Sahabat Allah

Beragam itu Anugerah

Belum ada komentar 204 Views

Ketika menggumuli tema dalam teropong ini, muncul pertanyaan yang menantang untuk didalami: keberagamaan itu sebenarnya anugerah atau kepahitan ya?

Bahasan ini berangkat dari keberadaan bangsa Indonesia yang unik dibandingkan dengan bangsa-bangsa lainnya. Unik, karena sejak dibentuknya negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia adalah fenomena baru, bukan Sriwijaya atau Majapahit, bukan pula Kesultanan Ternate, atau Makasar, atau Mataram, atau yang lainnya. Indonesia terdiri atas semua manusia daerah atau bangsa yang berbeda satu dengan lainnya. Keberbagaian bahasa, tradisi atau adat istiadat dan kebiasaan dari berbagai suku bangsa ini, tentu membutuhkan upaya yang tidak sedikit untuk mengarahkan pada negara kesatuan republik Indonesia.

Kenyataan bahwa keberadaan bangsa dan negara Indonesia terdiri atas berbagai etnis, budaya dan agama yang berbeda-beda, seharusnya merupakan anugerah yang Tuhan berikan. Namun pada sisi lain, keberagaman tersebut bisa saja menjadi sumber konflik, menjadi kepahitan atau penyebab penderitaan bagi kelangsungan bangsa Indonesia. Bagaimana Gereja menyikapi hal ini? Apa peran penting gereja untuk menjadikan keberagaman ini sebagai sesuatu yang penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia?

Belajar Menyikapi Keberagaman

“Bukan karena semua baik, kita tersenyum; tapi karena kita tersenyum, semuanya menjadi baik. Bukan karena hari ini indah, kita bahagia; tapi karena kita bahagia, hari ini menjadi begitu indah.”

Permainan kalimat sederhana ini tertulis dalam liturgi salah satu ibadah Minggu GKI Pondok Indah, yang bila direnungkan ulang, punya makna yang mendalam. Semua bermula dari keputusan untuk bersikap terhadap segala yang dihadapi dalam kehidupan ini. Sedangkan keputusan untuk bersikap itu tergantung pada pikiran apa yang kita hadirkan. Jika segala sesuatu diawali dengan pikiran dan sikap yang buruk, maka semuanya akan tampak buruk, dan sebaliknya jika segala sesuatu diawali dengan berpikir dan bersikap yang baik, maka semuanya akan tampak baik.

Bercermin pada apa yang tertulis di kitab Kejadian pasal 1, dalam proses penciptaan ternyata berkali-kali dituliskan “Allah melihat bahwa semuanya itu baik” (ay.10b; 18b, 21b, 25b) dan pada ayat terakhir (31) ditutup dengan “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik…”

Melalui kitab Kejadian, kita belajar bahwa seluruh ciptaan Tuhan itu baik dan semuanya dalam suatu kesatuan yang sempurna, yang sungguh amat baik. Oleh karena itu, apa pun yang dihadapkan Tuhan kepada kita dalam kehidupan ini, baik adanya.

Bahkan dinamika keadaan yang menggembirakan dan menyedihkan, gagal dan berhasil, senang dan tidak senang, semuanya adalah bagian dari kebaikan, karena jika tidak ada kesedihan, bagaimana dapat memahami kebahagiaan, jika tidak ada kesusahan, bagaimana dapat menikmatii kesenangan? Jika tidak ada kegagalan, mampukah memahami keberhasilan?

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada yang salah dengan perbedaan, yang salah adalah jikalau kita tidak menyikapi perbedaan yang ada. Seperti rangkaian bunga yang terdiri atas beragam warna, ada yang merah, putih, oranye, ungu, kuning. Semuanya berpadu memberi semburat nuansa indah yang memikat mata untuk melihat. Ya, keindahan justru terlihat melalui keberagaman, dan hanya jika orang mampu menikmatinya, maka ia mendapat anugerah dari Tuhan.

Mengapa demikian? Sebab tidak semua orang mampu melihat dan menghargai keberagaman. Ada orang yang punya kecenderungan untuk menyeragamkan semuanya, supaya semuanya tampak sama. Jika demikian, tanpa disadari ia telah menyangkal keindahan kehidupan yang harmoni, seperti yang dituliskan Joybell dalam kalimat ini, “It is only when you accept how different you all are, that you will be able to see how much the same you all are. Don’t expect anybody to be the same as you, then you will see that you are in many ways the same as everybody.” (hanya dengan menerima perbedaanlah, kita mampu menemukan persamaan itu. Jangan berharap bahwa orang lain akan menjadi serupa dengan kita, maka kita akan melihat bahwa ada banyak persamaan antara kita dengan orang-orang yang berbeda tersebut).

