Bahkan menjalin relasi persahabatan terkadang ditentukan oleh apakah hal itu ada manfaatnya atau tidak. Lama-kelamaan relasi cinta dan pernikahan pun mengalami nasib sama. Karena itu tak perlu heran bila banyak relasi cinta dan pernikahan yang tak bertahan lama. Seorang rekan pendeta yang secara sosiologis/psikologis mengamati generasi muda (30 tahunan) saat ini, mengatakan: generasi ini pada umumnya cerdas, berwawasan cukup luas, berpengetahuan umum sangat baik, kreatif dan aktif, amat cakap menggunakan gadget. Namun ada dua kekurangan yang menonjol pada diri mereka: komitmen dan kesetiaan. Dua hal yang memang bila dipertimbangkan dengan ukuran manfaat dan keuntungan, tak terlalu berarti.

Akibatnya tak terhindarkan pula, pertanyaan serupa diterapkan pada hal-hal gerejawi, bahkan imani. Misalnya, mengapa mesti memberi persembahan dalam kebaktian? Mengapa mesti giat dalam berbagai kegiatan di gereja? Bahkan, mengapa pergi beribadah di gereja? Mengapa perlu menjadi anggota gereja? Mengapa hadir dalam perayaan Perjamuan Kudus, juga dibaptiskan atau tidak?

Menyedihkan memang, menyaksikan betapa banyak orang memilih kedangkalan ketimbang kedalaman, sekadar demi manfaat atau keuntungan sesaat. Yang lebih parah lagi adalah bahwa idealisme digantikan oleh pragmatisme impulsif. Susan Neiman, filsuf moral asal Amerika, meratapi hal ini dengan keluhannya: “As long as your ideas of what’s possible are limited by what’s actual, no other idea has a chance.

Pada Bulan Keluarga ini, rasanya tidak sia-sia bila kita berhenti sejenak untuk merenungi dan merenungkan keluarga kita. Mengapakah kita berkeluarga? Mau ke manakah kita bawa keluarga kita? Apakah yang hendak kita capai sebagai keluarga? Masih adakah idealisme, atau bahkan visi, di situ? Ataukah yang diterapkan adalah sekadar pertimbangan untung-rugi dan manfaat belaka? Teks Alkitab yang mendasari tema utama Bulan Keluarga tahun ini, yaitu Yosua 4:15-24, mungkin bisa menolong kita.

Dengan pertolongan Tuhan, orang Israel menyeberangi sungai Yordan dekat Yerikho. Penyeberangan ini mengingatkan kita pada penyeberangan Laut Teberau ketika umat Israel melarikan diri dari pengejaran Firaun dan bala tentaranya. Dua penyeberangan yang mirip, karena terjadi setelah Tuhan menolong mereka dengan menghentikan dan menyibakkan air, sehingga umat-Nya bisa menyeberang dengan aman dan selamat. Dan penyeberangan sungai Yordan kali ini menandai masuknya umat Israel ke tanah perjanjian.

Karena itu, seusai umat Israel menyeberang, Tuhan memerintahkan Yosua agar 12 orang dari antara umat masing-masing mengambil sebuah batu dari sungai Yordan sebagai tanda peringatan dan meletakkannya di Gilgal. Ke-12 batu tadi merepresentasikan 12 suku umat Israel, yang telah diselamatkan oleh Allah, dan dituntun-Nya hingga memasuki tanah perjanjian.

Tentang hal itu Tuhan berfirman dalam ayat 21-23,“Apabila di kemudian hari anak-anakmu bertanya kepada ayahnya: Apakah arti batu-batu ini? maka haruslah kamu beritahukan kepada anak-anakmu, begini: Israel telah menyeberangi sungai Yordan ini di tanah yang kering! — sebab TUHAN, Allahmu, telah mengeringkan di depan kamu air sungai Yordan, sampai kamu dapat menyeberang seperti yang telah dilakukan TUHAN, Allahmu, dengan Laut Teberau, yang telah dikeringkan-Nya di depan kita, sampai kita dapat menyeberang…

Kedua belas batu tadi pertama-tama adalah peringatan atas “apa yang telah dilakukan Tuhan bagi umat-Nya”, yaitu tindakan penyelamatan Allah, sejak penyeberangan laut Teberau, hingga penyeberangan sungai Yordan. Dan yang amat menarik adalah bahwa tanda peringatan itu ditegakkan terutama bagi anak-anak umat Israel. Batu-batu peringatan itu dimaksudkan agar setiap kali, generasi demi generasi, umat Israel dapat menjelaskan siapa Allah itu dan apa yang telah dilakukan-Nya bagi umat Israel.

