Ibu ku Guru ku

Ibuku–Guruku

Belum ada komentar 54 Views

Ary! Bangun…! Waktunya bersaat teduh!” terdengar suara Ibu membangunkan adik saya seraya mengetuk pintu kamar tidurnya dengan keras, yang membuat saya terjaga. Dan tak lama kemudian giliran saya terhentak oleh ketukan keras pada pintu kamar tidur saya.

“Pungky! Bangun..! Waktunya bersaat teduh!” seru ibu saya yang terdengar amat keras di telinga. Tak lama kemudian beliau kembali mengetuk pintu kamar adik saya.

“Ary! Bangun… dong! Ary..! Waktunya bersaat teduh!”

Saya menengok ke jam dinding, baru jam 5.45. Dengan menghela napas saya menuju ke ruang makan. Ayah saya sudah duduk di kepala meja. Di hadapannya terletak Alkitab yang terbuka. Dan beliau sedang membuka-buka “Saat Teduh”. Adik saya perempuan, Enny, si bungsu, sudah menempati kursinya sambil menggosok-gosok matanya dan mengeluh. “Belum jam enam nih…?” “Sekitar sepuluh menit lagi…” jawab ayah saya dengan sabar.

Tak lama setelah saya menempati kursi saya di sebelah kanan Ayah, Ibu memasuki ruang makan diikuti adik saya laki-laki yang berjalan terhuyung-huyung dengan mata setengah tertutup.

“Baru jam lima nih…?” keluhnya, yang membuat kami semua tertawa.

Begitulah setiap pagi. Entah sejak kapan, saya tidak ingat lagi, setiap pagi kami sekeluarga makan pagi bersama dengan didahului oleh saat teduh bersama. Kecuali amat terpaksa, terutama Ibu, tidak akan dapat menerima apabila kami absen mengikuti saat teduh setiap pagi. Karena menurut beliau dan ayah saya, ibadah keluarga adalah bagian yang menentukan dari pengembangan spiritual keluarga, yang kemudian turut membentuk spiritualitas anggota-anggotanya. Kami, anak-anak, tidak terlalu mengerti maksud mereka waktu itu. Tetapi sekarang, setelah masing-masing berkeluarga, kami memahaminya, bahkan memraktikkannya.

Di samping itu, tidak dapat disangkal bahwa, –walaupun agak dipaksa,– kesempatan bertemu setiap pagi itu amat bermanfaat dalam mengembangkan komunikasi keluarga kami. Ayah dan ibu saya yang adalah guru, amat cekatan memanfaatkannya dalam terang itu.

“Acaramu hari ini apa Pungky?” tanya Ayah sambil mengoleskan mentega roti bakar bagi ibu saya.

“Biasa lah, kuliah sampai siang, lalu sore menjelang malam ke gereja, rapat Komisi Pemuda.”

“Dan kamu, Enny…? Pulang sekolah langsung pulang…?”

“Ya, Pa.” “Ah, bener nih…?” goda Ary. “Kalau aku terus terang saja hari ini nggak pulang….”

“Kenapa? Ke mana?” tanya Ibu sambil memandang Ary dengan tajam.

“Biasa Ma…. tugas kelompok harus selesai besok. Jadi kami berencana menyelesaikannya malam ini di rumah Bedul.”

“Sama Bedul mana bisa belajar…?” balas Enny menggoda.

“Sudahlah… Yang penting kalian benar-benar melakukan apa yang kalian katakan. Kalau tidak kan yang rugi kalian sendiri?” tukas Ibu.

Ibu saya memang adalah sosok guru yang terkenal kompeten, tekun dan tegas di atara rekan-rekannya. Profesi atau tepatnya panggilan, –bila saya merefleksikan bagaimana Ibu menjalankan tugasnya,– sebagai guru ditekuninya cukup lama. Begitu menyelesaikan pendidikan guru di Makassar, beliau mengajar di Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) “Widuri” di Jakarta, di mana beliau berjumpa dan akhirnya menikah dengan Ayah. Sekitar 3 tahun menikah, setelah saya dilahirkan, Ayah diminta untuk menjadi kepala sekolah guru (SGA) di Salatiga (Jawa Tengah).

