AMAZING GRACE: pemahaman mengenai keselamatan

Sebuah pengantar ke dalam pemahaman mengenai keselamatan

Belum ada komentar 1735 Views

PERCAYA: TIGA DIMENSI

Masa raya Paska merupakan puncak iman Kristen, saat Injil keselamatan diberitakan berkat kurban Yesus Kristus. Tulisan ini sendiri sesungguhnya ingin memberi dimensi kognitif dan rasional atas iman Paska yang menjadi jangkar hidup kita.

Saya teringat pada pembedaan tiga dimensi iman atau percaya yang populer di kalangan Protestan, yaitu iman sebagai notitia, assensus, dan fiducia. Yang pertama, notitia, secara sederhana berarti pengetahuan atas apa yang kita percaya. Jadi ini soal data, informasi, dan fakta yang perlu dipahami secara kognitif. Yang kedua adalah assensus, yaitu persetujuan dan pengakuan pada objek iman itu. Tetapi iman yang menyelamatkan secara signifikan muncul melalui yang ketiga, yaitu fiducia, yaitu memercayakan diri pada Pribadi lain yang kita percayai, yaitu Allah di dalam Kristus.

Para teolog banyak berdebat tentang manakah dari ketiga dimensi tersebut yang muncul pertama kali. Saya tidak ingin mengajak Anda masuk ke dalam perdebatan itu, namun sekadar ingin menegaskan keyakinan saya bahwa dimensi yang pertama, notitia, adalah yang paling tidak signifikan, sekalipun tetap penting. Kita tidak diselamatkan karena mengerti apa yang kita percaya, namun jika kita percaya dan hidup di dalam keselamatan, maka kita diundang, bahkan dituntut, untuk berusaha mengerti apa yang kita percaya. Maka berlakulah ungkapan klasik, “iman mencari pemahaman” (fides quaerens intellectum).

KESELAMATAN: MAKNA GENERIK

Kata Yunani untuk keselamatan adalah soteria, yang secara mendasar berarti “keutuhan” (wholeness) dan “keadaan baik” (wellness). Namun, pada kesempatan lain, soteria juga berarti “perlindungan” (protection) dan “pemeliharaan” (preservation). Dengan demikian, tampaknya Alkitab memahami keselamatan pertama-tama sebagai sebuah kehidupan yang secara utuh dan menyeluruh, sebagaimana yang berlaku sejak semula bagi manusia dalam kebersamaan dengan seluruh ciptaan. Atau dengan kata lain, keselamatan berarti pengembalian atau pemulihan kondisi manusia sebelum terjatuh ke dalam dosa, kembali pada fitrahnya sebagai ciptaan yang diciptakan menurut citra Allah, dalam kebersamaan dengan seluruh ciptaan lainnya. Di dalam teologi Kristen, penyelamatan sebagai kembalinya kondisi manusia kerap disebut sebagai pendamaian atau atonement (at-one-ment), yaitu kondisi di mana manusia bersama dengan seluruh ciptaan dipersatukan dengan Allah Tritunggal.

Cara kedua memahami keselamatan adalah dengan melihatnya sebagai jawaban atas situasi real yang tak ideal, yang di dalam kekristenan dikenal dengan dosa. Maka, secara mudah kita bisa menemukan pemahaman mengenai keselamatan dengan menemukan terlebih dahulu apakah pemahaman mengenai dosa. Misalnya, jika dosa dipahami sebagai keterpecahan (brokenness), maka keselamatan adalah pengutuhan hidup; jika dosa adalah keterpisahan dari Allah, maka keselamatan adalah penyatuan kembali; jika dosa adalah pelanggaran, maka keselamatan adalah pengampunan; jika dosa adalah keterbelengguan oleh si jahat, maka keselamatan adalah pembebasan; dan sebagainya.

