Kebangkitan

Berbeda itu Indah

Belum ada komentar 698 Views

Sulit dibayangkan bila segala sesuatu dalam hidup ini seragam. Semua gunung sama bentuk dan tingginya. Pantai-pantai di Bali, di Hawai, di Nice, di Nias, di Pacitan, sama semua. Setiap kota di dunia dan di negeri kita sama luas dan sama jumlah penduduknya, bahkan jaringan jalan-jalan serta bentuk dan tinggi bangunan-bangunannya. Yang lebih sukar lagi untuk membayangkannya adalah apabila semua orang di dunia ini sama. Warna kulit dan rambutya, bentuk dan warna matanya, sungging bibirnya, bahkan suaranya, semua sama. Entah itu di pedalaman Mongolia, di Bronx New York, di Cinere, bahkan di Amsterdam.

Hampir mustahil pula rasanya untuk menggambarkan bahwa semua orang lalu berbahasa sama, sehingga seorang Dayak akan dengan mudah bercakap-cakap dengan seorang Eskimo, seseorang dari Texas bersenda gurau dengan seseorang dari Purwokerto. Semua bangsa bergaya pakaian serupa, berbudaya dan beradat-istiadat sama.

Karena sebenarnya kenyataan yang kita hadapi di sekitar kita dan di dunia kita setiap hari justru sebaliknya. Tak ada gunung, pantai atau kota yang sama. Tak ada orang, bangsa, suku, bahasa dan budaya yang sama. Dan bukan cuma itu. Setiap bangsa, setiap suku, setiap kelompok, bahkan setiap orang, ramai-ramai memperjuangan dan menunjukkan, dengan segala cara, bila perlu dengan paksa, kekhasan masing-masing. Kata kuncinya adalah eksklusivitas, bukan inklusivitas. Eksklusif sebagai lawan kata dari biasa, tidak unik. Untuk itu mesti dikeluarkan semua unsur bahkan orang, yang tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan. Makin sedikit mereka yang tergolong di dalamnya, makin baik. Sebuah arloji merek utama, yang diproduksi hanya 100 buah, jauh lebih berharga ketimbang arloji sama yang diproduksi ribuan atau massal. Selain itu, seseorang yang bukan orang Jawa yang mau menikah dengan orang Jawa, harus “dijawakan” dahulu sebelum layak diterima dalam keluarga Jawa. Seseorang tidaklah berhak berbeda dan menjadi dirinya sendiri dalam kelompoknya.

Sedihnya, kecenderungan ini melanda juga umat beragama. Agamaku tidak sama dengan agamamu. Dan tidak cukup hanya di situ. Agamaku lebih besar dan lebih baik ketimbang agamamu. Bila agamamu tidak sama dengan agamaku, berarti salah bahkan sesat. Dan karena sesat perlu jauhi, bahkan bila mungkin dibasmi. Maka tak heran jika kemudian muncul berbagai bentuk sikap dan perbuatan mempertahankan eksklusivitas itu, antara lain terorisme dalam segala bentuknya. Celakanya dalam umat beragama yang sama, bisa terjadi bahwa cara ibadahku tidak sama dengan cara ibadahmu, panutanku lebih mumpuni ketimbang panutanmu. Dari situ dengan mudah dinyatakan bahwa ibadahmu salah, panutanmu sesat. Dan teror pun dilancarkan kepada warga umat beragama yang sama dengan dalih kemurnian ajaran dan ibadah.

Yang lebih menyedihkan lagi adalah bahwa kenyataan ini tidaklah asing dalam kehidupan kita, umat kristiani. Tiap denominasi dan gereja, dengan caranya sendiri-sendiri, baik secara halus mapun kasar, bahkan lewat kekerasan organisatoris, psikis dan religius, mempertahankan kemurnian dirinya. Banyak denominasi dan gereja menyatakan diri sebagai yang (paling) benar dengan mendiskreditkan denominasi dan gereja lain yang berbeda dari diri mereka, dengan berbagai cara pula. Memang tidak ada tindakan teror, kecuali bila tindakan menakuti dan mengancam seseorang tidak selamat dan masuk surga, tergolong ke dalam tindak teror.