Di kota Salatiga pun Ibu mengajar di SMP Kristen di jalan Kotamadya. Bahkan beliau dan Ayah memutuskan untuk studi. Ayah, bila tidak keliru memperdalam diri dengan ilmu/filosofi pendidikan. Sedangkan Ibu mengambil jurusan bahasa Inggris. Memang salah satu dari bakatnya yang amat menonjol adalah bahasa. Ibu dengan tekun menjalani studinya itu serta menikmatinya. Bahkan ia memraktikkannya. Beliau dipercaya oleh universitas untuk mengajar bahasa Indonesia kepada dosen-dosen asing dan pasangan mereka.

Akhir tahun 1964 Ayah mendapatkan kesempatan untuk studi di luar negeri selama hampir 2 tahun. Tiba-tiba Ibu, yang biasanya cukup bergantung pada Ayah, harus berjuang sendiri. Ia harus membagi waktunya antara bekerja, studi dan mengurusi 3 anak yang masih kecil. Usia saya waktu itu 9 tahun dengan dua adik laki-laki yang masing-masing 4 dan 8 tahun lebih muda ketimbang saya. Ibu ternyata dapat mengatasinya dengan baik. Dan beliau melibatkan saya untuk membantunya. Saya dibiasakan oleh Ibu untuk bangun pagi, belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah, kemudian menyiapkan minuman untuk Ibu dan adik-adik.

Tak terasa waktu sekitar satu setengah tahun berlalu dengan cepat. Ayah menyelesaikan studinya dan kembali berada di tengah kami. Lalu berturut-turut terjadi beberapa peristiwa yang amat berbekas pada kami sekeluarga. Adik nomor tiga, Aman namanya, berumur belum genap 3 tahun, meninggal dunia. Ibu sangat terpukul oleh perginya Aman. Beliau bahkan merasa bersalah atas kematiannya. Tak lama sesudah itu pecahlah peristiwa 30 September 1965 yang mengerikan itu, terlebih di kota kecil seperti Salatiga. Sehingga ketika ada tawaran pekerjaan bagi Ayah di Jakarta, dengan segera direngkuh. Salatiga telah menjadi kota yang tidak lagi menenteramkan, terutama bagi Ibu.

Di Jakarta Ibu tidak mengajar lagi. Beliau seolah kehilangan semangat untuk melakukannya. Namun beliau masih menjadi guru kami. Baik dalam pelajaran, maupun dalam kehidupan, khususnya dalam relasi dengan Tuhan. Tetapi kemudian, sekitar setahun sesudah kematian Aman, Tuhan mengaruniai keluarga kami anggota yang baru. Seorang bayi perempuan, yang lama diidam-idamkan, pengganti Aman. Ia diberi nama Rachmanti, dipanggil dengan nama Enny, karena ia diyakini sebagai rahmat dari Tuhan.

Sejak itu Ibu saya seolah hidup kembali. Seluruh perhatian dan waktunya dicurahkan untuk membesarkan Enny. Di samping itu Ibu kembali memanfaatkan bakat-bakat yang dimilikinya. Selain mengajar bahasa Indonesia kepada orang-orang asing, (Belanda, Inggris, Amerika), beliau kerap mengerjakan terjemahan dari bahasa Inggris atau Belanda ke dalam bahasa Indonesia, atau sebaliknya. Dan beliaupun kembali mengarang cerita anak-anak. Kegemaran yang sempat terhenti setelah kematian Aman.