Menyadari Keberagaman Sebagai Keberadaan Bangsa Indonesia

Keberagaman yang muncul di suatu bangsa tampaknya merupakan ciri masyarakat modern yang bercampur baur dari segala arah, tempat dan latar belakang. Bisa jadi, keberagaman ini pulalah yang menjadi titik berangkat munculnya berbagai permasalahan penting dalam masyarakat, sehingga lahirlah rumusan dari gagasan-gagasan penting mengenai keadilan sosial, demokrasi, hak-hak asasi manusia dan lainnya yang diharapkan dapat menciptakan kehidupan bersama dalam masyarakat yang lebih baik. (baca juga: “Bergumul dalam Pengharapan”, buku penghargaan untuk Pdt.Dr.Eka Darmaputera)

Keberagaman yang ada pada suatu bangsa, jika dikelola dengan serius akan membuka kesempatan terjadinya interaksi yang produktif di antara golongan-golongan yang ada di masyarakat. Hasilnya merupakan kekayaan tersendiri yang akan membawa bangsa itu menjadi bangsa yang maju.

Masalahnya adalah bagaimana memahami keberagaman tersebut dan memunculkan makna yang positif darinya. Keberagaman hanya bermakna dalam suatu masyarakat bila mampu mempersatukan manusia dalam suatu kesatuan, seperti semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Pada sisi lain, keberagaman perlu selalu diwaspadai sebab kemajemukan yang juga mengandung potensi konflik, karena itu perlu dikelola dengan bijak dan dewasa.

Contoh menarik yang dikemukakan Pdt.Gomar Gultom tentang keharmonisan relasi keagamaan di Indonesia yang mempunyai corak khas, menjadi terusik oleh corak kehidupan beragama dari negara lain. Mengutip tulisan Gomar demikian, “Berbeda dengan corak Islam di Timur Tengah, Islam yang berkembang di Indonesia sangat ramah terhadap budaya lokal dari suku-suku bangsa Indonesia. Sangat disayangkan, sekitar satu setengah dekade terakhir ini, kehidupan harmonis dan saling menghargai itu sedikit banyak terusik dengan semakin mengentalnya semangat sektarianisme dan penggunaan simbol-simbol agama dalam penataan kehidupan bersama. Hal ini, misalnya, terlihat dengan semakin menguatnya kecenderungan memperjuangkan aspirasi lewat partai-partai berbasis agama, munculnya produk-produk hukum dan kebijakan negara yang berbasis syariah Islam dan munculnya proses “arabisasi” dalam performa hidup sehari-hari. Kecenderungan ini semakin mengkhawatirkan kini, ketika dalam realitas kehidupan sesehari, semangat kebersamaan di tengah masyarakat majemuk ini semakin tergerus oleh semangat intoleransi.”

(bisa dibaca juga di makalah Pdt. Gomar Gultom “Peran Transformatif Gereja di Tengah Masyarakat dan Bangsa Indonesia”)

Apa yang diutarakan Pdt. Gomar tentang kenyataan yang terjadi saat ini merupakan peringatan, bahwa keberagaman bukan hanya menghasilkan hal-hal yang positif, melainkan juga bisa menimbulkan ketidakharmonisan dalam masyarakat. Contoh yang sama juga bisa terjadi pada agama Kristen di Indonesia yang terbuka dan ramah terhadap agama-agama yang lain, tapi kemudian karena kehadiran penganut agama Kristen dari negara lain yang cenderung menutup diri, menjadi sangat tertutup dan bahkan cenderung ‘mengisolasi’, menciptakan tembok-tembok pembatas dengan saudara-saudara dari agama yang lain.

Peran Penting Gereja dalam Keberagaman Keagamaan di Indonesia

Agama memang bersifat ambigu, dapat membebaskan, tapi juga mempunyai daya untuk memperbudak pengaruhnya, demikian pendapat dari Aloysius Pieris, seorang teolog dari Sri Lanka, yang dikutip A.A.Yewangoe dalam buku “Agama dan kerukunan” demikian:

“Watak memperbudak agama secara psikologis, terwujud dalam takhayul, ritualisme, dogmatisme dan transendentalisme, sedangkan dalam wajahnya yang secara sosiologis memperbudak, agama cenderung mengabsahkan suatu struktur status quo yang menindas. Di pihak lain, wajah agama yang secara psikologis membebaskan dapat dilihat dalam pembebasan batin dari dosa (mamon, anti Allah, naluri-naluri memeras). Wajah agama yang secara sosiologis membebaskan tampak dalam potensi agama untuk melakukan transformasi sosial yang radikal. Dengan kata lain, agama membebaskan apabila agama memungkinkan kita untuk berhubungan dan bergaul dengan orang-orang lain tanpa beban. Fanatisme adalah wujud yang sangat jelas dari wajah agama yang memperbudak itu. Pandangan picik dan terbatas para penganut agama merupakan faktor pendorong yang besar dalam upaya memperlihatkan watak agama yang memperbudak. Tampaknya pengembangan watak agama-agama yang membebaskan itu perlu.

