Gereja Dalam Zaman Yang Terus Berubah

Belum ada komentar 1173 Views

Sesekali saya mendapatkan kiriman foto-foto lama di media sosial yang selalu membuat saya tersenyum, bahkan tertawa. Selain tubuh dan wajah saya saat ini ternyata telah amat berubah, pun gaya berpakaian saya dan latar belakang foto-foto tersebut sudah jauh berbeda dari sekarang ini. Inilah kenyataan yang harus dihadapi setiap orang, yaitu bahwa kita sendiri terus berubah, dan kita hidup dalam dunia dan zaman yang juga tidak pernah berhenti berubah. Dari teknologi, jumlah penduduk dunia—khususnya Indonesia—kelestarian alam, lanskap kota, mode pakaian dengan aksesorinya, hingga nilai dan perilaku manusia, semua terus berubah.

Tidak selalu mudah menghadapi segala perubahan yang kerap dirasa teramat cepat ini. Ada yang menghadapinya dengan gentar. Takut, bahwa apa yang selama ini dimiliki dan dipeganginya akan sirna begitu saja. Maka kemudian ia memilih untuk menolak perubahan dengan teguh, bersikeras mempertahankan posisinya dan semua yang dimiliki serta dipeganginya. Ada yang sebaliknya menghadapinya dengan tangan terbuka. Ia menerima semua perubahan dengan senyum lebar sambil berusaha menyesuaikan semua yang dimiliki dan dipeganginya dengan segala perubahan di sekitarnya. Dan ada yang menghadapinya dengan tidak menolaknya atau menerimanya mentah-mentah. Apa yang dipandangnya berguna dan menguntungkan dirinya akan diterimanya, dan yang sebaliknya akan ditolaknya.

Masalahnya, bila perubahan yang dimaksudkan hanyalah mode pakaian dan aksesorinya, maka hal itu bukanlah sesuatu yang amat perlu dirisaukan. Tetapi bagaimana bila yang dipermasalahkan itu adalah berbagai perubahan yang bertalian—baik langsung maupun tidak—dengan nilai-nilai dan perilaku manusia? Bagaimana bila hal itu menyangkut penghayatan tentang kebenaran dan keadilan, tatanan moral dan kesopanan?

Dunia dan zaman yang berubah ini juga dihadapi oleh orang percaya, yang kemudian mengarahkan pandangnya ke gereja, naungan dan sumber kehidupannya dalam kebenaran Tuhannya. Namun ternyata tidak mudah pula gereja menghadapi dunia dan zaman yang terus berubah ini.

Ada gereja yang memilih untuk menolak mentah-mentah semua perubahan, dan berlindung di balik tradisi dan semua yang dimiliki serta dipeganginya sejak awal. Ada pula yang dengan mudah merangkul berbagai perubahan itu, entah yang sifatnya praktis ataupun yang prinsipiil. Dan sisanya, bukan ekstrem yang pertama atau yang kedua. Termasuk kita. Sebab menolak mentah-mentah perubahan di sekitar kita, selain tidak realistis, juga tidak mungkin. Lalu yang bisa terjadi adalah sikap membenarkan diri dan kenaifan yang tidak beralasan. Sebaliknya merangkul begitu saja semua itu, juga tidak mungkin. Yang dapat terjadi kemudian, setidaknya kita akan menuai berbagai konflik internal yang berkepanjangan. Lalu bagaimanakah kita, sebagai gereja, mesti menyikapi dunia dan zaman yang terus berubah ini?

Untuk dapat menghadapi berbagai perubahan itu dengan memadai, menurut saya pertama-tama gereja tidak mesti mulai dengan sekadar memilah apa saja yang menguntungkan serta berguna atau tidak bagi dirinya dalam perubahan-perubahan itu. Sebab lama-kelamaan ukuran gereja untuk memilahnya menjadi kian subjektif dan tidak jelas. Gereja juga sebaiknya tidak melakukannya dengan memilih sebuah model yang didasarkan pada citra diri tertentu. Misalnya “gereja: hadir untuk menyejukkan sekitarnya” atau “gereja: inang pengasuh dunia”. Tentunya model-model itu didasarkan pada prinsip dan keyakinan pada tugas panggilan mereka. Hanya kesannya, gereja melihat dirinya sebagai “yang baik” atau bahkan “yang sempurna” yang dibutuhkan sekitarnya, dan dunia sebagai yang buruk bahkan jahat.

Tidak pelak lagi, dasar keberadaan (reason for being) gereja adalah Yesus Kristus, kepala gereja. Tugas pengutusan gereja atau misinya didasarkan pada misi Kristus yang bermuara dari misi Allah. Atas dasar itu, biasanya kita menyebutkan tiga pokok sebagai karakteristik esensial gereja/jemaat Kristus, yaitu persekutuan, pemberitaan/kesaksian dan pelayanan. Dengan kata lain, gereja harus melaksanakan tugas pengutusannya dengan mewujudkan “keintiman relasi dengan Tuhan”, “kehangatan persekutuan di dalam jemaat”, dan “kepekaan pada sesama, lingkungan dan dunia”. Persoalannya, lalu bagaimana “menerjemahkan” dan mengimplementasikan imamat itu dalam konteks dan realita kita. Oleh karena itu, menurut hemat saya, harus terjadi upaya yang terus-menerus untuk “menguji” paradigma kita di atas itu, baik sebagai gereja, maupun sebagai pribadi orang percaya. Untuk itu, ada beberapa hal yang mesti dipertimbangkan gereja.