Dari beliaulah kami anak-anaknya mendapatkan ketrampilan berbahasa dan menulis. Dalam hal ini Ibu sangat tegas. Kesalahan berbahasa sekecil apapun tidak ditolerirnya. Beliau selalu berprinsip bahwa membiasakan diri berbahasa secara benar adalah apresiasi diri yang harus dilakukan semua orang. Apalagi berbahasa sendiri, Indonesia, secara benar. Beliau mengingatkan kami agar jangan sampai terjadi ada orang asing yang lebih baik berbahasa Indonesia ketimbang kita orang Indonesia. Beliau sendiri tetap berusaha pula meningkatkan diri. Beliau sempat mengikuti ujian kemampuan berbahasa Inggris, Oxford dan Cambridge, bersama dengan Ibu Leoni Prawiro. Waktu itu mereka berdua adalah dua peserta yang tertua dan tidak bergelar, kalau tidak salah. Tetapi keduanya lulus dengan nilai yang sangat baik.

Tahun 1986 Ayah mengidap penyakit kanker yang kemudian merenggut jiwanya. Untuk beberapa bulan Ibu terlihat limbung. Mirip ketika ditinggalkan Ayah belajar ke luar negeri. Tetapi kemudian beliau bangkit. Beliau bekerja sebagai wartawan di belakang meja di harian Suara Pembaruan dan menjadi guru bahasa Belanda di Erasmus Huis (Pusat Kebudayaan Belanda di Kedutaan Besar Kerajaan Belanda) dalam usia yang cukup lanjut. Beliau pensiun ketika berusia sekitar 70 tahun.

Dalam periode sejak ditinggalkan Ayah itu, Ibu, yang harus keluar dari rumah dinas, dengan perjuangan kerasnya mampu membeli rumah dan menikahkan 2 adik saya. Bukan sesuatu yang sederhana bagi beliau dalam segala keterbatasannya. Namun dengan pertolongan beberapa sahabat dan terutama Tuhan, begitu selalu dikatakannya, beliau mampu bertahan, bahkan berhasil. Satu pelajaran yang terakhir namun paling berharga dan takkan terlupakan dari beliau adalah kegigihannya yang tak pantang menyerah.

Ibu tidak pernah menyerah kecuali ketika Tuhan memanggilnya setelah beberapa bulan menderita sakit dan masuk-keluar rumah sakit. Kami anak-anaknya tidak ingin menyerah dan karenanya mengupayakan yang optimal dapat kami lakukan. Tetapi Tuhan berkehendak lain. Ibu menyerahkan diri kepada Penciptanya yang selalu dipercayanya dan yang kepada-Nya Ibu selalu bergantung. Kamipun menerimanya walau dengan berat hati. Kami sedih tetapi juga penuh dengan rasa berterima kasih. Tanpanya yang bersama Ayah terus menempa dan mengajar kami, kami anak-anaknya, takkan dapat berdiri di tempat kami masing-masing.

“Terima kasih Mama… we houden erg veel van jou!” (= …kami sangat mencintaimu!)

Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Refleksi
  • SLOW LIVING
    Setelah purna tugas, saya kadang-kadang merindukan suasana pedesaan seperti kehidupan masa kecil saya. Hidup tenang, sepi, tidak ada yang...
  • Apakah Aku Domba Yang Baik?
    sebuah refleksi diri setelah lama mengikuti Sang Gembala Yang Baik
    Gembala Yang Baik “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba dombanya,” adalah ungkapan Yesus yang...
  • SESAMI vs LIYAN
    Sesami dan liyan. Sesami, yang saya bahas di dalam tulisan ini, tidak ada hubungannya dengan wijen, tetapi masalah sesama...
  • LEGACY
    Sebagai bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa para pemimpin bangsa meninggalkan legacy atau warisan kepada generasi setelah mereka. Tidak usah...
  • Seribu Waktu
    Seribu Waktu
    Entah, kenapa terlintas di benakku banyak hal tentang waktu. Karena banyaknya, kusebut saja seribu … padahal satu pun tak...