Sebagai sebuah catatan pinggir, pemahaman dasar mengenai keselamatan sebagai pemulihan ke status asali dan jawaban atas situasi rusak manusia ini secara meluas dapat ditemukan di dalam semua agama. Artinya, agama-agama memang muncul dan berkembang karena sebuah realisme bahwa keadaan nyata masa kini ternyata jauh dari ideal dan karena itu harus dikembalikan ke situasi ideal semula. Masalahnya, tentulah gambaran tentang situasi asali itu berbeda antara satu agama dengan agama yang lain. Perbedaan yang signifikan di antara agama-agama ini menghasilkan incompatibility antara satu agama dengan agama lain. Karena itu, sia-sialah mempertarungkan agama-agama dengan mempertanyakan, agama mana yang menyelamatkan, sebab kita sedang berbicara tentang kemajemukan paham keselamatan.

BERAGAM PERSPEKTIF TENTANG APAKAH KESELAMATAN

Ternyata bukan hanya muncul kemajemukan paham keselamatan di antara agama-agama. Di dalam kekristenan pun kita mendapati bermacam-macam konsep keselamatan. Saya pernah mengidentifikasi setidaknya sembilan model keselamatan di dalam Alkitab dan tradisi Kristen.

  1. Keselamatan adalah deifikasi atau teosis atau pengilahian manusia (gereja Orthodoks Timur);
  2. Keselamatan adalah pembenaran di mata Allah, yaitu bahwa kita memakai “jubah kebenaran Kristus” (Luther);
  3. Keselamatan adalah persekutuan dengan Allah Tritunggal;
  4. Keselamatan adalah kesempurnaan moral (Deisme dan Methodisme);
  5. Keselamatan adalah kesadaran—Allah yang sempurna (Schleiermacher);
  6. Keselamatan adalah kemanusiaan yang otentik (Bultmann, Tillich, Rahner, dll.);
  7. Keselamatan adalah pembebasan dari penindasan (teologi pembebasan);
  8. Keselamatan adalah partisipasi ke dalam Gereja sebagai tubuh Kristus (Katolik);
  9. Keselamatan adalah surga.

Beragam pandangan mengenai keselamatan itu ada di dalam kekristenan dan semuanya mampu menjustifikasi diri berdasarkan teks-teks Kitab Suci dan tradisi Kristen. Hal ini sesungguhnya mencerminkan kenyataan bahwa keselamatan menurut iman Kristen sangat kompleks, multidimensional, dan kaya.

Akan tetapi, terlepas dari beragamnya pandangan mengenai keselamatan di dalam kekristenan, tetap saja ada beberapa elemen substansial yang merata ditemukan pada setiap model.

  1. Diyakini bahwa keselamatan bermula dari anugerah Allah. Karena itu tidak mengandaikan inisiatif manusiawi untuk mencapainya.
  2. Anugerah Allah itu dimediasi oleh Yesus Kristus di dalam kuasa Roh Kudus.
  3. Manusia yang menerima anugerah keselamatan itu diundang untuk menanggapinya dengan iman dan perubahan hidup yang menyeluruh.
  4. Keselamatan tersebut mencakup relasi dengan semua ciptaan lainnya.

Keempat elemen dasar ini secara merata dijumpai pada semua model yang ada. Namun bagaimana keselamatan itu dikerjakan belumlah kita bicarakan, dan dalam bagian selanjutnya kita akan menyinggungnya.

BERAGAM PERSPEKTIF TENTANG BAGAIMANA KESELAMATAN DIKERJAKAN

Dalam buku klasik Gustav Aulen, Christus Victor, dipaparkan setidaknya tiga model penyelamatan atau pendamaian yang paling dominan di dalam kekristenan, yaitu (urut dari yang tertua): Kristus Pemenang, Pengembalian, dan Teladan Moral.

1. Kristus Pemenang

Model Kristus pemenang muncul pada masa gereja mula-mula, khususnya saat gereja belum menjadi agama negara (sejak 313) dan masih sangat sering ditindas. Kekuasaan Romawi sebagai sebuah empire itu kemudian dipersonifikasi dalam sosok Iblis yang membelenggu manusia berdosa. Allah yang mencintai manusia, ingin membebaskan manusia dari cengkeraman Iblis dan karena itu terjadilah peperangan kosmis antara Allah dan Iblis. Dalam peperangan tersebut, Kristus Anak Allah maju ke depan. Agar manusia terbebas, Allah harus menebus manusia dengan membayar tebusan. Untuk itulah Kristus merelakan diri untuk mati sebagai tebusan manusia, dan berkat kematian Kristus itulah manusia terbebas dari kuasa Iblis. Namun, pada hari ketiga, Kristus dibangkitkan dan dengan itu Allah memenangi perang kosmis tersebut.

