Doketisme

Doketisme

doktrin keilahian yang kebablasan

Belum ada komentar 1580 Views

Fanatisme Spiritualitas
Fanatisme sebuah spiritualitas yang secara berlebihan menekankan hal-hal tertentu dan kurang menganggap penting hal-hal lain, sering kali tidak membawa kebaikan, bahkan cenderung merugikan pertanggungjawabannya dalam jangka panjang di kemudian hari. Kekristenan tidak pernah dimaksudkan untuk dipahami secara sepenggal-sepenggal, sehingga sebuah penggalan bisa menerangkan dan menuntun kita untuk memahami keseluruhan iman Kristen. Kekristenan itu kompleks dan lengkap menurut segala unsur/aspek pembangun yang terkandung di dalamnya, termasuk segala kelemahan dan hal-hal buruk yang pernah terjadi dalam perjalanannya.

Pada masa akhir pelayanannya, Rasul Paulus sangat menekankan pentingnya spiritualitas yang mempertentangkan roh dan daging. Hal ini terkait erat dengan pola kehidupan jemaat yang dilayaninya saat itu, yang begitu mengagungkan hedonisme. Paulus perlu mengingatkan mereka untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan jasmani dan rohani. Namun kemudian muncullah paham-paham hidup yang memusuhi daging dan mengagungkan roh.

Hal ini terus bertumbuh sepeninggal Rasul Paulus (60-an M) dan makin subur dalam perjumpaannya dengan paham gnostik, yang tidak bisa dimungkiri berpengaruh besar dalam pertumbuhan paham itu di gereja mula-mula.

Gnotisisme
Gnotisisme pada intinya mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya adalah jiwa yang terperangkap dalam alam semesta yang diciptakan oleh tuhan yang tidak sempurna. Gnostisisme percaya dua premis yang salah.

Pertama, gnostisisme mendukung dualisme roh dan materi. Gnostik percaya bahwa materi itu pada dasarnya jahat dan roh itu baik. Sebagai hasilnya, gnostik percaya bahwa apa pun yang dilakukan dengan tubuh, dosa yang paling keji sekalipun, tidak ada artinya karena hidup yang sejati hanya didapati dalam dunia roh belaka.

Kedua, gnostik mengklaim memiliki pengetahuan yang lebih tinggi, “kebenaran yang lebih tinggi” yang hanya diketahui oleh beberapa orang. Gnostisisme berasal dari kata bahasa Yunani gnōsis yang berarti “mengetahui.”

Secara umum dapat dikatakan bahwa gnostisisme adalah faham dualistik, yang dipengaruhi dan memengaruhi filosofi Yunani, Yudaisme, dan Kekristenan.

Istilah gnōsis merujuk pada suatu pengetahuan esoteris yang telah dipaparkan. Dari sana manusia, melalui unsur-unsur rohaninya, diingatkan kembali akan asal-muasal mereka dari Tuhan yang superior. Yesus Kristus dipandang oleh sebagian sekte gnostis sebagai perwujudan dari makhluk ilahi yang menjadi manusia untuk membawa gnōsis ke bumi.

Pada mulanya gnostisisme dianggap sebagai cabang aliran sesat Kekristenan, namun sekte gnostis telah ada sejak sebelum kelahiran Yesus.

Doketisme
Pengagungan terhadap roh tadi, ditambah atau bahkan dikuatkan dengan pengaruh gnostisisme, menciptakan paham yang mengerucut bahwa Tuhan itu Roh (bukan daging). Roh, bila terkena materi akan menjadi cemar, sehingga tidak mungkin Tuhan yang Maha Suci—yang adalah Roh—sekaligus juga adalah daging (dalam inkarnasinya sebagai Yesus Kristus). Puncak pemahaman ini menghasilkan sebuah doktrin yang menyatakan bahwa Yesus Kristus tidak sungguh-sungguh manusia, melainkan hanya tampak sebagai manusia. Maka terjadilah penyesatan itu.

Doktrin yang lebih dikenal dengan istilah doketisme ini mempertahankan bahwa Yesus Kristus hanya tampaknya saja mempunyai tubuh. Doketisme digunakan untuk menyangkal realitas inkarnasi Yesus secara fisik. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Yesus Kristus hanya memiliki tubuh surgawi. Yesus Kristus, yang adalah Juru Selamat, berasal dari keberadaan ilahi, sehingga tidak mungkin benar-benar manusia. Bersama ajaran gnostik, doketisme bermaksud menjauhkan realitas penderitaan itu dari Sang Kristus. Keilahian Kristus sangat ditekankan, sehingga setiap aspek kehidupan-Nya di bumi hanya dianggap semu, mulai dari kelahiran-Nya sampai kematian-Nya. Namun ketika diperhadapkan pada peristiwa penangkapan (sebelum penyaliban), hal ini menjadi sangat pelik, karena Kristus yang ilahi itu tidak mungkin bisa menderita, apalagi mati. Maka dibuatlah dalil bahwa yang disalibkan itu bukanlah Yesus melainkan orang lain, sebab segala sesuatu yang bersifat daging itu jahat dan dapat mati, sedangkan segala sesuatu yang bersifat ilahi itu baik dan tidak dapat mati. Maka untuk menyangkal fakta peristiwa penangkapan dan penyaliban, argumen yang mengatakan bahwa orang lainlah yang disalibkan adalah apologi yang dianggap paling tepat, sehingga ada yang mengatakan bahwa Simon dari Kirene-lah yang disalib, ada juga yang mengatakan Simon orang Zeloth, tapi yang paling populer adalah Yudas Iskariot.