Salah satu bahaya agama yang memperbudak, menurut Yewangoe, yang mantan ketua PGI, adalah apa yang disebut sebagai sikap triumfantilisme atau sikap menang sendiri. Merasa diri unggul di antara penganut agama-agama lainnya. Kalau sikap ini yang berkembang, maka bukan tidak mungkin mereka yang tidak seagama dengan kita secara mudah ditempatkan hanya sebagai warga kelas dua dalam suatu masyarakat. Sejarah sudah membuktikan bahwa sikap seperti ini tidak menolong. Sebab baik perang-perang salib maupun perang-perang sabil berakar pada kesalahan yang sama, yaitu triumfantilisme.

Yewangoe, menolak triumfantalisme, sebab Yesus sendiri tidak pernah memperlihatkan sikap itu. Bahkan Rasul Paulus mengatakan: “…Kristus Yesus yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Filipi 2:6-8)

Peran gereja menjadi sangat penting, ketika gereja mampu menghadirkan watak agama yang membebaskan. Seperti yang diungkapkan oleh Romo Mangunwijaya, bahasa agama harus merupakan bahasa yang membebaskan manusia dari belenggu yang menghalanginya sebagai manusia. Hal yang menarik dari pemikiran Romo Mangun adalah ketika ia membedakan pengertian iman dan agama. Meskipun keduanya mempunyai hubungan satu sama lain, iman—atau disebut juga dengan religiositas—menurut dia mempunyai sesuatu yang lebih esensial jika dibandingkan dengan agama formal. Iman menggambarkan dekatnya hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta. Sedangkan di luarnya, hanya mengenai tata caranya. Oleh sebab itu, ketika manusia hanya meributkan hal agama dengan tetek bengek lahiriahnya, maka hal itu merupakan suatu kemunduran.

Hal penting yang harus selalu diwaspadai adalah penekanan pada hal-hal yang formal, sehingga kita sering kali terperangkap dalam kekakuan dogmatis, dan akibatnya kita tidak sanggup membedakan manakah yang secara formal agamawi, dan manakah yang menyangkut inti keberadaan seseorang dalam hubungannya dengan sesama. Yang lebih berbahaya lagi adalah ketika hal-hal formal dikaitkan dengan ambisi-ambisi kekuasaan, di mana agama diperalat untuk mencapainya, sehingga agama tidak lagi memberikan kesejukan dalam hubungan-hubungan sosial, sebaliknya menciptakan ketegangan-ketegangan.

Kecenderungan kehidupan agamawi formal seperti ini justru merupakan objek teguran Yesus ketika Dia berhadapan dengan para ahli Taurat. “Jika hidup keagamaanmu,” kata Yesus, “tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga” (Matius 5:20). Bagaimanakah hidup keberagamaan ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi itu? Mereka suka memamerkan kesalehan di hadapan umum dan cenderung mendemonstrasikan jasa-jasa mereka kepada orang-orang lain di hadapan orang banyak, demi memperoleh pahala.

Sikap rendah hati dengan menyadari banyaknya kekurangan dan kelemahan di hadapan Tuhan, akan memberikan kemungkinan untuk lebih terbuka kepada sesama, sebab bisa saja ada hal-hal yang dapat diteladani dari sesama.

Kehidupan agamawi yang formalistis dan legalistis saja akan menyebabkan seseorang terperangkap dalam kekakuan-kekakuan ajaran, yang pada akhirnya akan bermuara pada pertentangan-pertentangan. Oleh karena itu perlu ada interpretasi baru di dalam agama-agama itu sendiri, sehingga penganut agama yang satu dapat memahami ajaran dari penganut agama yang lain.

Perubahan mendasar yang diusulkan K.H. Abdurrahman Wahid, mengarah pada upaya-upaya untuk mendudukkan agama-agama pada sebuah tataran baru di mana harkat dan martabat manusia merupakan keprihatinan yang paling mendasar dan mendalam. Secara konkret ia mengusulkan agar agama-agama memberikan pelayanan dalam bentuk yang paling nyata kepada warga masyarakat tanpa pandang bulu, seperti penanggulangan kemiskinan, penegakan kedaulatan hukum dan kebebasan menyatakan pendapat, serta perhatian terhadap alam lingkungan (ekologi).