Pertama-tama, kita mesti secara jujur bertanya kepada diri kita sendiri, apakah memang gereja adalah institusi sempurna sehingga tanpa dia, dunia akan tanpa masa depan? Atau sebaliknya, gerejalah yang membutuhkan dunia untuk hidup pelayanannya? Itu berarti keberanian untuk mengakui bahwa kita, gereja, hanyalah alat Allah, demi mewujudkan kasih-Nya terhadap dunia. Untuk itu diperlukan sikap rendah hati untuk terus belajar dari Tuhan dan dari dunia bagaimana melaksanakan tugas pengutusan kita dengan sebaik-baiknya.

Yang kedua, kita juga mesti secara jujur bertanya mengapakah gereja tidak punya akar kultural di bumi Indonesia, sehingga selalu diperlakukan sebagai “unsur asing”? Salah para “missionaries” pada masa lalu atau salah kita sendiri? Bagaimanakah kita memahami diri sebagai jemaat misioner? Apakah pengertian misi, atau tepatnya “pekabaran Injil” di sini? Sekadar upaya kristenisasi, yang mestinya terus kita uji relevansinya, ataukah kita berani menerjemahkannya (termasuk yang kita sebut sebagai “Amanat Agung” dalam Mat. 28:19-20) dengan pengertian yang lebih utuh dan menyeluruh, yaitu sebagai “misi Kerajaan Allah”?

Yang ketiga, secara jujur perlu pula kita bertanya, bagaimanakah sikap kita terhadap mereka yang memeluk kepercayaan yang lain? Apakah artinya bagi kita kenyataan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang majemuk (multi-agama dan multi-etnis/kultur)? Sekadar sebagai suatu fakta yang mesti kita terima tanpa perlu berbuat apa-apa, atau sebagai sesuatu yang mestinya menjadi pokok pertimbangan yang menentukan dalam kita melaksanakan tugas panggilan kita sebagai gereja?

Yang keempat, dengan tak jemu-jemu kita mesti bertanya lagi, siapakah gereja/jemaat itu? Benarkah itu berarti jemaatnya atau tepatnya segenap warganya? Bila memang demikian, apakah berbagai tujuan dan kegiatan (dalam segala arah) mengacu pada warga jemaat sebagai objek atau sebagai subjek? Bagaimanakah hubungan antara para pejabat gerejawi dengan warga jemaat (awam/bukan pejabat gerejawi)? Bagaimanakah “gaya kepemimpinan” yang diimplementasikan di dalam gereja/jemaat? Ketika di kalangan organisasi sekuler, demokratisasi dan kepemimpinan melayani begitu intensif serta arif diterjemahkan ke dalam berbagai aspek, di gereja kerap kali hal itu amat memprihatinkan. Kasih, demokratisasi jemaat dan kepemimpinan melayani seperti Kristus, yang dijunjung sebagai nilai-nilai agung, justru masih terseok-seok dijalani gereja ketika berusaha menerapkannya dalam segala aspek.

Dan yang terakhir, secara terbuka mestinya kita senantiasa bertanya, apakah artinya, “di dalam dunia tetapi bukan berasal dari dunia”? Pemahaman atas ini kerap kali mirip dengan tanggapan atau sikap terhadap perubahan terus-menerus dari dunia dan zaman kita. Yesus dengan gamblang memberikan nasihat praktisnya tentang itu kepada kita.

“Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” (Mat. 10:16)

Atau ini,

“Lalu tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur itu, karena ia telah bertindak dengan cerdik. Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya daripada anak-anak terang.” (Luk. 16:8)

Dan ini,

“Jadi, jikalau kamu tidak setia dalam hal Mamon yang tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya?” (Luk. 16:11)

Kiranya jelas, bahwa bagaimanapun dunia dan zaman kita ini, gereja dan kita orang percaya, dikehendaki untuk melaksanakan tugas panggilan kita dengan setia di dalamnya, seraya tetap tidak kehilangan jati diri kita sebagai gereja dan anak-anak Tuhan.

Dirgahayu GKI Pondok Indah.

Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Renungan
  • Allah hadir bagi kita
    Biarkanlah, biarkanlah itu datang, ya Tuhan. Kami berdoa pada-Mu, biarkanlah hujan berkat turun. Kami menanti, kami menanti. Oh hidupkanlah...
  • MENCINTA DENGAN SEDERHANA
    Aku Ingin Aku ingin mencintaimu ciengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu...
  • SULUNG DALAM PALUNGAN
    Persekutuan Perempuan Jumat, 9 Desember yang lalu, temanya adalah “Cinta dalam Kesederhanaan”. Saya jadi ingat puisi Sapardi Djoko Damono,...
  • MELAYANI ITU INDAH
    Ketika kita berbicara tentang “melayani” maka hal ini sangat dekat dengan kehidupan Kristiani. Melayani (Yunani: diakoneo artinya to be...