Variasi lain dari pandangan ini adalah bahwa sebagai tebusan, Allah menggunakan sebuah “tipuan ilahi.” Iblis menangkap umpan yang Allah berikan berupa kemanusiaan Yesus. Namun, dengan memakan kemanusiaan Yesus, ikut termakan pula kail keilahian Kristus. Dan Iblis pun kalah.

Pandangan ini secara jelas menunjukkan keselamatan sebagai sebuah tindakan yang dilakukan oleh Allah melalui Kristus, dan kematian Kristus diserahkan atau diarahkan kepada Iblis. Setelah kekristenan diadopsi menjadi agama negara (313), gagasan semacam ini perlahan-lahan memudar, sebab “si Iblis” (negara) kini telah menjadi sekutu gereja dan karenanya model ini makin tidak relevan.

2. Pengembalian

Model “pengembalian” (satisfaction) muncul pada 1098, lewat buku karya Anselmus (Uskup Agung Canterbury), Cur Deus Homo? Anselmus menolak dengan keras pemahaman Christus Victor yang dianggapnya keliru memahami karya penyelamatan. Menurutnya, Iblis tidak memiliki hak apa pun atas manusia. Karena itu, ia sama sekali menghapuskan faktor “Iblis” dari skema penyelamatan yang diusulkannya. Menurut Anselmus, dosa muncul saat manusia telah merampas kemuliaan Allah dengan melalaikan tugasnya memuliakan Allah. Sikap abai ini telah mengacaukan tatanan semesta dan karena itu manusia harus “mengembalikan” kemuliaan Allah itu. Akan tetapi, apa yang dikembalikan sebenarnya adalah “utang lama” manusia, sementara pada saat mengembalikan, manusia berkewajiban memuliakan Allah. Alhasil, utang beranak-pinak utang.

Jadi, murka Allah tertuju pada manusia. Hanya Allah yang bisa membayar utang manusia, namun Allah tidak berutang dan manusialah yang berutang. Untuk itulah solusi satu-satunya adalah: harus ada Allah-Manusia yang sekaligus menyelesaikan utang manusia (harus Allah) dan bertanggung jawab atas utang tersebut (harus Manusia). Allah-Manusia itulah Yesus Kristus. Kematian Kristus sesungguhnya adalah untuk mengembalikan utang manusia kepada Allah, karena pemberontakan manusia. Calvin di kemudian hari meradikalisasi pemahaman ini dengan mengatakan bahwa Kristus bukan hanya mengembalikan utang kemuliaan Allah, namun mengganti hukuman Allah kepada manusia (penal substitution).

Berbeda dari model Christus Victor, model ini melihat kematian Kristus diarahkan kepada Allah yang kemuliaan-Nya terampas oleh dosa manusia. Skema ini tidak ada kena-mengenanya dengan Iblis. Manusialah yang harus bertanggung jawab atas dosanya.

3. Teladan Moral

Salah satu murid Anselmus yang bernama Abelardus sangat tidak suka dengan solusi Anselmus yang menurutnya sangat tidak mencerminkan Allah yang penuh cinta. Tidak mungkin Sang Bapa mengurbankan Sang Anak untuk memuaskan pengembalian kehormatan yang dirampas manusia. Sama seperti Anselmus, Abelardus juga tidak menyetujui model Christus Victor.

Kritik Abelardus atas pandangan Anselmus sangat beralasan. Kita memang tidak bisa mendefinisikan karya Allah sebagai anugerah (grace, gratis), jika Allah mendapatkan kembali apa yang dihilangkan oleh manusia. Allah tidak merugi apa-apa. Per definisi ini bukanlah rahmat sama sekali, namun sebuah relasi transaksional-legal yang mewajibkan keadilan terpenuhi.