Apa pun yang dikatakan, agaknya kita harus merenungkan kembali cara-cara kita menghayati agama masing-masing, dan pada saat yang sama memahami orang lain. Walaupun agama adalah pilihan pribadi, tetapi juga berdampak bagi hubungan-hubungan sosial. Di dalam keluarga besar bangsa Indonesia yang majemuk ini, cara-cara kita menghayati dan mengungkapkan iman tentu memainkan peranan penting dalam menghindari konflik-konflik yang tidak perlu.

Merupakan anugerah bagi bangsa dan negara Indonesia yang dikaruniai keberagaman keagamaan, karena ketika penganut agama-agama yang berbeda-beda itu dapat bekerja sama, mampu bersinergi, maka akan ada banyak masalah kemanusiaan yang dapat diatasi bersama. Dengan bersama-sama menyingsingkan lengan baju menggeluti masalah-masalah kemanusiaan yang terjadi di Indonesia, maka masyarakatnya tidak akan terjerumus ke hal-hal yang merugikan.

Penutup

Keberagaman di Indonesia adalah fakta sejarah yang telah disepakati bersama oleh berbagai manusia daerah (suku bangsa) untuk menyatu dalam negara kesatuan republik Indonesia. Oleh karena itu, menghargai perbedaan dan sekaligus mengakui identitas masing-masing orang adalah komitmen atau tanggung jawab bersama untuk saling mengikatkan diri menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Itulah sebabnya kita harus berangkat dari kesatuan dan persatuan.

Keberagaman yang mewarnai keberadaan bangsa Indonesia adalah anugerah dari Tuhan yang sungguh luar biasa, yang harus terus dijaga, dirawat dan dipertahankan agar dapat menjadi teladan, sebagai contoh nyata bagi bangsa-bangsa lain, bagaimana seharusnya hidup bergandengan tangan merawat dunia ciptaan Tuhan dan menjadikannya tempat yang nyaman untuk menikmati kehidupan.

Sinergi dari keberagaman yang akan menghasilkan potensi-potensi baru inilah yang akan menghadirkan Indonesia sebagai negara yang mampu memberikan kontribusinya dalam masyarakat modern di era globalisasi.

Peran gereja menjadi penting, ketika persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat juga menjadi persoalan-persoalan dalam gereja dan sebaliknya, penderitaan atau kesakitan gereja, hendaknya juga menjadi penderitaan dan kesakitan dalam masyarakat. Jadi ketika kita mempersoalkan gereja yang menderita, mengeluh kesakitan karena terjadinya ketidakadilan dan pengrusakan terhadap gereja, bukan karena hal itu menjadi masalah gereja, melainkan karena hal itu menjadi masalah bangsa, yakni bahwa sebagai bangsa kita tidak rela membiarkan hal-hal seperti itu terjadi di negara kita. Dan itu berlaku tidak saja bagi gereja, tapi juga bagi Istiglal, Vihara, dan lainnya.

Karena itu penting, menurut Pdt.Eka Darmaputera dalam bukunya “Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia”, untuk selalu menyadari dan mengingat bahwa platform atau titik pijak perjuangan Kristen adalah bagi semua orang, bagi seluruh bangsa. Sebab sesuatu yang hanya baik bagi orang Kristen, tidak kristiani.

Something which is good only for Christian is un-christian. Yang kristiani adalah kalau itu baik untuk semua orang.

»Pdt. Tumpal Tobing

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Bible Talks
  • Pelayanan yang Panjang
    Kisah Para Rasul 19:1-41
    Kisah Para Rasul merupakan buku kedua yang dituliskan oleh Lukas kepada Teofilus, dengan tujuan mencatat apa yang dilakukan oleh...
  • KASIH PERSAHABATAN
    Kasih adalah salah satu tema terpenling di da/am kekristenan. Di dalam 1 Korinlus 13:13, Paulus menegaskan bahwa dari seluruh...
  • WHAT WENT WRONG?
    Yosua 7-8
    Seandainya Anda mengalami kegagalan, akankah Anda berdiam diri dan bertanya, “Apa yang salah?” Setelah kemenangan di Yerikho dengan sangat...
  • Menghidupkan Semangat Dan Hati
    Yesaya 57:15
    Seseorang gadis berusia 18 tahun dan berpenampilan menarik berjalan masuk ke dalam ruang konseling. Dia sering menjuarai berbagai kompetisi...