Keajaiban Natal

Keajaiban Natal

Belum ada komentar 260 Views

Ketika saya masih kecil, setiap awal bulan Desember mulai berdatanganlah kartu-kartu ucapan Selamat Hari Natal dan Tahun Baru buat keluarga kami. Setiap kali Pak Pos datang, saya berlari mendapatkannya dan—walau diingatkan Mama untuk tidak melakukannya—saya membuka kartu-kartu Natal itu untuk mengaguminya.

Jarang sekali kami mendapatkan kartu Natal yang sama. Semua begitu mengagumkan dan indah. Gambar pohon terang, langit berbintang, lilin dan hiasan-hiasan Natal. Namun yang selalu bagi saya sangat luar biasa adalah kartu-kartu Natal yang berasal dari luar negeri. Ayah dan ibu saya mempunyai cukup banyak kenalan di negeri Belanda, Amerika dan Selandia Baru, yang secara rutin berkoresponden dengan ayah dan ibu saya. Kartu-kartu mereka selalu sangat mengesankan. Dari suasana Natal di pedesaan yang hijau, hingga suasana musim dingin, hamparan salju dan pohon terang berbalut es. Belakangan kartu-kartu Natal yang dibuat di Indonesia pun mengambil alih suasana Natal seperti itu, karena rupanya Natal kemudian menjadi komoditi yang laku dijual di mana-mana. Natal bagi banyak orang: baik buat orang percaya karena maknanya, mau pun bagi siapa pun, karena nilai komersialnya.

Bagi banyak orang Kristen, Natal adalah acara utama dalam kalender gerejawi. Konsentrasi keluarga Kristen—baik yang mampu mau pun yang kurang—adalah pada merayakan Natal dengan segala perniknya. Mulai dari baju baru, pohon terang berbalutkan kapas pengganti salju, hadiah Natal, serta tentunya makan-makan. Mengapa? Karena di gereja pun demikian. Kulminasi dari berbagai kegiatan jemaat adalah Natal, dengan kepanitiaan yang melibatkan banyak sekali warga jemaat serta anggaran yang begitu besar, sehingga diperlukan penggalangan dana yang khusus.

Ketika sebagai pemuda saya aktif di jemaat, sebagai aktivis pemuda dan guru sekolah Minggu, saya mulai merasakan kejanggalan pengutamaan Natal ketimbang hari raya yang lain, terutama Paskah. Sebab hemat saya waktu itu—terutama sebagai pengurus Komisi—pertama-tama adalah ketidakadilan anggaran. Anggaran Natal selalu lebih dari seperempat anggaran Komisi, sedangkan hari raya gerejawi yang lain nyaris tanpa anggaran, kecuali Paskah. Itu pun amat tidak seimbang perbandingannya dengan anggaran Natal. Namun yang lebih membuat saya mempertanyakannya adalah pertanyaan mendasar tentang pemahaman teologis-alkitabiah: benarkah Natal lebih utama ketimbang hari raya gerejawi yang lain, terutama Paskah? Karena bukankah Paskah adalah segalanya dalam iman kristiani kita?

Syukurlah lambat laun disadari oleh banyak gereja dan orang percaya bahwa mestinya kulminasi perayaan gerejawi adalah Masa Raya Paskah. Perayaan Natal adalah baik selama ia dipahami secara utuh dalam terang Paskah. Pada umumnya saat ini porsi perayaan Paskah lebih berat ketimbang Natal, atau setidaknya seimbang. Dan tren itu syukur kian membaik.

Namun “keistimewaan” Natal tetap diupayakan hidup. Karena memang Natal adalah saat yang khusus bagi banyak keluarga Kristen. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia, Natal menjadi saat yang amat penting, bak Idul Fitri. Selain itu peran dan pengaruh komersialisasi Natal tetap besar, sehingga turut menentukan perilaku pangsa pasar Natal. Perilaku yang kemudian memelihara tradisi Natal sebagai sesuatu yang istimewa. Maka diberikanlah beberapa tekanan ekstra pada beberapa aspeknya. Mulai dari kesahajaan Yesus yang dibaringkan di palungan, lalu ditafsirkan sebagai lahir di kandang, apalagi Lukas merasa perlu membubuhi keterangan dalam kisahnya, bahwa tidak ada tempat bagi mereka di penginapan. Lalu, ditekankan pula beberapa keajaiban di sekitar Natal. Misalnya bagaimana para malaikat yang memberitakan berita kelahiran kepada para gembala, didahului oleh sinar yang menyilaukan dan menggentarkan, dan banyak lagi.