Kesalahpahaman Besar
Dari sinilah awal mula kesalahpahaman yang meragukan bahwa Yesus benar-benar disalibkan. Paham ini terus berkembang pesat hingga tahun 90-an M, sepeninggal Rasul Paulus pada tahun 60-an M. Hingga pada masa penyusunan Al-Quran, anggapan ini masih terus dipegang oleh kaum gnostik, yang makin menurun jumlahnya karena beralih memeluk Islam. Para penyusun Quran yang memang menolak keilahian Yesus, terilhami oleh argumen dan kepercayaan ini sehingga disebutkan dengan jelas di Quran bahwa yang disalibkan bukanlah Yesus Kristus, melainkan salah seorang murid-Nya yang diserupakan dengan Dia, yakni Yudas Iskariot (meski tidak disebutkan secara eksplisit dalam Quran).

“Dan karena ucapan mereka (orang-orang Yahudi): Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah. Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa’: 157-158)

Menyikapi Perbedaan
Jika kita merasa terganggu oleh anggapan yang demikian, maka siapakah yang bisa dipersalahkan? Orang-orang Kristen sendiri, yang fanatisme spiritualitasnya menekankan secara berlebihan hal-hal tertentu dan kurang menganggap penting hal-hal lain. Kesalahpahaman itu bukanlah tanpa sebab dan tanpa sumber. Berkembangnya doketisme pada gnostic church-lah yang mengakibatkan timbulnya salah paham besar yang tak akan pernah terjembatani ini. Iman Kristen memang tidak akan pernah terganggu, tapi hal itu menjadi pembenar bagi mereka yang meragukan iman Kristen dan menjadi penghalang bagi orang-orang yang akan mengimani apa yang orang-orang Kristen imani. Inilah yang disebut di atas sebagai ‘merugikan pertanggungjawaban” dalam jangka panjang di kemudian hari.’

Perdebatan panjang seputar hal ini di sepanjang sejarah tak akan pernah menemukan titik temu yang disepakati kedua belah pihak (Islam dan Kristen) karena sudah dimasukkan ke ranah keimanan atau aqidah. Umat Islam tetap mengimani bahwa yang disalibkan bukanlah Isa as, melainkan orang yang diserupakan dengan-Nya, yakni Yudas Iskariot. Sedangkan umat Kristiani tetap mengimani fakta sejarah bahwa Yesuslah yang disalibkan.

Meskipun ada cerita lanjutan tentang Yudas setelah peristiwa penyaliban—yang juga turut menjadi bukti bahwa bukan Yudas yang disalibkan—tetapi tidaklah berguna untuk dijadikan bahan argumen untuk memperkuat bukti bahwa Yesuslah yang disalib. Penyaliban Yesus bukanlah sekadar bukti sejarah nyata saja, tapi lebih daripada itu, merupakan penggenapan Rencana Agung Allah untuk menyelamatkan manusia dari dosa dan kematian kekal. Inilah wujud prakarsa-Nya untuk menyambut uluran tangan manusia yang tidak pernah mampu dan bisa menemukan jalan kembali kepada-Nya melalui upaya dan kekuatannya sendiri.

-SUJARWO-

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Edukasi
  • THE ART OF LISTENING
    Menjadi pendengar yang baik? Ah, semua juga bisa! Tapi apakah sekadar mendengar bisa disamakan dengan menjadi pendengar yang baik?...
  • To infinity and beyond!
    Saya salah satu penggemar petualangan seru dan epik dari Buzz Lightyear dan Woody, sahabatnya (Film: Toy Story 1995). Buzz...
  • Antara Si Badu & Akhir Tahun
    Antara Si Badu & Akhir Tahun
    Selamat pagi, siang, sore, dan malam. Menjalani setiap hari dengan rutinitas yang sama, sampai tiba saatnya Natal dan Tahun...
  • WOMEN ON FIRE
    Perempuan Warga Kelas Dua Sepertinya dari dulu perempuan cenderung ditempatkan sebagai warga kelas dua dalam status sosial. Hal ini...
  • Become Our Best Selves
    meraih sukses tidak dengan menakhlukkan orang lain, …tapi menampilkan yang terbaik dari diri sendiri. Become Our Best Selves Tujuan...