Tentunya kita boleh mengandaikan bahwa umat Israel tidak menunggu hingga anak-anak mereka bertanya tentang batu-batu itu, karena sebenarnya mereka diharapkan untuk meneruskan sejarah dan tradisi yang amat kuat dalam adat-istiadat mereka. Salah satu contohnya yang paling indah adalah perayaan Paskah keluarga. Salah satu acara yang wajib dilakukan pada saat itu adalah menceritakan kembali kisah bagaimana Allah menyelamatkan umat Israel dari penjajahan Mesir, serta merefleksikannya sebagai keluarga.

Jelaslah bahwa pada akhirnya yang diteruskan di sini bukan sekadar nilai-nilai, tetapi pengalaman hidup bersama Tuhan, relasi dengan Tuhan. Relasi tersebut diaksentuasikan bukan hanya oleh pergaulan yang intim dengan Tuhan, namun terutama oleh penyertaan dan pertolongan-Nya yang selalu nyata, agar anak-anak di kemudian hari dapat membangun kehidupan mereka di atas dasar itu. Bahkan lebih dalam lagi: ayat 24: “…supaya semua bangsa di bumi tahu, bahwa kuat tangan TUHAN, dan supaya mereka selalu takut kepada TUHAN, Allahmu…” Inilah tujuan akhirnya. Pengalaman hidup bersama Tuhan, relasi dengan Tuhan, mesti dialami sendiri—tanpa hal ini tak mungkin keluarga dapat meneruskannya—kemudian diteruskan kepada anak-nanak, lalu melalui mereka ke anak-anak mereka, dan seterusnya, hingga semua bangsa memahaminya!

Inilah pada hakikatnya visi keluarga umat Allah. Keluarga yang dihimpun oleh Allah, bukan sekadar guna memuaskan dambaan seorang laki-laki dan seorang perempuan akan pasangan hidup, tetapi merengkuh tujuan yang melampaui diri mereka masing-masing, bahkan dambaan bersama sebagai keluarga, yaitu menjadi alat Allah untuk meneruskan kebenaran dan karya kasih Tuhan, bagi setiap orang, bahkan segenap ciptaan. Setiap keluarga umat Allah berada dalam garis panggilan Abraham (Kejadian 12:2): “…Aku akan memberkati engkau… dan engkau akan menjadi berkat…!

Belajar dari teladan ini, keluarga Kristen menghadapi tugas panggilan yang tidak ringan. Terutama karena keluarga Kristen harus hidup dalam masa kini yang amat “tidak mudah dan sederhana”, dengan berbagai tantangan dan godaannya. Syukur untuk itu keluarga Kristen telah ditebus oleh Kristus, yang menjadikannya pula sebagai keluarga perjanjian. Keluarga Kristen pertama-tama mesti menjadi keluarga yang sungguh-sungguh mengalami dan percaya pada “perjanjian Tuhan”. Juga mesti mendasarkan relasi-relasi di dalam keluarga pada “perjanjian” itu. Kemudian keluarga Kristen mesti memberdayakan segenap anggota keluarga untuk menjadi “agen-agen perjanjian” tersebut.

Inilah jati diri keluarga Kristen. Keluarga yang meneruskan pengalaman hidup bersama Tuhan, relasi dengan Tuhan, tidak cuma secara insidental, kadang-kadang, tetapi secara sinambung, dalam segenap proses pertumbuhan anak-anak menuju ke kedewasaan, bahkan dalam proses belajar seluruh keluarga.

Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Renungan
  • Allah hadir bagi kita
    Biarkanlah, biarkanlah itu datang, ya Tuhan. Kami berdoa pada-Mu, biarkanlah hujan berkat turun. Kami menanti, kami menanti. Oh hidupkanlah...
  • MENCINTA DENGAN SEDERHANA
    Aku Ingin Aku ingin mencintaimu ciengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu...
  • SULUNG DALAM PALUNGAN
    Persekutuan Perempuan Jumat, 9 Desember yang lalu, temanya adalah “Cinta dalam Kesederhanaan”. Saya jadi ingat puisi Sapardi Djoko Damono,...
  • MELAYANI ITU INDAH
    Ketika kita berbicara tentang “melayani” maka hal ini sangat dekat dengan kehidupan Kristiani. Melayani (Yunani: diakoneo artinya to be...