Tentunya tidak ada masalah dengan semua itu. Selama Natal yang bagaimana pun tidak meleset dari fokus pengalaman dan pemahamannya dalam terang Paskah. Sebab apa pun yang menarik, indah, bahkan ajaib, tak akan bisa melampaui keajaiban Natal yang sejati, yaitu kedatangan sang Anak Manusia.

Kedatangan sang Anak Manusia menurut kesaksian Yohanes adalah sang Firman, yang adalah Allah sendiri, yang menjadi daging, menjadi manusia dan berkenan tinggal di antara kita. Menurut Lukas, kedatangan sang Anak Manusia yang diberitakan kepada para gembala—orang-orang biasa seperti kita semua—adalah untuk menyelamatkan seluruh bangsa, segenap umat manusia. Begitu juga kesaksian Matius, yang diberitakan kepada Yusuf, dan kemudian kepada para Majusi, bahkan kepada Herodes. Berita ajaib itu ternyata diwartakan kepada siapa pun, orang-orang biasa seperti kita, mau pun kepada orang-orang besar seperti para Majusi dan Herodes. Buat Markus, keajaiban Natal adalah awal dari Injil tentang Yesus Kristus, sang Anak Allah.

Keajaiban Natal adalah ketika yang mustahil menjadi keniscayaan. Ketika langit turun ke bumi manusia. Ketika kasih rahmat Allah di dalam Kristus menyentuh kita tanpa kecuali. Kita yang benar, mau pun yang tidak. Kita yang berdosa mau pun yang saleh. Kita orang-orang kecil dan biasa, mau pun kita yang merasa lebih penting dan besar ketimbang orang lain. Ketika segala sesuatu tidak (boleh) lagi sama, karena kedatangan sang Anak Manusia memerdekakan dan membebaskan dunia, dari dosa dan dari dirinya sendiri.

Keajaiban Natal menempatkan siapa pun pada pilihan untuk menentukan sikap. Apakah menyambutnya dengan datar-datar saja, sebagai suatu peringatan, pesta, yang rutin. Yang toh tahun depan akan terjadi lagi. Atau seperti Herodes yang bahkan melihatnya sebagai ancaman dari kemapanannya. Atau sebaliknya, menyambutnya dengan memberi respons yang tepat. Seperti Yusuf yang batal menceraikan Maria. Seperti Maria yang mengatakan dengan tulus: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Seperti para gembala yang bergegas menyembah sang Anak Manusia, dalam rupa seorang bayi, dibebat dengan kain, sungguh-sungguh seorang manusia. Para gembala yang sesudah itu kembali ke dunia mereka setiap hari, tanpa kehadiran para malaikat yang menyanyikan pujian surgawi, tetapi justru di situlah mereka menyanyikan pujian mereka sendiri bagi sang Anak Manusia. Seperti para Majusi yang mendengarkan petunjuk Tuhan, ketimbang bujukan Herodes. Seperti Yohanes Pembaptis yang sungguh-sungguh menjalani perannya sebagai “suara pertobatan” berapa pun harga yang harus dibayarnya. Seperti mereka yang tersentuh oleh kesaksian dan seruan Yohanes Pembaptis, bertobat. Berbalik dari yang lama menuju yang baru.

Keajaiban Natal juga dinyatakan kepada kita saat ini, bahkan kapan pun dalam berbagai perjumpaan kita dengan Tuhan dan dalam perjalanan hidup kita. Maka kita pun saat ini ditempatkan sang Anak Manusia pada pilihan untuk menentukan sikap. Apakah kita akan menyambut-Nya dengan datar-datar saja, atau menyambutnya dengan memberi respons yang tepat lewat dan dalam hidup kita, kata-kata, sikap dan perbuatan kita terhadap siapa pun, di hadapan Tuhan yang kedatangan-Nya kita sambut dan rayakan.

Bila itu terjadi, maka genaplah keajaiban Natal. Sang Anak Manusia datang dan manusia menyambutnya dengan hati dan tangan terbuka. Selamat Natal.

| Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...