Menurut Abelardus, kehadiran Kristus di dunia, bahkan hingga wafat-Nya di atas kayu salib, bukan untuk diserahkan sebagai korban penebusan kepada Iblis, atau sebagai pengganti dosa manusia agar kemuliaan Allah dikembalikan, namun diberikan kepada manusia agar umat yang dicintai Allah ini menerima teladan moral tentang bagaimana hidup dalam cinta kasih. Maka, berbeda dari model Anselmus yang sangat objektif—sebab keputusan manusiawi tidak terlalu penting—model Abelardus sangat subjektif, sebab manusia harus memutuskan untuk belajar dari Kristus, Sang Teladan Cinta itu.

KETIGA MODEL DALAM KITAB SUCI DAN KIDUNG

Ketiga model di atas sungguh berbeda satu dengan yang lain. Misalnya, kepada siapa Kristus diberikan berbeda dari satu model ke model lain. Di dalam model Christus Victor, Kristus diserahkan kepada Iblis; di dalam model Pengembalian, Kristus diserahkan kepada Allah; di dalam model Teladan Moral, Kristus diserahkan bagi manusia.

Masing-masing model juga memiliki justifikasi biblisnya masing-masing. Lihatlah beberapa teks berikut ini:

Christus Victor
Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. (Mrk. 10:45)
Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia: itu kesaksian pada waktu yang ditentukan. (1Tim. 2:5-6)

Pengembalian
Dan hampir segala sesuatu disucikan menurut hukum Taurat dengan darah, dan tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan. (Ibr. 9:22)
Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya. Hal ini dibuat-Nya untuk menunjukkan keadilan-Nya, karena Ia telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya. Maksud-Nya ialah untuk menunjukkan keadilan-Nya pada masa ini, supaya nyata, bahwa Ia benar dan juga membenarkan orang yang percaya kepada Yesus. (Rm. 3:25-26)

Teladan Moral
Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya. (1Ptr. 2:21)
Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. (Yoh. 15:12-13)

Ketiga model ini juga silih-berganti menghiasi liturgi kita, khususnya melalui nyanyian-nyanyian jemaat. Tanpa terasa kita diasuh oleh ketiganya, tanpa ada usaha menolak yang satu atau mengutamakan yang lain. Perhatikanlah misalnya beberapa nyanyian ini:

Christus Victor: Allahmu Benteng yang Teguh (KJ 250a:1-2)

Allahmu benteng yang teguh, perisai dan senjata;
betapapun sengsaramu, pertolongan-Nya nyata!
Si jahat yang geram berniat ‘kan menang;
ngeri kuasanya dan tipu dayanya di bumi tak bertara.
Dengan tenaga yang fana niscaya kita kalah.
Pahlawan kita Dialah yang diurapi Allah.
Siapa nama-Nya? Sang Kristus mulia,
Tuhanmu Yang Esa, Panglima semesta. Niscaya Ia jaya!

Pengembalian: Kepala yang Berdarah (KJ 170:2-3)
O wajah yang mulia, yang patut disembah
dan layak menerima pujian dunia,
sekarang diludahi, dihina, dicerca,
disiksa, dilukai yang salah siapakah?
Ya Tuhan, yang Kautanggung yaitu salahku;
dosaku t’lah Kaugantung di kayu salib-Mu.
O, kasihani daku yang harus dicela;
ampunilah hamba-Mu, beri anugerah!

Teladan Moral: Ikut Dikau Saja Tuhan (KJ 376:2&4)
Ikut Dikau di sengsara, kar’na janji-Mu teguh:
atas kuasa kegelapan ‘ku menang bersama-Mu.
Ikut dalam kesucian, lahir, batin yang bersih;
aku rindu mengikuti suri yang Engkau beri.

Terkadang, sebuah kidung diterjemahkan dari bahasa aslinya dengan mengalami penyesuaian atau bahkan pengubahan dari satu model ke model lain. Sebagai contoh, NKB 178 (Bukanlah ‘Ku, Tetapi Hanya Kristus). Terdapat perbedaan model antara refrein dalam bahasa asli (Teladan Moral) dan terjemahan (Pengembalian):

Oh, to be saved from myself, dear Lord, Tuhan, diriku telah Kauraih
Oh, to be lost in Thee, Kauhapus dosaku.
Oh, that it may be no more I, Tiada yang lebih permai
But Christ that lives in me. ‘ Kau hidup dalamku.