Ini mestinya mengingatkan kita pada kisah Babel di Alkitab (Kej. 11). Upaya menyatukan kemanusiaan menjadi kekuatan yang mampu menyundul langit, menyaingi bahkan merongrong kedaulatan Allah. Allah, yang kemudian pada gilirannya menunjukkan kepada manusia bahwa upaya itu adalah usaha menggantang angin. Kesatuan yang kemudian justru menjadi sumber keterpecahbelahan. Namun ternyata dahaga mendirikan menara Babel masih hidup di mana-mana, bahkan di antara anak-anak Tuhan. Padahal sejak awal, dalam Perjanjian Lama, Allah telah menunjukkan bahwa ada sudut pandang yang lain: “Kalian adalah umat-Ku … begitu pun umat-umat lain yang juga Kupedulikan dan Kuperhatikan, bahkan Kukasihi! Usahakanlah kesejahteraan kota di mana engkau Aku buang, karena kesejahteraan mereka adalah kesejahteraanmu!” Lalu lebih dari 20 abad yang lalu, dalam Perjanjian Baru, Allah kembali menunjukkan, melalui sang Kristus dan Roh-Nya yang dicurahkan, cara pandang yang unik: “Siapakah sesamaku…? Apa yang kaulakukan bagi saudara-saudara-Ku yang paling hina ini, engkau melakukannya bagi-Ku. Oleh Roh, kita semua yang berbeda-beda, disatukan dalam-Nya, Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian?”

Maka kita, anak-anak-Nya, dipanggil untuk melihat dengan mata dan hati yang baru. Segenap ciptaan diciptakan Allah secara unik. Tidak ada satu pun yang persis sama. Pohon dan bunga se-jenis tidak pernah sama. Apalagi ber-juta pohon dari berbagai jenis. Begitu pun dengan manusia. Bahkan manusia kembar pun tidak persis sama. Sidik jari mereka berbeda, dan kepribadian mereka bagaimana pun berlainan. Apalagi di antara bermiliar manusia warga bumi kita ini yang terdiri atas berbagai bangsa, suku dan ras.

Repotnya pula, di samping berlaksa-laksa perbedaan itu, ada cukup banyak perbedaan yang tidak alami, yang digariskan oleh manusia sendiri. Perbedaan-perbedaan ini kerap justru merupakan sumber kesulitan, seperti agama, denominasi dalam agama yang sama, orientasi seksual, difabilitas, pembedaan kaya-miskin, status sosial, jenjang pendidikan, jabatan, dan sejenisnya. Perbedaan-perbedaan yang tidak mudah untuk dijembatani, bahkan dapat sebaliknya memicu diskriminasi. Diskriminasi yang kemudian tragisnya bisa lalu dilekatkan pada perbedaan yang alami, seperti gender, etnik, dan budaya.

Namun betapa pun perbedaan di antara berbagai ciptaan dan makhluk itu, mereka sebenarnya mempunyai kesamaan. Mereka semua mempunyai hidup, yang bersumber kepada Allah yang mengaruniakannya. Dan pada manusia sendiri terdapat karunia-karunia yang sama pada setiap orang, yaitu kemampuan untuk mencintai. Dua hal hakiki yang mestinya mampu menjembatani semua perbedaan bah-kan menghargainya, hidup dan cinta.

Perbedaan itu indah. Terserah kepada kita, mau atau tidak mengakuinya. Hidup dan cinta adalah anugerah Allah. Terserah kepada kita, mau atau tidak mensyukurinya.•

»Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Renungan
  • Allah hadir bagi kita
    Biarkanlah, biarkanlah itu datang, ya Tuhan. Kami berdoa pada-Mu, biarkanlah hujan berkat turun. Kami menanti, kami menanti. Oh hidupkanlah...
  • MENCINTA DENGAN SEDERHANA
    Aku Ingin Aku ingin mencintaimu ciengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu...
  • SULUNG DALAM PALUNGAN
    Persekutuan Perempuan Jumat, 9 Desember yang lalu, temanya adalah “Cinta dalam Kesederhanaan”. Saya jadi ingat puisi Sapardi Djoko Damono,...
  • MELAYANI ITU INDAH
    Ketika kita berbicara tentang “melayani” maka hal ini sangat dekat dengan kehidupan Kristiani. Melayani (Yunani: diakoneo artinya to be...