BEBERAPA PERTIMBANGAN AKHIR

Ketiga model di atas senantiasa muncul dalam percakapan mengenai karya penyelamatan yang Kristus lakukan. Masing-masing memiliki kelemahan dan kekuatannya. Sementara itu, para teolog berusaha untuk terus-menerus merumuskan kembali karya Kristus tersebut melalui model-model yang berbeda. Jika Anda ingin mengetahui lebih dalam, silakan membaca buku saya, Berdamai dengan Salib (2010). Ada baiknya, saya memberikan beberapa pertimbangan untuk membantu kita semua mengambil sikap iman atas seluruh persoalan ini.

  1. Ada beberapa usaha untuk tidak sekadar memilih satu dari tiga model tersebut, namun mempertemukan ketiga model itu bersama-sama. Daniel Migliore, misalnya, mengusulkan pembacaan atas tiga jabatan Kristus—nabi, imam, dan raja—sebagai usaha mempertemukan ketiganya. Jabatan Kristus sebagai nabi cenderung menyuarakan kehidupan yang eksemplaris dan karenanya dekat dengan Teladan Moral. Jabatan imam yang berfungsi mengantarai Allah dan manusia cocok dengan model Pengembalian. Jabatan raja menampilkan Kristus yang menang dan berkuasa atas Iblis.
  2. Salah satu isu paling krusial pada masa kini adalah sejauh mana model pendamaian yang kita anut membebaskan kita dari logika kekerasan ilahi. Dari ketiga model yang ada, model kedua tampaknya paling sering dituduh mengampanyekan kekerasan ilahi, sebab Sang Bapa mengorbankan Anak-Nya agar kehormatan-Nya dikembalikan. Apa yang dikhawatirkan adalah bahwa kekerasan ilahi ini mendorong munculnya kekerasan agama atas penganut agama lain.
  3. Beberapa teolog dari Dunia Ketiga menyatakan sikap sangat kritis terhadap model ini dan mendorong dianutnya model yang berwajah ganda: kritis pada kekerasan dan pembebasan pada yang tertindas. Jadi, pendamaian yang Kristus kerjakan harus selalu memberi dampak pembebasan aktual dan konkret bagi manusia yang tersingkir, dan bukan menyajikan sebuah pandangan yang individualistis dan spiritual belaka. Di sini, keselamatan dipandang secara lebih holistis.
  4. Model apa pun yang dianut harus tetap menekankan pentingnya anugerah Allah yang mendahului respons manusiawi. Misalnya, gagasan Kristen mengenai korban/kurban Kristus harus selalu dilihat sebagai inisiatif Allah Tritunggal yang mengaribkan Diri dengan ciptaan. Kristus adalah korban (victim) kekejian manusia pada zaman-Nya; namun pada saat bersamaan, bahkan mendahului peristiwa pengorbanan tersebut, Kristus adalah kurban (sacrifice) ilahi. Melalui Dia, Allah memberikan diri-Nya sendiri diperdamaikan dengan manusia dan seluruh ciptaan. Dengan atau tanpa peristiwa Kristus menjadi kurban, Ia tetap adalah kurban ilahi bagi manusia.
  5. Beberapa isu turunan atau tambahan bisa saja kita percakapkan, namun tidak boleh mendominasi teologi utama kita tentang keselamatan:
    • Apakah keselamatan dapat hilang atau tetap?
    • Apakah Allah memilih sebagian untuk diselamatkan dan sebagian untuk dibinasakan?
    • Bagaimanakah keselamatan bagi pemeluk agama-agama lain?
    • dan sebagainya.

___________________________
*) Joas Adiprasetya (j.adiprasetya@sttjakarta.ac.id), pendeta jemaat GKI Pondok Indah, Jakarta, yang ditugaskan secara khusus menjadi dosen penuh waktu di STT Jakarta di bidang teologi sistematika; kini Ketua STT Jakarta. Makalah ini dipersiapkan untuk Forum Diskusi Teologi Jemaat di GKI Pondok Indah, Jakarta, 24 April 2014.

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...